Langit di Gunung Kabut Merah diselimuti kabut tipis yang lembut, membawa aroma dedaunan basah yang menyegarkan. Patriark Zhu Long berdiri di ujung tebing, memandang jauh ke cakrawala yang bersemburat jingga keemasan. Saat langkah Rendy mendekat, deru napas pemuda itu sedikit tersengal, namun senyum puas terpancar di wajahnya.“Kamu tidak apa-apa?” Patriark Zhu Long memandangnya dengan sorot mata penuh perhatian, namun ada garis-garis kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.“Tidak apa-apa, Patriark! Aku mendapatkan Pedang Penakluk Iblis dari sana!” Rendy mengangkat pedang kuno itu dengan bangga. Kilatan cahaya dingin di bilahnya seperti menari di bawah sinar matahari yang memudar.Namun, seketika ekspresi Zhu Long berubah. Wajahnya pucat seperti kehilangan darah, dan matanya membelalak penuh keterkejutan. “Gawat!” desisnya, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya.Rendy mengerutkan kening, bingung dengan reaksi yang begitu tak terduga. “Ada apa, Patriark? Kenapa
Saat Rendy melangkah keluar dari Gunung Kabut Merah, hembusan udara dingin menyergapnya dengan kejam. Awalnya, hanya kesejukan tipis yang menyapu kulit, tetapi dalam hitungan detik, hawa es menggigit sampai ke tulang. Angin berembus kencang, membawa serpihan salju yang menari-nari di udara sebelum melebur di permukaan tanah berbatu. Ia mengerutkan kening, menyadari bahwa Pegunungan Huashan kini terbentang di hadapannya—sebuah wilayah yang tak hanya terkenal karena keindahannya, tetapi juga karena bahaya yang mengintai di balik kabut tebalnya.Tiba-tiba, suara nyaris seperti bisikan angin menyusup di antara deru badai."Berhenti di situ."Nada suara itu dingin, menggema seperti retakan es yang pecah di musim dingin. Dari balik kabut, sosok-sosok berbalut jubah putih keperakan bermunculan. Mereka berdiri dengan postur tegak dan mata penuh kewaspadaan, auranya tajam seperti udara beku yang menggigit. Rendy mengenali mereka dari emblem bersulam di dada: mereka adalah praktisi bela diri da
Kabut tebal bergulung di antara pepohonan yang meranggas, menciptakan siluet bayangan yang seakan bergerak dalam kegelapan. Udara membeku, membawa aroma es dan embusan angin yang tajam seperti bilah pedang. Di tengah senyapnya malam, suara berat nan dingin menggema."Berhenti di situ."Suara itu bagaikan belati yang menusuk sunyi, membuat dedaunan kering bergetar di dahan. Dari balik kabut yang berpendar oleh sinar bulan, tiga sosok berjubah putih keperakan muncul. Mata mereka seperti permukaan es, tanpa emosi, hanya ketegasan yang memancar dari dalam. Bai Zhongshan berdiri di tengah, wajahnya tak tergoyahkan seperti gunung bersalju, sementara di sisi kanan dan kirinya, Bai Xuemin dan Bai Lingfeng memancarkan aura yang menggigilkan tulang.“Kau telah menghabisi praktisi bela diri dari Keluarga Bai, anak muda,” ujar Bai Zhongshan dengan nada berat, seperti gunung yang hendak runtuh. "Perbuatanmu ini tak termaafkan!"Pedang es di tangannya berkilauan, memantulkan cahaya redup yang memot
Setelah mengalahkan praktisi dari Keluarga Bai, Rendy berdiri di antara puing-puing pertarungan, matanya tajam menatap cakrawala yang mulai kelam. Angin dingin berembus, membawa aroma besi dari darah yang mengering di tanah. Ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya berputar.Alih-alih menunggu dua keluarga besar lainnya mengejarnya seperti mangsa, mengapa tidak ia yang memburu mereka terlebih dahulu? Dengan begitu, ia bisa mengendalikan permainan ini. Ia bukan boneka yang menunggu dicabik-cabik oleh lawan.Keputusannya sudah bulat. Target pertamanya: Keluarga Xie di Lembah Seribu Racun, tempat yang terkenal sebagai kuburan bagi mereka yang tak siap menghadapi kengerian di dalamnya. Selain membalaskan dendamnya, ia juga ingin menemukan jalan menuju Gunung Tian Zen, tempat ayahnya memperdalam kultivasi. Namun, hanya Tiga Keluarga Besar yang memiliki akses ke gunung suci tersebut. Jika ia ingin menapaki jalur itu, ia harus meruntuhkan rintangan di hadapannya.Langkahnya ringan tap
Ledakan mengguncang lembah dengan gemuruh yang memekakkan telinga. Kilatan cahaya menyilaukan membelah kegelapan, membakar bayang-bayang pepohonan yang berdiri kaku di pinggir jurang. Gelombang panas menyapu udara, menyisakan kepulan asap pekat yang bergulung-gulung, menelan segala yang ada di sekitarnya. Bau belerang dan logam terbakar menusuk hidung, bercampur dengan aroma tanah yang merekah akibat ledakan.Di tengah pusaran debu yang mulai mengendap, Rendy berdiri tegap. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal dalam keheningan yang mencekam. Ia menyipitkan mata, mencoba menembus kabut asap yang perlahan menyingkap hasil serangannya. Jemarinya menggenggam erat gagang pedang yang masih bergetar karena energi yang dilepaskannya barusan.Namun, sebelum debu benar-benar luruh, suara berat dan menggelegar memecah udara. Gaungnya mengguncang tulang, menggetarkan setiap serat otot di tubuh Rendy.Seketika, udara berubah. Dingin. Bukan seperti angin pegunungan yang sejuk, melainkan din
Kilatan energi saling beradu di udara, menciptakan letupan-letupan yang mengguncang bumi. Rendy merasakan tekanan yang luar biasa dari serangan Guardian, namun ia tidak mundur. Mata tajamnya terus mengunci pergerakan lawan, mencari celah di balik serbuan yang brutal.Guardian mengangkat tangannya, membentuk lingkaran dengan aura kegelapan yang berputar cepat di telapak tangannya. Dari pusat pusaran itu, sebuah tombak raksasa tercipta, dipenuhi energi hitam yang menyala liar. Dengan satu gerakan, ia melesatkan tombak itu ke arah Rendy.Rendy melompat ke belakang, namun kecepatan tombak itu jauh di luar dugaannya. Ia memutar tubuh di udara, mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan. Saat bilah pedang bertemu dengan tombak hitam, ledakan besar terjadi. Energi liar menghambur ke segala arah, meretakkan tanah dan menghancurkan batu-batu besar di sekitar mereka.Dari balik ledakan, Guardian telah kembali menyerang. Ia menembus kepulan asap dengan kecepatan mengerikan, menciptakan bayan
Guardian mengangkat wajahnya, menatap langit yang kini berdenyut dengan energi gelap. Cahaya ungu berputar-putar di atas mereka, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol kuno yang berpendar di setiap sisinya. Formasi Tujuh Dewa Iblis Langit mulai aktif sepenuhnya.Rendy mengeratkan genggamannya pada pedang, tubuhnya masih dipenuhi luka dari bentrokan sebelumnya. Namun, semangatnya tidak redup sedikit pun. Sebaliknya, auranya semakin menggelegar, menyelimuti sekelilingnya dengan tekanan luar biasa. Ia menatap Guardian dengan penuh keteguhan."Jika aku tidak menghancurkan formasi ini sekarang, kehancuran akan menelan dunia ini," gumamnya.Guardian berdiri perlahan, tubuhnya gemetar karena luka yang ia derita. Namun, tatapan matanya masih menyala dengan tekad. "Kau memang luar biasa, Rendy. Tapi aku belum mengeluarkan seluruh kekuatanku."Sekelebat, Guardian mengangkat kedua tangannya ke atas. Energi hitam berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang semakin membesar. Dari p
Langit malam tampak seperti sobekan tinta hitam yang dilumuri cahaya merah menyala. Pusaran energi iblis berputar di atas kepala Rendy, menciptakan tekanan dahsyat yang membuat tanah di sekitarnya retak dan bergetar. Dari dalam pusaran itu, tujuh sosok berjubah gelap turun perlahan, tubuh mereka diselimuti kabut pekat yang berdenyut dengan kekuatan jahat.Mata mereka bersinar merah seperti bara neraka, menatap Rendy dengan pandangan yang penuh kebencian. Setiap langkah mereka meninggalkan bekas hitam di tanah, seolah bumi sendiri menolak keberadaan mereka. Angin berdesir, membawa aroma darah dan kematian."Kami adalah Penjaga Formasi Tujuh Dewa Iblis Langit," suara salah satu dari mereka bergema, seakan berasal dari kedalaman jurang tak berdasar. "Jika kau ingin menghancurkan formasi ini, kau harus melewati kami lebih dulu."Rendy menggenggam pedangnya erat, merasakan energi spiritualnya berputar liar di dalam meridian. Jubahnya berkibar diterpa badai energi yang berkecamuk. Dari keja
Rendy menggertakkan giginya, rahangnya mengeras saat api di telapak tangannya berkobar semakin besar. Panasnya menusuk kulitnya sendiri, tetapi ia tidak peduli. Matanya terpaku pada dua zombie es yang semakin mendekat. Mata biru mereka bersinar tajam seperti kristal, menyiratkan kehampaan yang menakutkan.Tanpa menunggu lebih lama, Rendy melemparkan bola api itu dengan gerakan cepat dan penuh tenaga. Suara mendesis terdengar ketika api meluncur menembus udara yang dingin. Namun, harapannya hancur seketika. Salah satu zombie mengangkat pedangnya, membelah bola api itu menjadi dua. Api yang terpisah berkedip sejenak sebelum lenyap dalam pusaran hawa dingin yang membungkus mereka."Sial! Mereka menyerap panas!" Rendy mengumpat, rahangnya semakin mengencang.Tiba-tiba, keduanya bergerak serentak, menerjang dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh makhluk mati. Rendy melompat ke belakang, nyaris tergelincir di atas es yang licin. Sebuah hembusan napas tajam lolos dari bibirnya
Rendy melangkah ke dalam Formasi Kutub Es Kelima, dan seketika hawa dingin yang brutal menerpa kulitnya seperti ribuan jarum tajam menembus daging. Napasnya berubah menjadi kabut tebal yang bergelayut di udara, membentuk awan putih setiap kali ia menghembuskan napas. Kakinya hampir terpeleset di atas lapisan es licin yang berkilauan redup di bawah cahaya remang.Kabut putih pekat menggantung di sekelilingnya, menggulung seperti tirai yang menyembunyikan ancaman tak kasat mata. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena dingin yang menggigit, tetapi juga ketegangan yang mengendap di dadanya. Instingnya berteriak, menuntut kewaspadaan."Ini lebih buruk dari yang kuduga," gumamnya, merapatkan mantel bulunya lebih erat. Tubuhnya menggigil, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap bergerak.Tiba-tiba, suara mendesing membelah kesunyian seperti pisau mengiris udara. Mata Rendy membelalak, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia melompat ke samping, berguling di atas permukaan es
Rendy melangkah mantap ke dalam wilayah beku Formasi Kutub Es Keempat. Saat ia melintasi ambang batas, udara pun berubah drastis. Dulu, dingin hanya terasa menusuk kulit; kini, suhu menggigit hingga menembus tulang, seolah setiap partikel udara menghantam sumsumnya. Setiap butir salju yang jatuh bukan lagi sekadar kelembutan yang menenangkan, melainkan pecahan es tajam yang berkilauan di bawah cahaya redup, menari liar seolah menantang keberaniannya.Langkah demi langkah, Rendy mendengar deru gemuruh yang semakin mendekat. Matanya menyapu cakrawala, dan di balik tirai kabut es, dinding-dinding beku mulai bergerak perlahan, seolah hidup dan ingin menuntut nyawanya. “Ini bukan lagi pertarungan biasa,” gumamnya dalam hati, “ini adalah medan perang yang bernyawa.”Tak lama kemudian, tanah di depannya bergejolak. Pilar-pilar es mencuat tiba-tiba, menyerang dengan kejam dan hampir meremukkan kakinya. "Bangsat!” teriak Rendy sambil melompat ke samping. Namun, tak hanya itu yang menunggunya—
Angin berputar makin kencang, menciptakan pusaran es yang berputar liar di sekeliling mereka. Rendy tetap berdiri tegap, matanya tajam menatap sosok terakhir yang kini berdiri di hadapannya. Pria tanpa senjata itu mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan halus, formasi es di sekitarnya mulai bergerak, membentuk tombak-tombak runcing yang melayang di udara, siap menghujam ke arah Rendy kapan saja."Kau memang berbeda dari yang lain," ucapnya, nada suaranya masih setenang sebelumnya. "Tapi apakah bara kecil itu cukup untuk menghadapi kehampaan ini?"Rendy tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, merasakan aliran panas yang mengalir dalam tubuhnya. Tidak ada lagi nyala api yang membakar, tidak ada semburan liar yang menghanguskan. Yang ada hanyalah kehangatan yang menyatu dengan dirinya, mengalir dalam setiap gerakan dan nafasnya.Dalam sekejap, tombak-tombak es itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang mengerikan. Rendy melompat ke samping, tubuhnya berputar di udara, meng
Alih-alih melepaskan semburan api besar seperti yang biasa ia lakukan, Rendy memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, dada naik dan turun seirama dengan denyut nadi yang semakin membara. Di dalam pikirannya, nyala api bukan lagi letusan liar yang menghanguskan segalanya, melainkan bara yang mengendap tenang, meresap ke dalam otot-ototnya, menjalar ke tulang dan mengisi setiap pori-pori kulitnya dengan panas yang tak tertahankan. Saat kelopak matanya terbuka kembali, pandangannya jernih dan tajam. Udara di sekelilingnya bergetar, tidak lagi karena kobaran api, tetapi karena gelombang panas yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tanah di bawah kakinya menghangat, udara di sekitarnya beriak seperti fatamorgana di atas gurun pasir. Rendy merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kekuatan yang lebih terkendali, lebih dalam, dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia menerjang ke depan. Gerakannya nyaris tak terlihat, seperti bayangan yang melesat dalam sekejap. Kecepatan itu bukan
Rendy melangkah mantap ke dalam pusaran badai es yang berputar liar di belakangnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi berderak, merambat ke seluruh permukaan es yang retak seperti suara tulang yang patah. Angin dingin menampar wajahnya dengan kasar, membekukan tiap tarikan napas yang keluar dari bibirnya. Butiran salju yang tajam seperti pecahan kaca menari di udara, menyayat kulitnya hingga perih. Namun, di balik semua itu, tekadnya tetap membara.Di hadapannya, Formasi Kutub Es Ketiga berdiri menjulang, dinding-dindingnya yang runcing seolah hendak menusuk langit kelam. Bayangannya yang megah dan menyeramkan menebarkan aura dingin yang membuat dada Rendy terasa sesak. Setiap langkah yang ia ambil semakin menegaskan keberadaannya di tempat terlarang ini. Suara samar bergema di udara, entah dari mana asalnya, seolah ada sesuatu yang mengamati setiap gerak-geriknya dengan mata tak terlihat.Saat ujung kakinya melewati batas wilayah beku itu, tanah di bawahnya mendadak memancark
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang