Rendy melangkah perlahan, setiap jejak kakinya meninggalkan noda darah di tanah yang dingin dan lembap. Hawa di sekitarnya semakin menyesakkan, udara terasa berat seakan dipenuhi oleh ribuan jiwa yang merintih dalam penderitaan. Angin yang berdesir membawa aroma anyir darah dan kehancuran, membuat bulu kuduknya berdiri. Kabut hitam berputar-putar di sekelilingnya, menggeliat seperti makhluk yang baru terbangun dari tidurnya.Di hadapannya, nisan pedang tua menjulang, menandai tempat di mana Pedang Penakluk Iblis tersegel. Ketika ia mendekat, tanah bergetar hebat, dan dari dalam kabut yang semakin pekat, muncul sesosok bayangan yang dipenuhi aura mengerikan. Mata sosok itu bersinar merah menyala, penuh kebencian dan kehancuran.“Berhenti!” suara itu bergema, berat dan menekan, seperti ribuan pisau yang menghujam langsung ke dalam jiwa. “Kau pikir pedang ini bisa digunakan oleh manusia sepertimu, Rendy Wang?”Rendy mengatur napasnya yang tersengal, tangannya mengepal kuat. Darah mengali
Langit di Gunung Kabut Merah diselimuti kabut tipis yang lembut, membawa aroma dedaunan basah yang menyegarkan. Patriark Zhu Long berdiri di ujung tebing, memandang jauh ke cakrawala yang bersemburat jingga keemasan. Saat langkah Rendy mendekat, deru napas pemuda itu sedikit tersengal, namun senyum puas terpancar di wajahnya.“Kamu tidak apa-apa?” Patriark Zhu Long memandangnya dengan sorot mata penuh perhatian, namun ada garis-garis kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.“Tidak apa-apa, Patriark! Aku mendapatkan Pedang Penakluk Iblis dari sana!” Rendy mengangkat pedang kuno itu dengan bangga. Kilatan cahaya dingin di bilahnya seperti menari di bawah sinar matahari yang memudar.Namun, seketika ekspresi Zhu Long berubah. Wajahnya pucat seperti kehilangan darah, dan matanya membelalak penuh keterkejutan. “Gawat!” desisnya, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya.Rendy mengerutkan kening, bingung dengan reaksi yang begitu tak terduga. “Ada apa, Patriark? Kenapa
Saat Rendy melangkah keluar dari Gunung Kabut Merah, hembusan udara dingin menyergapnya dengan kejam. Awalnya, hanya kesejukan tipis yang menyapu kulit, tetapi dalam hitungan detik, hawa es menggigit sampai ke tulang. Angin berembus kencang, membawa serpihan salju yang menari-nari di udara sebelum melebur di permukaan tanah berbatu. Ia mengerutkan kening, menyadari bahwa Pegunungan Huashan kini terbentang di hadapannya—sebuah wilayah yang tak hanya terkenal karena keindahannya, tetapi juga karena bahaya yang mengintai di balik kabut tebalnya.Tiba-tiba, suara nyaris seperti bisikan angin menyusup di antara deru badai."Berhenti di situ."Nada suara itu dingin, menggema seperti retakan es yang pecah di musim dingin. Dari balik kabut, sosok-sosok berbalut jubah putih keperakan bermunculan. Mereka berdiri dengan postur tegak dan mata penuh kewaspadaan, auranya tajam seperti udara beku yang menggigit. Rendy mengenali mereka dari emblem bersulam di dada: mereka adalah praktisi bela diri da
Kabut tebal bergulung di antara pepohonan yang meranggas, menciptakan siluet bayangan yang seakan bergerak dalam kegelapan. Udara membeku, membawa aroma es dan embusan angin yang tajam seperti bilah pedang. Di tengah senyapnya malam, suara berat nan dingin menggema."Berhenti di situ."Suara itu bagaikan belati yang menusuk sunyi, membuat dedaunan kering bergetar di dahan. Dari balik kabut yang berpendar oleh sinar bulan, tiga sosok berjubah putih keperakan muncul. Mata mereka seperti permukaan es, tanpa emosi, hanya ketegasan yang memancar dari dalam. Bai Zhongshan berdiri di tengah, wajahnya tak tergoyahkan seperti gunung bersalju, sementara di sisi kanan dan kirinya, Bai Xuemin dan Bai Lingfeng memancarkan aura yang menggigilkan tulang.“Kau telah menghabisi praktisi bela diri dari Keluarga Bai, anak muda,” ujar Bai Zhongshan dengan nada berat, seperti gunung yang hendak runtuh. "Perbuatanmu ini tak termaafkan!"Pedang es di tangannya berkilauan, memantulkan cahaya redup yang memot
Setelah mengalahkan praktisi dari Keluarga Bai, Rendy berdiri di antara puing-puing pertarungan, matanya tajam menatap cakrawala yang mulai kelam. Angin dingin berembus, membawa aroma besi dari darah yang mengering di tanah. Ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya berputar.Alih-alih menunggu dua keluarga besar lainnya mengejarnya seperti mangsa, mengapa tidak ia yang memburu mereka terlebih dahulu? Dengan begitu, ia bisa mengendalikan permainan ini. Ia bukan boneka yang menunggu dicabik-cabik oleh lawan.Keputusannya sudah bulat. Target pertamanya: Keluarga Xie di Lembah Seribu Racun, tempat yang terkenal sebagai kuburan bagi mereka yang tak siap menghadapi kengerian di dalamnya. Selain membalaskan dendamnya, ia juga ingin menemukan jalan menuju Gunung Tian Zen, tempat ayahnya memperdalam kultivasi. Namun, hanya Tiga Keluarga Besar yang memiliki akses ke gunung suci tersebut. Jika ia ingin menapaki jalur itu, ia harus meruntuhkan rintangan di hadapannya.Langkahnya ringan tap
Ledakan mengguncang lembah dengan gemuruh yang memekakkan telinga. Kilatan cahaya menyilaukan membelah kegelapan, membakar bayang-bayang pepohonan yang berdiri kaku di pinggir jurang. Gelombang panas menyapu udara, menyisakan kepulan asap pekat yang bergulung-gulung, menelan segala yang ada di sekitarnya. Bau belerang dan logam terbakar menusuk hidung, bercampur dengan aroma tanah yang merekah akibat ledakan.Di tengah pusaran debu yang mulai mengendap, Rendy berdiri tegap. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal dalam keheningan yang mencekam. Ia menyipitkan mata, mencoba menembus kabut asap yang perlahan menyingkap hasil serangannya. Jemarinya menggenggam erat gagang pedang yang masih bergetar karena energi yang dilepaskannya barusan.Namun, sebelum debu benar-benar luruh, suara berat dan menggelegar memecah udara. Gaungnya mengguncang tulang, menggetarkan setiap serat otot di tubuh Rendy.Seketika, udara berubah. Dingin. Bukan seperti angin pegunungan yang sejuk, melainkan din
Kilatan energi saling beradu di udara, menciptakan letupan-letupan yang mengguncang bumi. Rendy merasakan tekanan yang luar biasa dari serangan Guardian, namun ia tidak mundur. Mata tajamnya terus mengunci pergerakan lawan, mencari celah di balik serbuan yang brutal.Guardian mengangkat tangannya, membentuk lingkaran dengan aura kegelapan yang berputar cepat di telapak tangannya. Dari pusat pusaran itu, sebuah tombak raksasa tercipta, dipenuhi energi hitam yang menyala liar. Dengan satu gerakan, ia melesatkan tombak itu ke arah Rendy.Rendy melompat ke belakang, namun kecepatan tombak itu jauh di luar dugaannya. Ia memutar tubuh di udara, mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan. Saat bilah pedang bertemu dengan tombak hitam, ledakan besar terjadi. Energi liar menghambur ke segala arah, meretakkan tanah dan menghancurkan batu-batu besar di sekitar mereka.Dari balik ledakan, Guardian telah kembali menyerang. Ia menembus kepulan asap dengan kecepatan mengerikan, menciptakan bayan
Guardian mengangkat wajahnya, menatap langit yang kini berdenyut dengan energi gelap. Cahaya ungu berputar-putar di atas mereka, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol kuno yang berpendar di setiap sisinya. Formasi Tujuh Dewa Iblis Langit mulai aktif sepenuhnya.Rendy mengeratkan genggamannya pada pedang, tubuhnya masih dipenuhi luka dari bentrokan sebelumnya. Namun, semangatnya tidak redup sedikit pun. Sebaliknya, auranya semakin menggelegar, menyelimuti sekelilingnya dengan tekanan luar biasa. Ia menatap Guardian dengan penuh keteguhan."Jika aku tidak menghancurkan formasi ini sekarang, kehancuran akan menelan dunia ini," gumamnya.Guardian berdiri perlahan, tubuhnya gemetar karena luka yang ia derita. Namun, tatapan matanya masih menyala dengan tekad. "Kau memang luar biasa, Rendy. Tapi aku belum mengeluarkan seluruh kekuatanku."Sekelebat, Guardian mengangkat kedua tangannya ke atas. Energi hitam berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang semakin membesar. Dari p
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba