Rendy menggenggam Pedang Kabut Darah dengan erat, merasakan kekuatan dahsyat yang mengalir ke tubuhnya. Aura merah pekat menyelimuti dirinya, dan perlahan, aura pembunuh mulai tampak semakin nyata. Matanya sedikit berubah, dengan semburat merah yang memancarkan energi gelap.“Bagaimana rasanya memegang pedang spiritual paling kuat di dunia?” suara Shin Kang terdengar dari dalam pedang, suaranya dingin namun penuh daya pikat.Rendy menghela napas berat, tetapi rasa ingin tahunya tak dapat ia tahan. “Luar biasa… seperti tubuhku dipenuhi kekuatan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.”Shin Kang tertawa kecil, tawa yang penuh dengan kesombongan. “Tentu saja, bocah. Pedang ini adalah mahakarya, senjata yang bisa mengubah nasib seorang kultivator. Tapi itu hanya permulaan. Kekuatan sebenarnya baru bisa kau rasakan jika aku… dibebaskan.”Rendy menatap pedang itu dengan ragu. “Bagaimana cara mengeluarkanmu?” tanyanya. Dalam benaknya, ia sadar bahwa ia membutuhkan Shin Kang untuk sepenuhn
Aiden Lee berdiri dengan tubuh yang masih dipenuhi luka, tetapi tangannya terangkat untuk menunjukkan sebuah Talisman Rune yang bersinar lembut dengan cahaya keemasan. Rune itu terlihat rumit, seakan ditulis dengan tangan seorang ahli. Aura yang terpancar darinya terasa kuat dan memancarkan energi spiritual murni.“Rendy,” panggil Aiden dengan suara tegas namun tidak memaksa. “Jika kau benar-benar tidak mau meninggalkan Pedang Kabut Darah dan bersikeras menggunakan kekuatan Shin Kang, maka aku punya satu solusi yang akan menguntungkan kedua belah pihak!"Rendy menatap talisman itu dengan penuh tanya. “Apa itu, Guru?”“Talisman ini,” jelas Aiden sambil memperlihatkan rune yang melayang di antara tangannya, “bisa mengekang kekuatan Shin Kang. Jika kau membebaskannya dari Nisan Pedang Spiritual, kekuatannya akan terbatasi hingga hanya setengahnya. Dengan begitu, ia tidak akan menjadi ancaman bagi dunia, sekaligus memastikan kau tetap bisa mengendalikan Pedang Kabut Darah tanpa terpengaru
Rendy membuka matanya perlahan, tatapannya tajam namun penuh dengan ketenangan yang baru ditemukan. Ia menatap Pedang Kabut Darah di tangannya, kemudian bergantian memandang para gurunya yang terluka namun tetap berdiri teguh, siap menghadapi apapun demi melindungi dunia dari ancaman kegelapan.Suara Shin Kang bergema lagi, kali ini lebih mendesak. “Jangan dengarkan mereka, bocah! Mereka hanyalah pengecut yang takut pada kekuatan sejati! Kau tahu, hanya aku yang bisa memberimu keunggulan melawan Zhang Wei. Dunia ini tidak layak untuk dilindungi—kau harus menguasainya! Akua kan membuatmu menjadi Penguasa Dunia!"Namun, suara itu tidak lagi mengusik pikiran Rendy seperti sebelumnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Pandangannya kembali pada Aiden Lee, yang masih memegang Talisman Rune di tangannya.“Guru,” kata Rendy, suaranya mantap. “Aku menerima talisman rune itu. Aku akan membebaskan Shin Kang dengan batasan yang aman. Aku percaya, kekuatan sejati tidak hanya data
Rendy akhirnya tiba di rumah megah Seruni di Andalas dengan perasaan campur aduk. Aura Pedang Kabut Darah masih terasa menggema di sekelilingnya, meskipun talisman dari Aiden menjaga energi gelapnya terkendali. Seruni menyambutnya dengan senyum hangat, tapi ia dapat merasakan kegelisahan di balik sorot mata wanita itu.“Bagaimana?” tanya Seruni lembut, membawa secangkir teh hangat ke meja. “Apa yang terjadi di Lembah Roh Kultivator?”Rendy menghela napas panjang sambil duduk. “Aku membawa pulang Pedang Kabut Darah,” katanya sambil meletakkan pedang itu di samping kursinya. “Tapi dengan batasan. Guru-guruku memasang talisman untuk menjaga kekuatan pedang ini tetap terkendali. Sekarang, aku hanya perlu menemukan Zhang Wei.”Seruni memandang pedang itu sejenak, ragu untuk mendekat. “Pedang itu memancarkan aura yang sangat kuat, Rendy. Aku bisa merasakannya dari sini. Kau yakin tidak apa-apa membawanya?”Rendy menatap Seruni, senyumnya tipis tapi penuh keyakinan. “Aku tidak punya pilihan
Hari itu, Rendy sedang duduk di ruang tamu rumah keluarga Huang, mencoba mengatur pikirannya setelah pertemuannya dengan Vera. Ia tahu bahwa untuk saat ini, ia harus fokus menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan Cindy. Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama. Suara mesin mobil sport yang meraung di depan rumah segera menarik perhatian semua orang.Dari dalam mobil mewah itu keluar seorang pria yang tampak elegan dengan setelan mahal, rambutnya disisir rapi. Itu adalah James Chung, teman sekolah mereka dulu, yang kini menjadi pengusaha sukses. Namun, kehadirannya membawa nuansa canggung, terutama bagi Rendy dan Cindy.Rendy mengetahuinya karena kilasan masa lalu Rendy di masa ini melintas di pikirannya. “Jadi di masa ini aku tidak telantar, bahkan satu sekolah dengan Cindy dan James yang sombong itu? Aneh sekali ...”“Cindy!” seru James sambil berjalan mendekat dengan senyum penuh percaya diri. “Aku dengar kabar kalau suamimu meninggalkanmu begitu saja. Aku datang untuk menjemput
Rendy Wang mengendarai skuternya menyusuri jalan sepi menuju pasar Paradise Hill. Udara pagi terasa segar, tapi firasat aneh menggelayut di benaknya saat ia melihat beberapa motor besar melintang di tengah jalan, menghalangi jalur.Beberapa pria bertampang garang berdiri di sekitar motor itu. Mereka mengenakan jaket kulit dengan simbol tengkorak dan mata elang. Di depan mereka, seorang pria bertubuh besar dengan kepala botak berkilat berdiri tegak, memegang pemukul bisbol. Dialah Thanos, pemimpin Sindikat Bandit Khatulistiwa.“Rendy Wang,” sapa Thanos dengan senyum licik. “Akhirnya kita bertemu. Kau tahu, ada seseorang yang sangat ingin kami memberimu pelajaran.”Rendy menghentikan skuternya beberapa meter dari mereka. Ia menatap Thanos dengan pandangan tenang. “Siapa yang menyuruh kalian?”Thanos tertawa keras, suaranya menggema di jalanan. “Seorang teman lamamu, James Chung. Katanya, kau sudah tidak pantas berada di samping Cindy. Dan aku setuju. Lihat dirimu—mengendarai skuter tua
Di sebuah ruangan megah dengan jendela besar yang menghadap ke panorama kota, Katrin Chow, CEO Dragon Sky, duduk di kursi kulit mewah di belakang meja besar. Ekspresinya dingin, penuh wibawa. Di depannya berdiri Thanos, pemimpin Sindikat Bandit Khatulistiwa, dengan tubuh besar dan sikap penuh hormat.Sikap Thanos terhadap Katrin ini sangat jauh dibandingkan sikap sombongnya saat berhadapan dengan Rendy, menunjukkan betapa berkuasanya seorang Katrin Chow."Ada apa, Bos? Apa ada pekerjaan besar yang harus aku lakukan?" tanya Thanos sambil membungkuk.Katrin menatap Thanos dengan tajam, matanya menyelidik. “Kau tahu kenapa aku memanggilmu, Thanos?”Thanos mengangkat kepalanya sedikit, mencoba membaca suasana. “Maafkan saya, Bos, tapi saya tidak yakin. Apakah ini tentang pekerjaan sampingan saya?”Katrin mengangkat alis. “Jadi, kau sadar bahwa pekerjaan sampinganmu bisa membawa masalah untukku?”Thanos menelan ludah, gugup. “Saya hanya menerima pekerjaan kecil, Bos. Tidak ada yang menganc
Rendy yang dalam perjalanan menuju pasar untuk membeli beberapa kebutuhan tiba-tiba memutuskan untuk mampir ke Z-Mart, toko pakaian yang diperuntukkan bagi golongan menengah ke atas. Rendy mampir karena pakainnya sangat lusuh dan menyerupai gelandangan."Apa aku masih memiliki satu kuadriliun seperti di masa sebelumnya?" batin Rendy. Setelah cek ke ATM ternyata saldo tabungannya hanya ada beberapa juta saja. "Cukup untuk membeli beberapa potong pakaian," pikirnya tanpa mengetahui kalau harga pakaian di Z-Mart semuanya berkisar di atas satu juta.Rendy memarkir skuternya di tempat yang tampak mencolok di depan Z-Mart. Dengan jaket lusuh dan celana panjang yang warnanya mulai pudar, ia melangkah masuk ke toko pakaian yang dikenal dengan koleksi kelas atasnya. Ia tak menyangka bahwa penampilannya akan langsung menarik perhatian—bukan dalam arti yang positif.Seorang petugas keamanan di pintu masuk segera mendekat, wajahnya menampilkan cemoohan. “Pak, ini tempat untuk belanja, bukan untuk
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba