Lilian mengatupkan rahangnya, matanya menatap Renata dengan penuh kebencian. Sang Walet Putih yang membela Naga Perang mati-matian menjadi sasaran kebenciannya karena siapapun yang membantu Naga Perang merupakan musuh besarnya yang harus dihabisi.Kipas besinya terbuka lebar, siap menangkis serangan berikutnya. Namun, ia tak bisa menyangkal, Renata lebih tangguh daripada yang ia perkirakan. Di balik senyum dinginnya, Renata menekan tombol lain di gadget-nya, dan tiba-tiba, puluhan bola cahaya muncul, melayang-layang di sekitar tubuhnya seperti bintang-bintang kecil yang siap meledak kapan saja."Bersiaplah, Lilian," ucap Renata tenang, tangannya menggerakkan bola-bola cahaya itu dengan ketukan jari yang halus. Dalam sekejap, bola-bola itu melesat dengan kecepatan kilat, membelah udara menuju Lilian."Sialan! Kamu menggunakan teknologi lagi ... dasar pendekar rendahan, tidak tahu diri!"Segala makian keluar dari mulut Lily yang tampak putus asa menghadapi serangan teknologi yang dikelu
Kristin berdiri tegak, menatap Lena yang berkacak pinggang, tampak puas dengan sikap angkuhnya. Selendang merah Lena melambai pelan tertiup angin, seakan bersiap menghantam. Di mata Lena, Kristin hanyalah sosok lemah, tidak ada tanda-tanda kebesaran atau kekuatan yang terpancar dari tubuhnya. Bukan seperti seorang Jenderal Besar Negeri Khatulistiwa, pemimpin ratusan ribu prajurit yang menjaga perbatasan Kepulauan Tropis.“Lebih baik kau sujud di hadapanku, perempuan lemah!” Lena mendesis, suaranya penuh kesombongan. Tubuhnya tegap, kekar, setiap otot tampak jelas di balik pakaiannya. "Kalau kau melakukannya, mungkin aku akan mengampunimu."Kristin hanya tersenyum tipis, menatap Lena seolah dirinya sebuah lelucon. Tawanya kecil, namun cukup untuk membuat Lena gusar. “Kau sungguh percaya diri, Lena. Tadi saja kau hampir kalah melawan Jessy, dan sekarang kau pikir bisa menghinaku? Aku kagum dengan kelenturan tubuhmu—untuk seorang yang kekar berisi seperti itu.”Nada Kristin meluncur halu
Lena menggerakkan selendangnya dengan satu kibasan cepat, seperti ular yang meliuk di udara. Suara desis selendang yang menyapu angin memecah keheningan di antara mereka. Satu putaran sederhana, namun penuh dengan ancaman. Selendang itu, meskipun tampak lembut, bergerak bagaikan cambuk besi yang siap merobek kulit.Kristin dengan tenang mengangkat bayonetnya, sebuah senjata dengan bilah tajam yang berkilauan di bawah sinar matahari. Posisi kuda-kuda yang kokoh membuat tubuhnya seakan terpaku pada tanah, tak tergoyahkan oleh angin selendang Lena yang melibas ke arahnya.Whip! Kibasan selendang pertama mendarat dengan kekuatan besar, memburu kepala Kristin. Dengan gerakan gesit, Kristin mengayunkan bayonetnya secara horizontal, menahan serangan itu. Suara dentingan logam bertemu kain terdengar aneh di udara. Namun, selendang Lena bukan kain biasa; setiap seratnya ditanamkan kekuatan tenaga dalam yang membuatnya sekuat baja, memantul sedikit, tetapi kembali dengan kibasan yang lebih kuat
Sheila Tanoto berdiri di tengah reruntuhan kekuatan yang dulu ia andalkan. Empat Penjuru Angin, teknik pamungkasnya, telah dipatahkan oleh empat Elemental Naga milik Rendy Wang—si Naga Perang. Namun, meskipun napasnya masih berat akibat kekalahan yang nyata di depan mata, senyum angkuh di bibirnya tidak pernah pudar.Plok!Plok!Tepukan tangan Sheila bergema, bunyinya tajam di antara keheningan medan tempur. Ia melangkah maju, sikapnya seolah tidak tergoyahkan oleh hasil yang baru saja terjadi.Keangkuhan Sheila sangat terasa, yang membuatnya terus meremehkan kemampuan Naga Perang.“Aku harus mengakui, Rendy Wang,” suaranya tegas namun penuh sindiran, “Elemental Naga memang lebih dari sekadar legenda. Tadinya aku kira Empat Penjuru Anginku sudah tidak tertandingi, tapi nyatanya, di atas langit masih ada langit.”Rendy—Naga Perang—hanya tertawa, tawa dalam yang menggetarkan udara di sekitar mereka. Matanya menyipit, tatapannya dingin namun penuh tantangan. "Sheila, Sheila," gumamnya, “
Rendy Wang berdiri diam, matanya tajam mengawasi Sheila yang masih berdiri dengan penuh arogansi. Kali ini, bukan empat Elemental Naga yang ia andalkan, melainkan jurus-jurus sakti yang ia pelajari saat masih menjadi pembunuh profesional. Keheningan mendebarkan mendahului benturan kekuatan mereka."Aku akui, kamu memang tangguh, Sheila," kata Rendy, suaranya tenang namun berbahaya. "Tapi aku tidak butuh banyak tenaga untuk menghentikanmu."Sheila menyipitkan matanya, terkejut sejenak, tetapi kesombongannya tak mengendur. "Kamu masih sombong saja, Rendy. Kali ini, aku akan menghancurkanmu."Dengan gerakan kilat, Sheila melesat ke depan, tubuhnya berbaur dengan kilatan petir yang membungkusnya. Dia menyerang dari segala arah, bergerak begitu cepat hingga sosoknya nyaris tak terlihat. Setiap pukulan dan tendangannya menghantam dengan kekuatan petir yang berderak, menghujani Rendy tanpa henti.Namun, Rendy tidak bergerak sedikit pun. Saat serangan Sheila mendekat, dia hanya menggeser tubu
Sheila terdiam, napasnya berat. Meski arogansinya tak sepenuhnya hilang, dia tahu Rendy sudah memenangkan pertarungan ini. Kekuatan Rendy, jurus-jurus mematikannya yang begitu sempurna, tak bisa ia tandingi kali ini."Terserah kamu, Rendy. Tapi lain kali… aku tak akan kalah." Sheila berkata dengan suara rendah, sebelum akhirnya mundur perlahan, meninggalkan medan pertempuran dengan tubuh penuh luka dan rasa kecewa.Rendy hanya menatapnya pergi, ekspresinya tetap tenang. “Kita lihat nanti, Sheila.”Rendy memandang Sheila yang masih terengah-engah, tubuhnya penuh luka dan keringat, namun sorot matanya tetap menyala. Kekuatan Sheila, meskipun takluk, jelas tidak boleh diremehkan. Dalam benaknya, Rendy tahu bahwa Sheila lebih dari sekadar lawan—dia bisa menjadi sekutu yang sangat berharga.Tadinya Rendy sempat ragu untuk merekrut Sheila karena khawatir ia akan sulit mengendalikan talenta hebat dari Negeri Malam ini tapi setelah bertarung melawan Sheila, harus ia akui kalau kemampuan Sheil
Jessy berdiri di kejauhan, menyaksikan dari balik bayangan dengan mata penuh kewaspadaan. Sepanjang pertarungan tadi, dia tetap di tempatnya, mengamati setiap gerak Rendy—atau Naga Perang—dan Sheila. Dia sudah lama mengetahui kelicikan Sheila Tanoto, sifatnya yang licin seperti belut, selalu siap memutarbalikkan keadaan demi keuntungannya sendiri. Sekarang, hanya dalam beberapa menit, Sheila setuju untuk bergabung dengan Rendy begitu saja? Itu tidak masuk akal.Tatapan Jessy mengeras, bibirnya tertarik ke dalam senyum tipis yang penuh kecurigaan. Dia tahu betul bahwa Sheila bukan tipe orang yang mudah diyakinkan, apalagi jika itu melibatkan pengkhianatan terhadap Sang Pewaris. Namun, di depan matanya, Sheila tampak menyerah begitu saja, mengulurkan tangan untuk berdamai dengan seseorang yang baru saja menghancurkannya di medan pertarungan.“Tidak mungkin semudah itu,” gumam Jessy pelan, sambil menyilangkan tangan di dadanya. Mata elangnya menelusuri tiap ekspresi Sheila, mencoba memba
Javali, kota yang dipahat dari sejarah panjang agama Hindu, memancarkan pesona yang berbeda dari kota-kota lain di Negeri Khatulistiwa. Di sepanjang jalan utama, patung-patung dewa berjaga, memberikan aura sakral yang menyatu dengan suasana kota. Udara sejuk dari pegunungan menyapa lembut, dan deburan ombak pantai yang menawan memanggil turis dari Negeri Cakrawala, tertarik oleh nilai tukar yang menguntungkan. Kota ini, dengan keindahan alamnya dan tata kota yang rapi, menjadi magnet bagi mereka yang mencari keindahan dan kemewahan.Rendy, di tengah hiruk-pikuk Kota Javali, merasakan keinginan untuk menyendiri. Namun, tugas menunggunya. Dengan tenang, ia memerintahkan Sheila menyelidiki keberadaan Sang Pewaris di Underground City, tapi gadis itu, dengan senyum liciknya, menunda tugas itu, memilih kembali ke Negeri Malam. Rendy, atau yang lebih dikenal sebagai Naga Perang, tak punya pilihan selain membiarkan Sheila pergi, sementara pikirannya teralihkan pada sesuatu yang lebih mendesak