Suara payung Laras bertemu dengan serangan Jessy yang luar biasa kuat menimbulkan getaran kekuatan yang mengalir di udara. Laras terkejut, payungnya hampir terlepas dari tangannya akibat kekuatan pukulan itu. Jessy tersenyum sinis, matanya memancarkan kepuasan. "Apakah ini kekuatan yang kamu banggakan, Empat Penjuru Angin?"Laras mendengus, kembali memperkuat posisinya. "Jangan meremehkan kami!" teriaknya, memutar payungnya dengan cepat dan mengarahkan serangan balik ke arah Jessy.Namun, Jessy hanya melangkah ke samping, dengan mudah menghindari serangan itu. "Lambat," gumamnya sebelum melancarkan tendangan yang mengenai tubuh Laras, melemparkannya ke belakang beberapa meter.Sementara itu, Lena, dengan selendangnya yang melambai-lambai di udara, bergerak maju. "Kami tidak akan menyerah dengan mudah," katanya, suaranya dipenuhi keyakinan. Selendangnya bergerak dengan kecepatan kilat, seperti ular yang melilit, berusaha mengikat Jessy.Tetapi Jessy bergerak lebih cepat, tubuhnya memut
Larasati Wijaya berdiri mematung di bawah langit malam yang mendung, tubuhnya yang ramping berbalut mantel hitam menyatu dengan kegelapan, namun kulitnya—putih bersih, seakan memancarkan cahaya dari dalam—berbeda jauh dari penduduk Negeri Malam di sekelilingnya. Mereka, dengan wajah pucat dan tatapan kosong, bergerak lamban, sementara Laras tersenyum sinis, memperlihatkan gigi-giginya yang biasa, tidak seperti taring tajam yang sering muncul di wajah warga Negeri Malam saat berbicara."Katrin Chow," Laras memulai dengan suara yang hampir berbisik, tapi penuh arti. Udara di sekitar mereka terasa dingin, menusuk tulang. "Aku sudah lama mengagumi caramu berbisnis. Bagaimana dalam waktu singkat, Wang Industries menelan habis semua yang ada di hadapannya, seperti monster yang lapar tak terpuaskan. Tapi aku tak pernah menyangka, selain pengusaha, kau juga petarung hebat. Pasukan Bayanganmu... mengerikan. Mereka bisa membantai pasukan Negeri Malam tanpa berkedip. Jika saja kita bukan musuh,
Laras mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, tatapannya tajam dan dingin. “Bagaimana kalau suatu hari, kau harus memilih antara Naga Perang dan dirimu sendiri? Apa kau masih akan setia? Atau kau akan menyelamatkan dirimu sendiri?”Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan tajam, menusuk malam yang semakin pekat. Katrin tidak segera menjawab. Ia menatap Laras dengan tatapan yang sulit ditebak, seolah menimbang-nimbang makna di balik pertanyaan itu.“Aku tidak pernah memilih antara diriku dan Naga Perang,” jawab Katrin akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Karena kami adalah satu. Apa yang terjadi pada Naga Perang, terjadi pada kami semua. Kami akan menang atau jatuh bersama.”Laras memandang Katrin dengan mata menyipit, mencoba membaca setiap getaran dalam suara dan gerakan tubuh lawannya. Namun, ia hanya menemukan ketenangan yang tak tergoyahkan, seperti batu karang yang diterjang ombak ribuan kali namun tetap berdiri kokoh.“Sungguh tangguh,” gumam Laras, hampir kepada diri
Di bawah cahaya remang-remang, Jessy berdiri berhadapan dengan Lintang Kalani, salah satu pengawal Sheila yang dikenal sebagai anggota Empat Penjuru Angin. Wajah Lintang memancarkan pesona eksotik, perpaduan kecantikan oriental dan tropis, membuatnya tampak luar biasa memikat. Kulitnya kecokelatan, ciri khas penduduk Kepulauan Tropis di Negeri Khatulistiwa—tempat di mana garis keturunan Khatulistiwa dan Negeri Cakrawala bertemu. Namun, Jessy tidak bisa mengabaikan rasa heran melihat gadis ini bergabung dengan Negeri Malam. Bagaimana bisa gadis yang terlihat begitu polos ini terlibat di dunia kelam itu? Pasti Sang Pewaris yang merekrutnya, mungkin saat pria itu berada di Khatulistiwa.Lintang memang lebih mungil dibandingkan Laras. Rambutnya dikuncir kuda seperti Renata, memberinya kesan manis dan tanpa ancaman. Namun, Jessy tahu lebih baik daripada percaya penampilan. Sebuah bisikan dingin dari Naga Perang mengingatkan, "Jangan tertipu wajahnya yang imut. Lintang jauh lebih berbahaya
Lilian Sanjaya berwajah pucat tapi tidak menyembunyikan kecantikan alaminya di tengah kegelapan malam. Saat terkena sinar mentari maka wajah pucatnya akan kembali merona merah dan berseri-seri layaknya gadis biasa di Khatulistiwa. Lily memang dilahirkan unik karena ia adalah putri dari Lord Drakuleton dengan wanita dari Negeri Khatulistiwa bernama Tania Kang yang juga bukan wanita sembarangan.Tania Kang adalah pengusaha sekaligus penguasa Kepulauan Greenwich yang masih termasuk Negeri Khatulistiwa tapi memiliki otonomi penuh untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Tania Kang adalah Gubernur Negeri Greenwich yang telah berpisah dengan Lord Drakuleton karena masalah pribadi. Saat Lord Drakuleton tewas oleh Naga Perang, Tania Kang langsung menjemput putri satu-satunya untuk dibawa ke negerinya. Tania tidak memiliki dendam terhadap Naga Perang tapi berbeda dengan Lilian yang masih menyimpan dendam terhadap pria yang telah membunuh ayahnya. Tania sendiri telah menikah lagi dengan Setiawan
Lilian mengatupkan rahangnya, matanya menatap Renata dengan penuh kebencian. Sang Walet Putih yang membela Naga Perang mati-matian menjadi sasaran kebenciannya karena siapapun yang membantu Naga Perang merupakan musuh besarnya yang harus dihabisi.Kipas besinya terbuka lebar, siap menangkis serangan berikutnya. Namun, ia tak bisa menyangkal, Renata lebih tangguh daripada yang ia perkirakan. Di balik senyum dinginnya, Renata menekan tombol lain di gadget-nya, dan tiba-tiba, puluhan bola cahaya muncul, melayang-layang di sekitar tubuhnya seperti bintang-bintang kecil yang siap meledak kapan saja."Bersiaplah, Lilian," ucap Renata tenang, tangannya menggerakkan bola-bola cahaya itu dengan ketukan jari yang halus. Dalam sekejap, bola-bola itu melesat dengan kecepatan kilat, membelah udara menuju Lilian."Sialan! Kamu menggunakan teknologi lagi ... dasar pendekar rendahan, tidak tahu diri!"Segala makian keluar dari mulut Lily yang tampak putus asa menghadapi serangan teknologi yang dikelu
Kristin berdiri tegak, menatap Lena yang berkacak pinggang, tampak puas dengan sikap angkuhnya. Selendang merah Lena melambai pelan tertiup angin, seakan bersiap menghantam. Di mata Lena, Kristin hanyalah sosok lemah, tidak ada tanda-tanda kebesaran atau kekuatan yang terpancar dari tubuhnya. Bukan seperti seorang Jenderal Besar Negeri Khatulistiwa, pemimpin ratusan ribu prajurit yang menjaga perbatasan Kepulauan Tropis.“Lebih baik kau sujud di hadapanku, perempuan lemah!” Lena mendesis, suaranya penuh kesombongan. Tubuhnya tegap, kekar, setiap otot tampak jelas di balik pakaiannya. "Kalau kau melakukannya, mungkin aku akan mengampunimu."Kristin hanya tersenyum tipis, menatap Lena seolah dirinya sebuah lelucon. Tawanya kecil, namun cukup untuk membuat Lena gusar. “Kau sungguh percaya diri, Lena. Tadi saja kau hampir kalah melawan Jessy, dan sekarang kau pikir bisa menghinaku? Aku kagum dengan kelenturan tubuhmu—untuk seorang yang kekar berisi seperti itu.”Nada Kristin meluncur halu
Lena menggerakkan selendangnya dengan satu kibasan cepat, seperti ular yang meliuk di udara. Suara desis selendang yang menyapu angin memecah keheningan di antara mereka. Satu putaran sederhana, namun penuh dengan ancaman. Selendang itu, meskipun tampak lembut, bergerak bagaikan cambuk besi yang siap merobek kulit.Kristin dengan tenang mengangkat bayonetnya, sebuah senjata dengan bilah tajam yang berkilauan di bawah sinar matahari. Posisi kuda-kuda yang kokoh membuat tubuhnya seakan terpaku pada tanah, tak tergoyahkan oleh angin selendang Lena yang melibas ke arahnya.Whip! Kibasan selendang pertama mendarat dengan kekuatan besar, memburu kepala Kristin. Dengan gerakan gesit, Kristin mengayunkan bayonetnya secara horizontal, menahan serangan itu. Suara dentingan logam bertemu kain terdengar aneh di udara. Namun, selendang Lena bukan kain biasa; setiap seratnya ditanamkan kekuatan tenaga dalam yang membuatnya sekuat baja, memantul sedikit, tetapi kembali dengan kibasan yang lebih kuat