Alyn dan Bryan duduk dalam diam di dalam mobil yang diparkir di sudut jalanan yang sepi. Udara di antara mereka terasa berat, seakan segala sesak di luar sana berusaha masuk melalui setiap celah kecil yang ada.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Alyn, suaranya hampir pecah karena kepanikan yang perlahan-lahan menyelimuti dirinya.Bryan menarik napas panjang, berusaha mencari ketenangan di tengah situasi yang kacau ini. “Kita harus menghadapi ini, Alyn. Kita tidak bisa lari. Jika kita kabur sekarang, mereka akan menganggap kita bersalah dan situasinya akan semakin sulit untuk dijelaskan.”Alyn mengangguk meskipun hatinya masih diliputi ketakutan. Ia tahu Bryan benar. Jika mereka melarikan diri, itu hanya akan memperkuat semua tuduhan palsu yang beredar. Tetapi bagaimana mereka akan menjelaskan semuanya ketika berita-berita itu sudah telanjur tersebar luas?Bryan melihat wajah Alyn yang pucat, kemudian berkata dengan lembut, “Pertama, kita harus kembali ke kSementara itu, di luar sana, berita tentang pernyataan Rio mulai menyebar dengan cepat. Dunia bisnis mulai bergolak dengan berbagai spekulasi baru tentang hubungan antara Wijaya Group dan keluarga Anggara, serta tentang Alyn, wanita yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena pernyataan mengejutkan dari Rio.Di ruang tamu mewahnya yang elegan, Ericka duduk dengan senyum puas di wajahnya. Berita yang baru saja dibacanya memberikan rasa kemenangan yang tak tertandingi."Dengan semua berita yang beredar, sepertinya aku tidak perlu repot-repot mengotori tanganku sendiri," ujar Ericka, suaranya penuh dengan kepuasan terselubung.Dia menyerahkan tablet itu kembali pada Jinu, yang menerimanya dengan anggukan hormat.Jinu, yang selalu berwajah datar, mencoba membaca situasi tanpa mengungkapkan pikirannya. "Nona Ericka, berita ini memang berdampak besar. Tapi bukankah ini juga bisa menjadi masalah besar? Jika Anggara Group berhasil membuktikan bahwa berita ini palsu, itu bisa membahayakan po
Rio baru saja menutup mikrofon dan berbalik untuk meninggalkan podium ketika pintu ruangan konferensi terbuka dengan keras. Semua mata segera tertuju pada sosok yang baru saja memasuki ruangan—Alyn.Keramaian di dalam ruangan konferensi mendadak meledak dengan kilatan kamera dan suara kamera yang terus-menerus. Para fotografer berlomba-lomba mengambil gambar Alyn, yang kini menjadi pusat perhatian.Dengan langkah tegas, Alyn berjalan menuju Rio yang baru saja hendak meninggalkan ruangan. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun keraguan.Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, Rio dengan cepat melangkah ke arahnya. Dalam sekejap, Rio meraih tangan Alyn dengan lembut namun tegas, lalu menariknya keluar dari ruangan."Sayang, ayo kita pulang. Aku akan mengenalkanmu secara langsung pada keluargaku," kata Rio dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang di dalam ruangan.Alyn yang masih bingung dan terkejut hanya bisa mengikuti Rio. Di dalam hatinya, dia ing
Bu Chintya menghela napas marah, wajahnya memerah. "Cepat bereskan kekacauan ini!" perintahnya tajam, menatap pembantu yang berdiri gemetar. Suaranya penuh dengan nada dingin yang mencerminkan ketidaksabaran dan kekesalan.Pembantu itu terburu-buru berjongkok, mencoba mengumpulkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. Tangannya bergetar hebat, tanda bahwa ketakutan mendominasi dirinya.Alyn, yang sejak tadi merasa tidak enak dengan situasi tersebut, spontan ikut berjongkok di sampingnya. "Bi, Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.Pembantu itu terkejut dengan tindakan Alyn yang mendekat. Matanya berkilat-kilat dengan rasa syukur dan ketakutan yang bercampur aduk. "Sa-saya... baik, Bu," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, masih gugup.Melihat Alyn ikut membantu, Bu Chintya langsung bereaksi dengan marah. "Alyn, apa yang kau lakukan? Tinggalkan itu! Biarkan dia yang mengurusnya sendiri. Jangan tunjukkan simpati di sini, itu bukan urusanmu!"
"Aku harus pulang!" kata Alyn dengan cepat, berusaha menghindar dari situasi yang semakin sulit ia kendalikan.Tanpa menunggu jawaban Rio, dia segera melangkah ke pintu, tangannya gemetar saat meraih pegangan. Rio mencoba menahannya, tapi dia bisa melihat ketakutan dan kebingungan di mata Alyn."Alyn, tunggu," katanya dengan suara lembut namun tegas, berharap bisa menghentikan langkahnya.Alyn berhenti sejenak, namun tak berani menoleh. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rio. Semua ini... terlalu rumit." Suaranya terdengar rapuh, seolah kata-kata itu keluar dengan susah payah dari bibirnya.Rio menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam rasa frustasinya. "Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku serius dengan semua yang aku katakan. Tapi aku juga akan menghormati keputusanmu, apapun itu."Alyn menutup matanya, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia tahu bahwa kata-kata Rio bukan sekadar janji kosong. Namun, beban masa lalu dan keraguan dalam hatinya membuatnya tidak bisa bert
Setelah memastikan bahwa berita tentang Alyn telah lenyap dari dunia maya, Tuan Anggara kembali memanggil Bryan."Bagaimana dengan langkah selanjutnya?" tanyanya, suaranya tetap tenang namun penuh dengan otoritas."Kami telah menghubungi semua pihak terkait dan memberi peringatan. Keluarga Wijaya dan Ericka akan segera merasakan akibatnya," jawab Bryan dengan percaya diri.Tuan Anggara mengangguk pelan, lalu pandangannya kembali ke layar komputer, di mana rekaman konferensi pers Rio baru saja berakhir. Rasa penasaran dan sedikit ketidakpercayaan muncul di benaknya."Apa pendapatmu tentang pengakuan Rio yang menyatakan bahwa Alyn adalah tunangannya?" tanyanya dengan nada penuh pertimbangan.Bryan mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum menjawab, "Saya rasa itu adalah langkah yang berani, mungkin untuk melindungi Alyn dan menjaga reputasi keluarganya sendiri. Namun, kita tidak tahu pasti apa motif sebenarnya di baliknya."Tuan Anggara mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Aku
Rio menurunkan barang belanjaan terakhir dari tangannya, meletakkannya dengan hati-hati di atas meja dapur. Matanya memandang sekeliling ruangan sebelum akhirnya berhenti di wajah Alyn, penuh perhatian. "Apakah mereka mengganggumu?" tanyanya lembut, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk pindah saja."Alyn mendengus pelan, namun suaranya tetap tegas saat ia menjawab. "Tidak!" Tanpa menutupi rasa kesal di wajahnya, ia menatap Rio tajam. "Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini sepagi ini, tanpa memberitahuku terlebih dahulu?""Aku hanya ingin memastikan tunanganku tidak kelaparan," jawabnya dengan nada tenang, seolah tak terpengaruh oleh nada suara Alyn yang menusuk.Alyn menatapnya lama sebelum bicara kembali. "Aku bisa mengurus diriku sendiri, Rio. Kamu tahu itu kan?"Rio tertawa kecil, meskipun nada Alyn penuh ketegasan. “Tentu saja aku tahu. Tapi, bukankah lebih baik jika aku bisa membantumu?”Alyn menghela napas panjang, berusaha menenangkan
"Alyn, aku berbeda..."Rio menatap Alyn dengan tatapan serius, seolah tahu ada sesuatu yang berat yang disimpan oleh wanita itu. "Alyn, aku berbeda dengan pria itu. Aku tahu dia telah menyakitimu dan aku tidak akan pernah memaafkan dia atas apa yang telah dilakukanya padamu. Tapi kumohon, jangan melihatku sebagai bayangannya. Aku bukan dia yang telah merusak hidupmu."Alyn terdiam, matanya menatap Rio dengan campuran emosi yang sulit diuraikan. Dia tahu Rio berbeda, tapi dia masih belum bisa menata hatinya."Aku tahu kamu bukan dia," jawab Alyn pelan, matanya sedikit berkabut. "Tapi aku butuh waktu. Bisa kau tinggalkan aku?" pinta Alyn.Rio mengangguk pelan, menyadari betapa dalamnya luka yang Alyn bawa meski dia tidak mengetahui seluruh ceritanya. "Aku akan memberimu semua waktu yang kamu butuhkan, Alyn. Tapi tolong pertimbangkan."Mereka berdua terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meskipun ada rasa canggung dan kesedihan yang belum sepenuhn
"Apa maksud Dokter?" Suara Alyn terdengar lebih lemah dari sebelumnya.MJ tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia menghela napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang sulit."Aku sudah mengenalmu cukup lama, Alyn," katanya pelan, "dan aku tahu ada sesuatu yang tidak pernah kamu ungkapkan sepenuhnya. Setiap kali kita berbicara tentang ibumu, selalu ada sesuatu yang terasa... tidak selesai."Alyn merasa ruang kecil itu tiba-tiba semakin mengecil, udara di sekitarnya semakin menekan. Jantungnya berdetak lebih cepat, membuatnya sulit bernapas. "Ayahku bilang... ibu meninggal saat aku masih kecil. Aku ingat pemakamannya, meskipun samar."MJ menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Alyn dengan tatapan tajam yang penuh perhatian. "Ingatan kita bisa menipu, terutama ketika ada trauma yang terlibat. Dan kadang-kadang, keluarga menyembunyikan kebenaran untuk melindungi kita dari sesuatu yang lebih gelap."Kata-kata MJ menggema di
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny