Rio baru saja menutup mikrofon dan berbalik untuk meninggalkan podium ketika pintu ruangan konferensi terbuka dengan keras. Semua mata segera tertuju pada sosok yang baru saja memasuki ruangan—Alyn.
Keramaian di dalam ruangan konferensi mendadak meledak dengan kilatan kamera dan suara kamera yang terus-menerus. Para fotografer berlomba-lomba mengambil gambar Alyn, yang kini menjadi pusat perhatian.Dengan langkah tegas, Alyn berjalan menuju Rio yang baru saja hendak meninggalkan ruangan. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun keraguan.Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, Rio dengan cepat melangkah ke arahnya. Dalam sekejap, Rio meraih tangan Alyn dengan lembut namun tegas, lalu menariknya keluar dari ruangan."Sayang, ayo kita pulang. Aku akan mengenalkanmu secara langsung pada keluargaku," kata Rio dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang di dalam ruangan.Alyn yang masih bingung dan terkejut hanya bisa mengikuti Rio. Di dalam hatinya, dia ingBu Chintya menghela napas marah, wajahnya memerah. "Cepat bereskan kekacauan ini!" perintahnya tajam, menatap pembantu yang berdiri gemetar. Suaranya penuh dengan nada dingin yang mencerminkan ketidaksabaran dan kekesalan.Pembantu itu terburu-buru berjongkok, mencoba mengumpulkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. Tangannya bergetar hebat, tanda bahwa ketakutan mendominasi dirinya.Alyn, yang sejak tadi merasa tidak enak dengan situasi tersebut, spontan ikut berjongkok di sampingnya. "Bi, Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.Pembantu itu terkejut dengan tindakan Alyn yang mendekat. Matanya berkilat-kilat dengan rasa syukur dan ketakutan yang bercampur aduk. "Sa-saya... baik, Bu," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, masih gugup.Melihat Alyn ikut membantu, Bu Chintya langsung bereaksi dengan marah. "Alyn, apa yang kau lakukan? Tinggalkan itu! Biarkan dia yang mengurusnya sendiri. Jangan tunjukkan simpati di sini, itu bukan urusanmu!"
"Aku harus pulang!" kata Alyn dengan cepat, berusaha menghindar dari situasi yang semakin sulit ia kendalikan.Tanpa menunggu jawaban Rio, dia segera melangkah ke pintu, tangannya gemetar saat meraih pegangan. Rio mencoba menahannya, tapi dia bisa melihat ketakutan dan kebingungan di mata Alyn."Alyn, tunggu," katanya dengan suara lembut namun tegas, berharap bisa menghentikan langkahnya.Alyn berhenti sejenak, namun tak berani menoleh. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rio. Semua ini... terlalu rumit." Suaranya terdengar rapuh, seolah kata-kata itu keluar dengan susah payah dari bibirnya.Rio menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam rasa frustasinya. "Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku serius dengan semua yang aku katakan. Tapi aku juga akan menghormati keputusanmu, apapun itu."Alyn menutup matanya, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia tahu bahwa kata-kata Rio bukan sekadar janji kosong. Namun, beban masa lalu dan keraguan dalam hatinya membuatnya tidak bisa bert
Setelah memastikan bahwa berita tentang Alyn telah lenyap dari dunia maya, Tuan Anggara kembali memanggil Bryan."Bagaimana dengan langkah selanjutnya?" tanyanya, suaranya tetap tenang namun penuh dengan otoritas."Kami telah menghubungi semua pihak terkait dan memberi peringatan. Keluarga Wijaya dan Ericka akan segera merasakan akibatnya," jawab Bryan dengan percaya diri.Tuan Anggara mengangguk pelan, lalu pandangannya kembali ke layar komputer, di mana rekaman konferensi pers Rio baru saja berakhir. Rasa penasaran dan sedikit ketidakpercayaan muncul di benaknya."Apa pendapatmu tentang pengakuan Rio yang menyatakan bahwa Alyn adalah tunangannya?" tanyanya dengan nada penuh pertimbangan.Bryan mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum menjawab, "Saya rasa itu adalah langkah yang berani, mungkin untuk melindungi Alyn dan menjaga reputasi keluarganya sendiri. Namun, kita tidak tahu pasti apa motif sebenarnya di baliknya."Tuan Anggara mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Aku
Rio menurunkan barang belanjaan terakhir dari tangannya, meletakkannya dengan hati-hati di atas meja dapur. Matanya memandang sekeliling ruangan sebelum akhirnya berhenti di wajah Alyn, penuh perhatian. "Apakah mereka mengganggumu?" tanyanya lembut, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk pindah saja."Alyn mendengus pelan, namun suaranya tetap tegas saat ia menjawab. "Tidak!" Tanpa menutupi rasa kesal di wajahnya, ia menatap Rio tajam. "Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini sepagi ini, tanpa memberitahuku terlebih dahulu?""Aku hanya ingin memastikan tunanganku tidak kelaparan," jawabnya dengan nada tenang, seolah tak terpengaruh oleh nada suara Alyn yang menusuk.Alyn menatapnya lama sebelum bicara kembali. "Aku bisa mengurus diriku sendiri, Rio. Kamu tahu itu kan?"Rio tertawa kecil, meskipun nada Alyn penuh ketegasan. “Tentu saja aku tahu. Tapi, bukankah lebih baik jika aku bisa membantumu?”Alyn menghela napas panjang, berusaha menenangkan
"Alyn, aku berbeda..."Rio menatap Alyn dengan tatapan serius, seolah tahu ada sesuatu yang berat yang disimpan oleh wanita itu. "Alyn, aku berbeda dengan pria itu. Aku tahu dia telah menyakitimu dan aku tidak akan pernah memaafkan dia atas apa yang telah dilakukanya padamu. Tapi kumohon, jangan melihatku sebagai bayangannya. Aku bukan dia yang telah merusak hidupmu."Alyn terdiam, matanya menatap Rio dengan campuran emosi yang sulit diuraikan. Dia tahu Rio berbeda, tapi dia masih belum bisa menata hatinya."Aku tahu kamu bukan dia," jawab Alyn pelan, matanya sedikit berkabut. "Tapi aku butuh waktu. Bisa kau tinggalkan aku?" pinta Alyn.Rio mengangguk pelan, menyadari betapa dalamnya luka yang Alyn bawa meski dia tidak mengetahui seluruh ceritanya. "Aku akan memberimu semua waktu yang kamu butuhkan, Alyn. Tapi tolong pertimbangkan."Mereka berdua terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meskipun ada rasa canggung dan kesedihan yang belum sepenuhn
"Apa maksud Dokter?" Suara Alyn terdengar lebih lemah dari sebelumnya.MJ tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia menghela napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang sulit."Aku sudah mengenalmu cukup lama, Alyn," katanya pelan, "dan aku tahu ada sesuatu yang tidak pernah kamu ungkapkan sepenuhnya. Setiap kali kita berbicara tentang ibumu, selalu ada sesuatu yang terasa... tidak selesai."Alyn merasa ruang kecil itu tiba-tiba semakin mengecil, udara di sekitarnya semakin menekan. Jantungnya berdetak lebih cepat, membuatnya sulit bernapas. "Ayahku bilang... ibu meninggal saat aku masih kecil. Aku ingat pemakamannya, meskipun samar."MJ menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Alyn dengan tatapan tajam yang penuh perhatian. "Ingatan kita bisa menipu, terutama ketika ada trauma yang terlibat. Dan kadang-kadang, keluarga menyembunyikan kebenaran untuk melindungi kita dari sesuatu yang lebih gelap."Kata-kata MJ menggema di
Dua minggu telah berlalu sejak keguguran yang dialami Alyn, namun rasa sakit dan kehilangan itu masih menghimpit dadanya, mengingatkan betapa rapuh hidupnya.Hari ini, hari yang telah ia tunggu akhirnya tiba, dan meskipun hatinya masih terluka, Alyn bertekad untuk menghadapi masa depan dengan kepala tegak.Alyn tiba di lokasi pernikahan Felix dan Erika dengan Bryan di sampingnya. Bryan mengenakan setelan hitam yang elegan, sementara Alyn tampil anggun dalam balutan gaun merah marun yang memancarkan aura kebanggaan dan kekuatan. Keduanya tampak begitu berkelas dan menawan, membuat semua mata tertuju pada mereka saat melangkah masuk.Keramaian yang semula dipenuhi dengan canda tawa mendadak sunyi, terpesona oleh kehadiran Alyn yang anggun dan penuh percaya diri. Rasa puas mengalir dalam diri Alyn ketika melihat ekspresi terkejut Felix yang tak mampu menyembunyikan keterpanaannya.Alyn yang dulu tampak rapuh dan tak berdaya kini berdiri dengan martabat yang baru, memancarkan aura yang me
Tuan Anggara, sosok yang disegani, berdiri di ambang pintu. Dengan setelan jas hitam yang rapi dan aura otoritas yang tak terbantahkan, kehadirannya langsung menguasai ruangan.Keluarga Ericka memang telah mengundang Tuan Anggara, namun mereka tidak pernah menyangka bahwa pria berpengaruh ini akan turun tangan sendiri untuk menghadiri acara tersebut. Biasanya, undangan seperti ini hanya diwakili oleh salah satu staf atau perwakilannya, bukan oleh Tuan Anggara sendiri.Tatapan Tuan Anggara menyapu ruangan, seolah menilai setiap orang yang ada di dalamnya, sebelum akhirnya terhenti pada Alyn. Namun, tanpa menunjukkan hubungan pribadi mereka, ia melangkah lebih dekat ke tengah ruangan, menyapa tuan rumah dengan anggukan singkat.“Terima kasih atas undangannya,” ujar Tuan Anggara dengan nada yang dalam dan berwibawa. “Saya kebetulan sedang di kota, jadi saya memutuskan untuk hadir.”Keluarga Ericka, terutama Pak Hartono, terlihat kaget namun berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Merupaka