Tubuhku mematung seperti gunung es, hawa dingin sudah menyeruak ke seluruh aliran darah, aku nampak terkesima, sulit mengendalikan tubuh untuk menyingkir dari depan pintu saat Mas Aksa melangkah hendak keluar.
‘Ya Tuhan ada apa dengan tubuhku?’ tanyaku dalam hati, ‘mungkinkah ini akibat dari perbuatanku yang tidak meminta izin pada Mas Aksa saat memberikan uang itu pada Mbak Ratna?Aku memberikan uang itu pada Mbak Ratna karena permintaan Ibu, kalau bukan Ibu yang meminta, aku tidak akan memberikannya.' Hati terus meracau.Sebenarnya pernah suatu hari Ibu mengatakan hal yang membuatku takut menjadi anak durhaka, ia mengatakan kalau aku sama sekali tidak bisa diandalkan.“Kamu itu ya Hil, suami punya uang banyak, seratus ribu sebulan pun, kamu nggak pernah memberinya pada Ibu,” ucapnya kala itu.Hatiku sangat sakit ketika Ibu mengatakan hal itu, apalagi baru saja Mas Ilham, suaminya Mbak Ratna membawakan belanjaan untuk memenuhi kebutuhan harian beliau.“Tak ada lagi menatu sepengertian Ilham pada orang tua, tiap bulan ia bagi rezeki untuk ibu tanpa diminta, makanya rezekinya lancar,” ucapnya lagi sedikit lebih menekan. Aku tahu maksud dari perkataan Ibu itu jelas untuk menyindirku yang belum pernah memberinya apapun.‘Kreeeeek ….’Suara pintu yang dibuka perlahan oleh Mas Aksa dari dalam membuatku cepat berjongkok di balik kursi. Persis di samping dinding kamar kami.Saat kuintip dari celah pertemuan dua kursi, Mas Aksa masih sibuk menyibak lemari tv, meja keluarga sampai ke kamar tamu. Tanganya bahkan menggeser-geser kursi dan nakas kecil yang kami simpan di ruang tengah.Dahiku sudah mengeluarkan keringat dingin, entah apa yang akan aku katakan kepada Mas Aksa kalau sampai ia menemukanku bersembunyi di sini.Mas Aksa semakin mendekat ke arahku, tangan dan kakinya menggeser celah kursi, dan meraba bagian sisinya.Aku menahan napas saat tangan Mas Aksa terlihat menjulur ke depanku sekarang, ia masih menggeser-geser kursi hingga menjepit tubuhku ke dinding, sandaran sofa yang tinggi ternyata mampu menyembunyikan tubuhku yang kecil dan luput dari pandangannya.“Hilya!” panggilnya. Suaranya sudah seperti petir di siang bolong.Yasalam, tamatlah aku!“Hilya!” panggilnya lagi.'Pasrahlah sudah, sebaiknya aku mengatakannya saja. Tapi, bagaimana kalau Mas Aksa tidak memaafkan dan menelantarkanku berhari-hari?'“Hilyaaa!” panggilnya semakin keras.“I- …." Baru saja aku akan membuka mulut.Brank! Suara keras terdengar dari dapur.“Hilya!” panggil Mas Aksa seiring suara langkah yang menjauh.Aku segera berdiri dan berlari mengikuti Mas Aksa ke dapur. Menyeka keringat yang sempat mengucur deras. Bukan hanya karena takut di temukan, tapi ternyata hawa di balik kursi itu juga panas.“Iya Mas,” sahutku pelan di belakangnya.“Kamu dari mana saja sih! Mas, sudah manggil dari tadi! lihat tuh, kucing mencuri Ikan!” sentaknya. Aku segera mengejar kucing hingga teras dan akhirnya ia menjatuhkan ikannya. Pelan kubersihkan kotoran yang sedikit menempel pada ikan, dan membawanya kembali ke dapur, menyimpannya di piring kosong.Kulihat Mas Aksa makan dalam diam, wajahnya nampak kesal dengan kejadian barusan, aku berjongkok di bawah meja untuk mengelap jatuhan ikan yang di bawa sang kucing. Sungguh tidak berani menegur Mas Aksa sekarang, ia memang punya sifat seperti itu, mudah tersinggung dan cepat kesal. Jika sudah seperti itu, jangankan bersikap baik ditanya pun tidak akan dijawabnya.Kulihat Mas Aksa menyelesaikan makannya dengan cepat, ia menyimpan piring kotornya begitu saja dan mengambil air minum tanpa menegurku. Ikannya tinggal tulang dan kepalanya saja, kebetulan Mas Aksa hanya membeli dua ekor ikan tadi pagi, aku tidak pernah makan siang dan hanya menunggu makan sore bersamanya. Namun, kini dihadapanku hanya tinggal ikan yang digigit kucing tadi. Haruskah aku memakannya? perut berbunyi lirih dan terasa sangat perih. Sedangkan tak ada lauk lagi di meja makan selain sambal cobek yang kubuat untuk menemani ikan goreng.Kucing itu memang menyelamatkanku dari Mas Aksa, tapi akhirnya ia menyiksaku juga. Perlahan aku mencubit bagian ikan yang belum koyak, setahuku kucing tidak menyebarkan virus lewat mulutnya, mungkin tidak apa-apa kalau aku memakannya dari tempat yang tidak ia gigit.‘Bagaimana ya? pertanyaan dibenakku kembali datang, ‘haruskah kutanyakan pada Mbak Ratna perihal uang itu? tapi Ibu yang meminta, masa iya aku tanyakan pada Mbak Ratna,’ batinku terus berbicara.“Hilya!” panggil Mas Aksa dari dalam rumah.Seketika suaranya membuyarkan lamunan, hingga membuatku terperanjat.“Uhuk … huk … huk …." Aku tersedak nasi yang baru saja sampai di tenggorokan.“Iya Mas,” jawabku pelan sembari memuntahkannya kembali.“Kemarilah!” pintanya.Aku segera mencuci tangan dan menghampiri, “Ada apa Mas?” tanyaku gelapan.Mas Aksa baru selesai mandi dan ia sedang duduk di kursi tamu, kepalanya masih memperhatikan berbagai sudut di ruangan itu.“Kamu …,” ucapnya terjeda.Aku menelan ludah kasar, terdengar suaranya hingga ketelinga.“Kamu lihat …,” nampak Mas Aksa berpikir untuk memilah kata. Aku masih menunggu ia melanjutkan ucapannya dan sibuk membaca segala mantra.“Kamu lihat yang merah nggak?” tanyanya.“Hm!” aku tertegun dengan pertanyaan si merah, ‘bukannya yang berwarna merah itu banyak, hari ini aku hanya melihat uang tapi tidak melihat cat merah misal.’ Alibiku terus berputar membuat alasan agar bisa berbohong“Ah sudahlah! Mas mau istrihat, kepala serasa pecah mikirin itu dari pagi!” kelakarnya berjalan ke dalam kamar."Hah!"Aku mengelus dada, “Selamat!”Bersambung .....Aku berpikir semalaman dan memutuskan untuk menanyakan perihal uang itu pada Mbak Ratna, mungkin saja ia bisa mengembalikannya, karena yang kutahu Mbak Ratna tidak pernah kekurangan uang.Bagimanapun uang itu masih di cari Mas Aksa, aku bisa menyimpannya di suatu tempat agar bisa ditemukan Mas Aksa kalau Mbak Ratna mau mengembalikannya.[Assalamualaikum Mbak] Kukirim pesan padanya pagi-pagi buta. Mumpung Mas Aksa belum bangun, rasa bersalah padanya membuatku tidak bisa tidur tenang semalam, bahkan berkali-kali aku bermimpi uang itu sudah dikembalikan.Lima belas menit aku menunggu, Mbak Ratna akhirnya membalas. [Ya, ada apa?][Kemarin aku kirim uang satu juta Mbak, ada?] tanyaku basa-basi.[Ada.] Balasnya. Dingin sekali sikapnya, apakah dia tidak bisa mengucapkan kata terimakasih karena sudah dibantu?[Oh ya syukurlah Mbak.]Lama lagi dia tidak membalas dan hanya di baca saja. Haduh! kenapa Mbak Ratna benar-benar tidak bertanya apapun?[Uang itu milik Mas Aksa Mbak,] kataku lagi meng
Aku masih memelototi status itu, sudah diunggah satu jam yang lalu, bagaimana mungkin Mbak Ratna bisa berpikir pendek padahal ia lulusan Universitas, beda denganku yang hanya lulusan SMA, di mana pikirannya hingga ia tega menjadikan hubungan persaudaraan kami jadi konsumsi publik.Kalau aku membalas status itu malah takut tambah runyam dan dia mengunggah percakapan kami lagi. Sudahlah biarkan saja, yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana kalau Mas Aksa membacanya?Masih belum selesai berpikir apalagi menemukan solusi, ponsel sudah berbunyi nyaring, aku sampai terkaget dan menjatuhkanya ketika nama yang memanggil adalah Mas Aksa.‘Ah aku benar-benar tamat!'[Hallo, Mas?][Kamu dimana?][Di rumah Mas,] jawabku gugup.Lalu, ponsel di matikan. Yasalam, kenapa aku begitu polos dan b*d*h! kenapa juga harus bilang di rumah, dia pasti pulang menanyaiku sekarang. Ayolah berpikir Hilya, sebaiknya alasan apa yang kamu berikan pada Mas Aksa!“Assalamualaikum.”Deg! Hatiku langsung bergem
Mata Mas Aksa masih melotot tajam padaku, ia menunggu penjelasan atas kesalahan bicara yang kulakukan tadi."Baiklah," ucapku pasrah, "aku menemukan uang di saku celana coklat satu juta, tadinya aku mau menunggu Mas sampai lupa, tapi ternyata ibu menelpon meminta bantuan, dan diminta untuk dikirimkan pada Mbak Ratna,” ucapku lemas. Aku ini b*d*h atau kurang pintar sih, lemot amat otaknya! Geramku pada diri sendiri.“Ilham kan pengusaha sukses, kakakmu juga bekerja, kenapa Ibu meminta uangmu untuk diberikan padanya?” Matanya melotot tak percaya dengan pengakuanku.“Aku tidak tahu Mas, ibu yang meminta, makanya aku menurutinya," belaku.“Harusnya kamu tanya benar-benar, lagian itu uangku, kamu sudah berani mengambilnya tanpa seijin pemiliknya!”“Minta ijin pun percuma, Mas tidak akan memberikannya.”“Ya, jelas tidak! mereka itu orang berpunya, dibantu pun tidak akan berterima kasih.” Rahang Mas Aksa mengeras, “terus bagaimana tanggung jawabmu?” tanyanya lagi.“Mas minta ganti uangnya?”
Aku memeras ujung kerudung yang berat karena air hujan, tubuh sedikit terasa dingin, apalagi di dalam mobil menggunakan AC.“Maaf ya, kamu jadi kedinginan, kalau AC nya dimatikan kacanya berkabut,” ucap Aziel ragu.Aku menggeleng, tentu tidak elok kalau aku yang hanya menumpang ini banyak maunya, “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabku lirih. Padahal kaki terasa begitu dingin.“Kamu mau kemana hujan-hujan begini, Hil?” tanyanya lagi, tanpa menoleh. Hujan semakin deras, Aziel harus lebih berhati-hati dalam mengemudi.“Mau ke pasar,” jawabku singkat.“Suamimu?” tanyanya lagi ragu.“Hm! ada,” jawabku sedikit risih dengan pertanyaan itu.Aziel hanya terlihat mengangguk pelan, matanya masih fokus pada jalanan, ia tidak memperpanjang percakapan kami tentang Mas Aksa. Hanya fokus pada jalan di depan sampai mobil akhirnya sampai di pasar, tapi deretan toko sudah banyak yang tutup, mungkin karena turun hujan, hingga mereka tutup lebih awal.“Kamu mau turun di mana?” tanyanya Aziel sembar
Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.‘Tok …, tok …, tok ….’Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.“Ada apa?” tanyaku heran.Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu
Kaki berjalan gontai masuk ke dalam rumah, serasa mimpi, dalam beberapa hari kehidupanku jungkir balik, sekarang aku harus membayar sewa untuk rumahku sendiri, tidak lagi melayani suami, dan akan lebih banyak menghabiskan banyak hari di luar, apakah kehidupan seperti ini sudah tepat?Ah entahlah! yang harus aku pikirkan sekarang adalah di mana aku harus bekerja dan mendapatkan uang, dalam sebulan aku harus memiliki uang minimal dua juta tiga ratus, apakah itu sudah seperti hidup ngontrak sendiri, dan kumpul kebo sama suami?“His! sepertinya otakku sudah oleng dan mulai gila!” kelakarku, menggerutu pada diri sendiri.Aku mengambil kartu nama yang diberikan Ulfa kemarin, ia baru saja mendapatkan pekerjaan baru, mungkin aku bisa ikut meski jadi tukang bantu-bantu, tidak apalah, yang penting bisa makan tiap hari untuk menyambung hidup.Selagi menunggu panggilan tersambung aku berjalan ke warnas untuk membeli sarapan.“Tumben Mbak, biasanya Mas Aksa yang membeli?” tanya si pemilik warnas k
Dadaku bergemuruh, keinginan untuk memiliki banyak uang dan menunjukkan eksistensi diri pada mereka yang katanya keluarga terus meluap-luap hingga pikiran jernihku terlindas oleh gejolaknya. Hati terus memacu dan berkata lantang kalau aku bisa melakukannya, lagi pula bukannya hidupku sudah kacau, aku tidak punya siapapun yang peduli, tidak akan ada yang tahu apalagi bersimpati dengan apa yang aku lakukan sekarang.“Sudah siap Mbak?” tanya Ulfa yang sudah berdiri di sampingku.Tanganku mengepal dengan bergetar, bayangan tawa mereka ketika sedang mengejekku terus terngiang, belum lagi sikap Mas Aksa yang menambah hidupku menjadi tidak ada artinya.“Hm!” jawabku yakin.“Di depan Bos, Mbak Hilya harus tunjukkan sisi cantik diri Mbak ya?” ucap Ulfa lagi sembari tersenyum nakal.Kami berjalan menuju koridor, sepanjang jalan jemari kakiku terasa bergetar dan dingin, antara menapak dan tidak. Tubuh Ulfa berhenti di sebuah ruangan di lantai tiga, hanya ada satu ruangan di lantai ini dan terli
"Aziel?” panggilku lirih.Mata itu menatapku sendu, mengedip lambat tampak menahan sesuatu. ‘Tidak! jangan menangis karena melihat kemalanganku,' keluhku dalam hati.‘Aku tidak ingin kamu pun menganggapku lemah seperti yang lain,’ sorot mataku terus berbicara padanya, 'aku tidak ingin dikasihani menjadi perempuan yang lemah. terutama olehmu. Dari dulu hanya kamu yang selalu membuatku bangga menjadi diriku sendiri, tolong jangan menangis.’Mata itu masih menatapku, menyapu pandangannya pada sekeliling.“Sudah kukatakan jangan menggunakan sepatu berhak tinggi,” bibir Aziel bergetar seraya berjongkok di hadapanku. Aku tahu ia sedang menahan hatinya agar tidak mengasihaniku.“Aku tidak apa-apa, kaki hanya tergilir saja, jadi aku tidak bisa bangun,” jelasku.Aziel melihat tumitku yang berdarah, memegangnya pelan, “Ini dalam Hilya,” desisnya lagi.“Aku bantu kamu bangun, kita ke dokter,” pintanya.Aku menggeleng saat mencoba berdiri, tangan mengaleng pada lehernya, “Antar aku pulang saja,”
Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun
Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me
“Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.
Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak
Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed
Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh
Perempuan di depanku saat ini masih menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan, isak tangis terdengar bergitu menyayat.“Benarkah Anda sangat menyesal telah berselingkuh?” tanyaku. Mungkin semua bisa berakhir lebih baik kalau mereka ingin memperbaiki kesalahan.Perempuan itu menengadah, menyeka air mata dan menatapku. Lalu, menggeleng.“Bukan itu,” jawabnya tercekat.Dahiku mengernyit, kalau bukan hal itu, lalu apa yang menjadi penyesalannya?“Maksud Anda?”“Aku tidak pernah menyesal mencintainya, dia adalah lelaki terbaik yang pernah menyayangiku.” Tangannya kembali menyeka sisa air mata terakhir yang terjatuh.“Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya bukan orang baik, bagaimana mungkin Anda menilainya sebagai orang baik?” “Mh!” Mulutnya sedikit mencibir.“Dia adalah seorang suami yang rela mengorbarkan hati dan raga demi memenuhi keserakahan keluarganya yang haus akan kesenangan. Dia tidak sedikit pun melakukan dosa, karena kami menikah. Aku yang memintanya.”Mataku terbe
“Selain itu Bapak …,” ucapan Ibu terjeda. Genangan air mata berjatuhan, “Ia berselingkuh.”Mataku melotot mendengar kalimat terakhir Ibu. Mungkinkah ada rahasia yang masih belum terungkap?“Ayah selingkuh?” bibirku bersuara pelan.Ibu menatap kosong, membiarkan air matanya berjatuhan."Iya, sesekali Ibu membaca chat mesra mereka."“Mungkin Aksa tidak tahu hal ini,” lanjutnya.Rasanya aku tidak percaya mendengar perkataan Ibu. Otakku yang minimalis mencoba menyatukan potongan masalah di masa lalu mereka.‘Ayah di tangkap karena korupsi, menurut Mas Aksa ia melakukan itu untuk memenuhi sifat foya-foya Ibu dan anak-anaknya, sekarang Ayah selingkuh? apa mungkin ia menjual harga dirinya demi uang seperti Mas Ilham?’ apa karena itu Mas Aksa sampai meriang melihat pemandangan di Villa? berarti Mas Aksa tahu kalau ayahnya selingkuh, sehingga ia begitu trauma saat melihat kejadian yang sama?' Aku bermolog dalam hati.'Ya memang seperti itu adanya, sekarang perlahan aku bisa paham dengan posisi
Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had