Tubuhku mematung seperti gunung es, hawa dingin sudah menyeruak ke seluruh aliran darah, aku nampak terkesima, sulit mengendalikan tubuh untuk menyingkir dari depan pintu saat Mas Aksa melangkah hendak keluar.
‘Ya Tuhan ada apa dengan tubuhku?’ tanyaku dalam hati, ‘mungkinkah ini akibat dari perbuatanku yang tidak meminta izin pada Mas Aksa saat memberikan uang itu pada Mbak Ratna?Aku memberikan uang itu pada Mbak Ratna karena permintaan Ibu, kalau bukan Ibu yang meminta, aku tidak akan memberikannya.' Hati terus meracau.Sebenarnya pernah suatu hari Ibu mengatakan hal yang membuatku takut menjadi anak durhaka, ia mengatakan kalau aku sama sekali tidak bisa diandalkan.“Kamu itu ya Hil, suami punya uang banyak, seratus ribu sebulan pun, kamu nggak pernah memberinya pada Ibu,” ucapnya kala itu.Hatiku sangat sakit ketika Ibu mengatakan hal itu, apalagi baru saja Mas Ilham, suaminya Mbak Ratna membawakan belanjaan untuk memenuhi kebutuhan harian beliau.“Tak ada lagi menatu sepengertian Ilham pada orang tua, tiap bulan ia bagi rezeki untuk ibu tanpa diminta, makanya rezekinya lancar,” ucapnya lagi sedikit lebih menekan. Aku tahu maksud dari perkataan Ibu itu jelas untuk menyindirku yang belum pernah memberinya apapun.‘Kreeeeek ….’Suara pintu yang dibuka perlahan oleh Mas Aksa dari dalam membuatku cepat berjongkok di balik kursi. Persis di samping dinding kamar kami.Saat kuintip dari celah pertemuan dua kursi, Mas Aksa masih sibuk menyibak lemari tv, meja keluarga sampai ke kamar tamu. Tanganya bahkan menggeser-geser kursi dan nakas kecil yang kami simpan di ruang tengah.Dahiku sudah mengeluarkan keringat dingin, entah apa yang akan aku katakan kepada Mas Aksa kalau sampai ia menemukanku bersembunyi di sini.Mas Aksa semakin mendekat ke arahku, tangan dan kakinya menggeser celah kursi, dan meraba bagian sisinya.Aku menahan napas saat tangan Mas Aksa terlihat menjulur ke depanku sekarang, ia masih menggeser-geser kursi hingga menjepit tubuhku ke dinding, sandaran sofa yang tinggi ternyata mampu menyembunyikan tubuhku yang kecil dan luput dari pandangannya.“Hilya!” panggilnya. Suaranya sudah seperti petir di siang bolong.Yasalam, tamatlah aku!“Hilya!” panggilnya lagi.'Pasrahlah sudah, sebaiknya aku mengatakannya saja. Tapi, bagaimana kalau Mas Aksa tidak memaafkan dan menelantarkanku berhari-hari?'“Hilyaaa!” panggilnya semakin keras.“I- …." Baru saja aku akan membuka mulut.Brank! Suara keras terdengar dari dapur.“Hilya!” panggil Mas Aksa seiring suara langkah yang menjauh.Aku segera berdiri dan berlari mengikuti Mas Aksa ke dapur. Menyeka keringat yang sempat mengucur deras. Bukan hanya karena takut di temukan, tapi ternyata hawa di balik kursi itu juga panas.“Iya Mas,” sahutku pelan di belakangnya.“Kamu dari mana saja sih! Mas, sudah manggil dari tadi! lihat tuh, kucing mencuri Ikan!” sentaknya. Aku segera mengejar kucing hingga teras dan akhirnya ia menjatuhkan ikannya. Pelan kubersihkan kotoran yang sedikit menempel pada ikan, dan membawanya kembali ke dapur, menyimpannya di piring kosong.Kulihat Mas Aksa makan dalam diam, wajahnya nampak kesal dengan kejadian barusan, aku berjongkok di bawah meja untuk mengelap jatuhan ikan yang di bawa sang kucing. Sungguh tidak berani menegur Mas Aksa sekarang, ia memang punya sifat seperti itu, mudah tersinggung dan cepat kesal. Jika sudah seperti itu, jangankan bersikap baik ditanya pun tidak akan dijawabnya.Kulihat Mas Aksa menyelesaikan makannya dengan cepat, ia menyimpan piring kotornya begitu saja dan mengambil air minum tanpa menegurku. Ikannya tinggal tulang dan kepalanya saja, kebetulan Mas Aksa hanya membeli dua ekor ikan tadi pagi, aku tidak pernah makan siang dan hanya menunggu makan sore bersamanya. Namun, kini dihadapanku hanya tinggal ikan yang digigit kucing tadi. Haruskah aku memakannya? perut berbunyi lirih dan terasa sangat perih. Sedangkan tak ada lauk lagi di meja makan selain sambal cobek yang kubuat untuk menemani ikan goreng.Kucing itu memang menyelamatkanku dari Mas Aksa, tapi akhirnya ia menyiksaku juga. Perlahan aku mencubit bagian ikan yang belum koyak, setahuku kucing tidak menyebarkan virus lewat mulutnya, mungkin tidak apa-apa kalau aku memakannya dari tempat yang tidak ia gigit.‘Bagaimana ya? pertanyaan dibenakku kembali datang, ‘haruskah kutanyakan pada Mbak Ratna perihal uang itu? tapi Ibu yang meminta, masa iya aku tanyakan pada Mbak Ratna,’ batinku terus berbicara.“Hilya!” panggil Mas Aksa dari dalam rumah.Seketika suaranya membuyarkan lamunan, hingga membuatku terperanjat.“Uhuk … huk … huk …." Aku tersedak nasi yang baru saja sampai di tenggorokan.“Iya Mas,” jawabku pelan sembari memuntahkannya kembali.“Kemarilah!” pintanya.Aku segera mencuci tangan dan menghampiri, “Ada apa Mas?” tanyaku gelapan.Mas Aksa baru selesai mandi dan ia sedang duduk di kursi tamu, kepalanya masih memperhatikan berbagai sudut di ruangan itu.“Kamu …,” ucapnya terjeda.Aku menelan ludah kasar, terdengar suaranya hingga ketelinga.“Kamu lihat …,” nampak Mas Aksa berpikir untuk memilah kata. Aku masih menunggu ia melanjutkan ucapannya dan sibuk membaca segala mantra.“Kamu lihat yang merah nggak?” tanyanya.“Hm!” aku tertegun dengan pertanyaan si merah, ‘bukannya yang berwarna merah itu banyak, hari ini aku hanya melihat uang tapi tidak melihat cat merah misal.’ Alibiku terus berputar membuat alasan agar bisa berbohong“Ah sudahlah! Mas mau istrihat, kepala serasa pecah mikirin itu dari pagi!” kelakarnya berjalan ke dalam kamar."Hah!"Aku mengelus dada, “Selamat!”Bersambung .....Aku berpikir semalaman dan memutuskan untuk menanyakan perihal uang itu pada Mbak Ratna, mungkin saja ia bisa mengembalikannya, karena yang kutahu Mbak Ratna tidak pernah kekurangan uang.Bagimanapun uang itu masih di cari Mas Aksa, aku bisa menyimpannya di suatu tempat agar bisa ditemukan Mas Aksa kalau Mbak Ratna mau mengembalikannya.[Assalamualaikum Mbak] Kukirim pesan padanya pagi-pagi buta. Mumpung Mas Aksa belum bangun, rasa bersalah padanya membuatku tidak bisa tidur tenang semalam, bahkan berkali-kali aku bermimpi uang itu sudah dikembalikan.Lima belas menit aku menunggu, Mbak Ratna akhirnya membalas. [Ya, ada apa?][Kemarin aku kirim uang satu juta Mbak, ada?] tanyaku basa-basi.[Ada.] Balasnya. Dingin sekali sikapnya, apakah dia tidak bisa mengucapkan kata terimakasih karena sudah dibantu?[Oh ya syukurlah Mbak.]Lama lagi dia tidak membalas dan hanya di baca saja. Haduh! kenapa Mbak Ratna benar-benar tidak bertanya apapun?[Uang itu milik Mas Aksa Mbak,] kataku lagi meng
Aku masih memelototi status itu, sudah diunggah satu jam yang lalu, bagaimana mungkin Mbak Ratna bisa berpikir pendek padahal ia lulusan Universitas, beda denganku yang hanya lulusan SMA, di mana pikirannya hingga ia tega menjadikan hubungan persaudaraan kami jadi konsumsi publik.Kalau aku membalas status itu malah takut tambah runyam dan dia mengunggah percakapan kami lagi. Sudahlah biarkan saja, yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana kalau Mas Aksa membacanya?Masih belum selesai berpikir apalagi menemukan solusi, ponsel sudah berbunyi nyaring, aku sampai terkaget dan menjatuhkanya ketika nama yang memanggil adalah Mas Aksa.‘Ah aku benar-benar tamat!'[Hallo, Mas?][Kamu dimana?][Di rumah Mas,] jawabku gugup.Lalu, ponsel di matikan. Yasalam, kenapa aku begitu polos dan b*d*h! kenapa juga harus bilang di rumah, dia pasti pulang menanyaiku sekarang. Ayolah berpikir Hilya, sebaiknya alasan apa yang kamu berikan pada Mas Aksa!“Assalamualaikum.”Deg! Hatiku langsung bergem
Mata Mas Aksa masih melotot tajam padaku, ia menunggu penjelasan atas kesalahan bicara yang kulakukan tadi."Baiklah," ucapku pasrah, "aku menemukan uang di saku celana coklat satu juta, tadinya aku mau menunggu Mas sampai lupa, tapi ternyata ibu menelpon meminta bantuan, dan diminta untuk dikirimkan pada Mbak Ratna,” ucapku lemas. Aku ini b*d*h atau kurang pintar sih, lemot amat otaknya! Geramku pada diri sendiri.“Ilham kan pengusaha sukses, kakakmu juga bekerja, kenapa Ibu meminta uangmu untuk diberikan padanya?” Matanya melotot tak percaya dengan pengakuanku.“Aku tidak tahu Mas, ibu yang meminta, makanya aku menurutinya," belaku.“Harusnya kamu tanya benar-benar, lagian itu uangku, kamu sudah berani mengambilnya tanpa seijin pemiliknya!”“Minta ijin pun percuma, Mas tidak akan memberikannya.”“Ya, jelas tidak! mereka itu orang berpunya, dibantu pun tidak akan berterima kasih.” Rahang Mas Aksa mengeras, “terus bagaimana tanggung jawabmu?” tanyanya lagi.“Mas minta ganti uangnya?”
Aku memeras ujung kerudung yang berat karena air hujan, tubuh sedikit terasa dingin, apalagi di dalam mobil menggunakan AC.“Maaf ya, kamu jadi kedinginan, kalau AC nya dimatikan kacanya berkabut,” ucap Aziel ragu.Aku menggeleng, tentu tidak elok kalau aku yang hanya menumpang ini banyak maunya, “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabku lirih. Padahal kaki terasa begitu dingin.“Kamu mau kemana hujan-hujan begini, Hil?” tanyanya lagi, tanpa menoleh. Hujan semakin deras, Aziel harus lebih berhati-hati dalam mengemudi.“Mau ke pasar,” jawabku singkat.“Suamimu?” tanyanya lagi ragu.“Hm! ada,” jawabku sedikit risih dengan pertanyaan itu.Aziel hanya terlihat mengangguk pelan, matanya masih fokus pada jalanan, ia tidak memperpanjang percakapan kami tentang Mas Aksa. Hanya fokus pada jalan di depan sampai mobil akhirnya sampai di pasar, tapi deretan toko sudah banyak yang tutup, mungkin karena turun hujan, hingga mereka tutup lebih awal.“Kamu mau turun di mana?” tanyanya Aziel sembar
Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.‘Tok …, tok …, tok ….’Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.“Ada apa?” tanyaku heran.Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu
Kaki berjalan gontai masuk ke dalam rumah, serasa mimpi, dalam beberapa hari kehidupanku jungkir balik, sekarang aku harus membayar sewa untuk rumahku sendiri, tidak lagi melayani suami, dan akan lebih banyak menghabiskan banyak hari di luar, apakah kehidupan seperti ini sudah tepat?Ah entahlah! yang harus aku pikirkan sekarang adalah di mana aku harus bekerja dan mendapatkan uang, dalam sebulan aku harus memiliki uang minimal dua juta tiga ratus, apakah itu sudah seperti hidup ngontrak sendiri, dan kumpul kebo sama suami?“His! sepertinya otakku sudah oleng dan mulai gila!” kelakarku, menggerutu pada diri sendiri.Aku mengambil kartu nama yang diberikan Ulfa kemarin, ia baru saja mendapatkan pekerjaan baru, mungkin aku bisa ikut meski jadi tukang bantu-bantu, tidak apalah, yang penting bisa makan tiap hari untuk menyambung hidup.Selagi menunggu panggilan tersambung aku berjalan ke warnas untuk membeli sarapan.“Tumben Mbak, biasanya Mas Aksa yang membeli?” tanya si pemilik warnas k
Dadaku bergemuruh, keinginan untuk memiliki banyak uang dan menunjukkan eksistensi diri pada mereka yang katanya keluarga terus meluap-luap hingga pikiran jernihku terlindas oleh gejolaknya. Hati terus memacu dan berkata lantang kalau aku bisa melakukannya, lagi pula bukannya hidupku sudah kacau, aku tidak punya siapapun yang peduli, tidak akan ada yang tahu apalagi bersimpati dengan apa yang aku lakukan sekarang.“Sudah siap Mbak?” tanya Ulfa yang sudah berdiri di sampingku.Tanganku mengepal dengan bergetar, bayangan tawa mereka ketika sedang mengejekku terus terngiang, belum lagi sikap Mas Aksa yang menambah hidupku menjadi tidak ada artinya.“Hm!” jawabku yakin.“Di depan Bos, Mbak Hilya harus tunjukkan sisi cantik diri Mbak ya?” ucap Ulfa lagi sembari tersenyum nakal.Kami berjalan menuju koridor, sepanjang jalan jemari kakiku terasa bergetar dan dingin, antara menapak dan tidak. Tubuh Ulfa berhenti di sebuah ruangan di lantai tiga, hanya ada satu ruangan di lantai ini dan terli
"Aziel?” panggilku lirih.Mata itu menatapku sendu, mengedip lambat tampak menahan sesuatu. ‘Tidak! jangan menangis karena melihat kemalanganku,' keluhku dalam hati.‘Aku tidak ingin kamu pun menganggapku lemah seperti yang lain,’ sorot mataku terus berbicara padanya, 'aku tidak ingin dikasihani menjadi perempuan yang lemah. terutama olehmu. Dari dulu hanya kamu yang selalu membuatku bangga menjadi diriku sendiri, tolong jangan menangis.’Mata itu masih menatapku, menyapu pandangannya pada sekeliling.“Sudah kukatakan jangan menggunakan sepatu berhak tinggi,” bibir Aziel bergetar seraya berjongkok di hadapanku. Aku tahu ia sedang menahan hatinya agar tidak mengasihaniku.“Aku tidak apa-apa, kaki hanya tergilir saja, jadi aku tidak bisa bangun,” jelasku.Aziel melihat tumitku yang berdarah, memegangnya pelan, “Ini dalam Hilya,” desisnya lagi.“Aku bantu kamu bangun, kita ke dokter,” pintanya.Aku menggeleng saat mencoba berdiri, tangan mengaleng pada lehernya, “Antar aku pulang saja,”