“Kakinya jangan bergerak, Mi. Takut jahitannya lepas, biar ini terbuka saja ya.”Oma Wira masih saja menutup matanya dan pura-pura tak mendengar ucapan Arin.“Arin pijitin kepalanya, ya, Oma?”Arin memijat dengan pelan pelipis dan juga kepala bagian depan dengan lembut hingga Oma merasa nyaman dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Kaisar yang baru saja masuk dan melihat Arin mengisyaratkan dengan telunjuknya untuk tidak bersuara, membuat Kaisar urung masuk ke dalam kamar Arin.“Lho, nggak jadi berbincang dengan Oma, Kai?” tanya Rahayu.“Oma sudah tertidur, tadi Arin sedang memijat kepala Oma.”Kaisar duduk di ruang keluarga sambil menyeruput kopi buatan maminya. Tak lupa, teman sang kopi juga tersaji di sana.“Kamu hendak menginap lama, Kai? Kok bawa tas besar?” tanya Mami.“Bukan Kaisar, tapi Arin dan Agam. Kaisar lelah jika harus pulang pergi, Cilacap-Purwokerto, jadi Kai nitip istri dan anak buat bantu Mami jagain Oma.”“Kamu ini, kamu kira Arin itu barang opo piye kok dititipin
“Ibu,” panggil Agam saat tengah malam terbangun. Arin sengaja memang meminta agar Agam dipindahkan tidur di kamar bersama dengan Kaisar. Beruntung Kaisar tak menolak dan segera memindahkan Agam setelah keduanya sepakat tidur bertiga.“Kenapa, Sayang?” tanya Arin.“Kita di mana, Bu?”“Di rumah Eyang, Agam kenapa terbangun?”“Agam kira Ibu akan pergi lagi.”Agam mengucek matanya dan melihat ada Kaisar yang berada di sampingnya.“Om tidur sama kita?”“Iya, dong. Om baik sudah menjadi suami Ibu sekarang, Agam bobo lagi ya. Jangan berisik, ini masih malam. Nanti Eyang sama Om kebangun kalau Agam bersuara,” ujar Arin. Arin menengok ke arah Kaisar yang masih terlelap di sana. Ia tahu betul tabiat suaminya yang akan susah sekali dibangunkan ketika tertidur, sehingga suara Agam tadi pastinya tidak akan terdengar olehnya.Agam kembali tertidur dan Arin yang melihat jam dinding sudah di angka setengah tiga memilih turun dari ranjang dan melakukan ibadah sholat malam. Dinginnya air wudhu, tidak
Arin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lalu berjongkong mensejajarkan badan dengan Agam.“Mami di rumah aja, ya? Agam sama Eyang dan Uti. Ada Pa-pa juga yang temani, Mami mau siapkan sarapan untuk Agam dan Pa-pa. Ya?”“Yah … Pa, Ibu nggak mau. Gimana dong?’ tanya Agam membuat Kaisar mengendurkan bahunya. “Kai.”Panggilan Oma Wira dari depan membuat Kaisar akhirnya hanya mengajak Agam ikut berolahraga di taman. Rumah yang dekat dengan taman kota, membuat Kaisar tak kesulitan mencari udara segar jika berolahraga kecil.“Loh, anak siapa?” tanya Oma Wira kaget saat melihat Kaisar menggandeng tangan kecil Agam.“Anak tiri Arin, Oma. Agam, salim dulu sama Eyang.” Agam langsung melakukan perintah Kaisar dengan mencium takzim tangan Oma Wira. “Hai, Eyang. Ini Agam, Oma apa kabar?”Tampak wajah tak suka Oma melihat kehadiran Agam di sana.“Mendadak Oma malas olahraga. Yu, bawa Oma ke kamar lagi,” ujar Oma Wira pada Rahayu. Ketakutannya benar-benar terjadi. Tadi padahal Oma Wira begi
“Kai, Oma mau beli lontong sayur yang di sana. Belikan ya?” Perintah Oma Wira pada Kaisar. “Biar Arin saja yang beli. Oma mau yang lain sekalian?” tawar Arin.“Nggak. Kai, belikan untuk Oma ya. Kasih sambal yang banyak,” sahut Oma seperti menganggap Arin tak ada.“Oma, Oma dilarang makan pedas dulu. Lupa kalau Oma punya tipes?” kata Kaisar mengingatkan. Tanpa diminta Oma dan diperintah lagi, Arin menyebrang menuju pedagang yang menjual lontong sayur. Arin membeli dua bungkus untuk Oma versi dengan sedikit cabe dan juga tanpa cabe.“Ini, Mas, Arin sudah belikan dua bungkus versi original tanpa cabe dan juga sedikit cabe.”“Bu, Agam mau itu,” tunjuk Agam pada pedagang yang menjual balon karakter. “Itulah kalau bawa anak orang, merepotkan!” sungut Oma yang tak suka dengan kerewelan Agam meminta sesuatu pada Arin.Arin berjongkok dan mengajak Agam berbincang sedangkan Kaisar menyuapi Oma Wira di bangku taman. “Agam, dengerin Ibu, ya. Agam mau itu? Tapi ada syaratnya. Agam jangan rew
“Mandi aja, tapi sama kamu juga, ya?” seloroh Kaisar.“Arin dah mandi, lah.”“Pantas wanginya kayak di surga,” gombal Kaisar. Arin merasa hatinya menghangat dengan semua ucapan Kaisar pagi ini.“Bu. Agam mau minum,” panggil Agam membuat Arin melepaskan dekapan Kaisar.“Ya, Agam udahan ya, mainannya. Mandi dulu sudah siang, nanti main lagi,” ajak Arin.“Oke, Bu.”Agam mendekat pada Arin dan menerima uluran air minum yang langsung dihabiskan oleh Agam.“Haus ya, boy?” tanya Kaisar.“Iya. Gerah, tapi asyik, Pa,” jawab Agam mengibaskan tangannya untuk menghasilkan angin.“Mandi sama Papa, yuk! Mau nggak?” tawar Kaisar.“Mau …mau… mau,” sahut Agam bersemangat.Kaisar menggandeng Agam dan mengajaknya mandi bersama. Arin yang melihatnya sungguh sangat bahagia. Meski masih ada masalah keluarga, setidaknya hadirnya Agam dan Kaisar sungguh membuat hidupnya sempurna.Saat anak dan suaminya mandi, Arin menyiapkan pakaian masing-masing dan terdengar ponselnya berdering dari nomor Bayu. Arin menola
“Mas jadi pulang ke Cilacap besok pagi?” tanya Arin.“Ya, Kenzi sudah chat berkali-kali sampai bosan Mas melayaninya. Nggak apa ‘kan Mas tinggal beberapa hari? Insyaallah setelah agak sepi, Mas ajak kamu dan Agam ke Cilacap. Kalau kamu tak di sini, Mas harus pulang pergi untuk menjenguk Oma. Jadi, bantu Mas rawat Oma, ya?” “Tanpa Mas minta Arin juga pasti bisa bikin Oma sayang sama Arin. Misal nggak bisa, yang penting Mas sayang sama Arin.”Kaisar menggerakan pelukannya pada Arin, sampai detak jantung keduannya bersatu satu sama lain. Agam yang tadinya di tengah berpindah ke samping karena Kaiser memindah posisi tidurnya di samping Arin.“Mas, Arin mau jujur,” kata ARin ragu.“Apa dari tadi bohong?” tanya Kaisar sambil tersenyum.“Nggak, sih, Arin mau ngomong sesuatu mengenai Mas Bayu.”Pelukan Kaisar mengendur seiring ucapan Arin tadi. Bola mata keduanya bertemu, seakan saling menunggu reaksi yang sama.“Kenapa dengan dia? Bikin ulah lagi?” tanya Kaisar serius.“Tadi dia chat Arin n
Seperti biasanya, Kaisar yang susah untuk dibangunkan membuat Arin kewalahan membuat suaminya itu membuka mata. Lagi-lagi Agam yang membantu Arin membangunkan Kaiser untuk subuh berjamaah.“Agam, nanti Papa mau kerja dan nginep di Cilacap. Agam di rumah Eyang jangan nakal ya, nurut sama Ibu dan Oma,” ucap Kaisar saat usai melaksanakan ibadah sholat subuh berjamaah. Arin segera ke dapur untuk memasak sedangkan Kaisar dan Agam memilih berbincang di kamar.“Ya, Pa. Papa lama?”“Nggak. Kalau sudah kelar, langsung balik. Jagain mama ya.”“Mama?”“Iya, Mama Arin.”“Beda, Ibu sama Mama?”“Nggak sih, biar cocok aja. Mama sama Papa. Oke?’’“Oke.”Agam melakukan tos dengan Kaisar dan keduanya melangkah keluar kamar dengan senyum yang merekah.“Masak apa, Ma?” tanya Agam pada Arin yang membuat Arin bingung mendengarnya.“Sejak kapan Agam manggil Ibu jadi Mama?” tanya Arin. Rahayu yang mendengarnya hanya tersenyum dan melanjutkan memasaknya dengan Arin.“Sejak Papa tadi bilang kalau Agam panggil
“Yu, Oma mau makan seblak yang jangan terlalu pedas. Jangan kayak yang dijual itu, mau kayak yang di tipi itu loh,” tunjuk OMa pada iklan yang baru saja ia tonton.“Oma kan nggak boleh makan pedas. Yang lain saja ya?” bujuk Rahayu. Arin yang sedang menggambar di ruang tamu menyimak dan berinisiatif mengabulkan keinginan Oma.“Mi, biar Arin buatkan seblaknya.”“Bukan malah sebaliknya. Tapi, Oma memang nggak boleh makan pedas,” tutur Rahayu.“Oma, Arin buatkan ya. Tapi, kali ini nggak terlalu pedas, mau?” bujuk Arin agar Oma bisa kembali tersenyum.“Terserah,” cetus Oma.Arin beranjak dan langsung menyiapkan bahan untuk membuat seblak. Jika biasanya seblak khas dengan pedasnya yang nendang, kali ini Arin menggantinya dengan seblak manis. Meski rasanya berbeda, sekali tampilannya tak jauh berbeda. Dalam sekejap seblak berhasil Arin suguhkan. “Oma, ini silahkan dicicipi. Semoga Oma suka,” kata Arin memberikannya pada Rahayu agar Rahayu juga mencicipi.“Enak, Oma?” tanya Rahayu.Oma ter