Azril langsung membawa Safa menjauh dari Faqih, tidak peduli dengan pria itu yang terus meraung dengan tangis. Hatinya sakit melihat Safa yang harus menjadi korban.“Mas Azril, kenapa dengan Neng Safa?” Bi Inah terkejut melihat nona mudanya dibopong.“Bi, tolong bawakan air minum dan air hangat di dalam wadah ke kamar, ya,” perintah Azril, lalu membawa Safa ke kamar.Tubuhnya bergetar memandang Safa yang belum sadarkan diri. Kemudian membaringkan Safa di atas ranjang dengan isak tangis penuh salah.“Mas Azril, ini airnya.” Bi Inah membawa pesanan yang diminta tuan mudanya dan meletakkan di atas nakas.“Terima kasih. Tolong panggilkan dokter sekalian, ya, Bi. Khawatir ada luka dalam di wajah Safa,” pinta Azril sendu.Pandangan Azril tak beralih dari Safa. Ia masih memerhatikan matanya yang masih terpejam dan tangannya segera memeras kain yang berisi air hangat untuk mengompres wajah Safa. Andai Azril lebih gercap menahan Safa, kejadiannya tidak sampai seperti ini.Tidak seharusnya Safa
“Nanti kamu akan tahu. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Azril tersenyum.Seketika kaki Safa turun dan langsung dicegah oleh Azril. Belum juga ucapannya kering di tenggorokan. “Mau ke mana?”Safa mengembuskan napas pelan. Hanya luka kecil, tetapi Azril sudah banyak perintah yang menurutnya berlebihan.“Aku mau bebersih, Mas, seharian aku habis dari luar. Bau tahu,” ujar Safa sembari mengendus tubuhnya sendiri. Rasanya tidak betah dan ingin segera mengganti baju.“Lagipula yang luka itu pipi bukan kaki. Jadi aku masih sehat untuk berjalan.”Safa kembali mengingatkan, lalu berdiri jika dirinya mampu. Kepalanya menggeleng dan bergegas pergi sebelum ditahan oleh Azril. Keesokan harinya, Safa merasa berat meninggalkan rumah. Entah ke mana suaminya akan membawa pergi hingga tatapannya tak lepas dari ruangan kamar yang penuh kenangan.“Kenapa?” tanya Azril menyadari sikap Safa yang tak baik.Safa pun langsung menoleh saat Azril menyentuh kedua bahunya dan air mata seolah kembali ditarik a
“Ish, ko kamu malah ketawa sih.” Safa memandang heran, memang ada yang salah dengan permintaannya.“Iya kamu, aku pikir mau meminta rumah padahal aku udah serius atau mungkin mau meminta untuk menikah lagi,” kekeh Azril meledek.“Hmm, jadi kamu berniat untuk menikah lagi?” Tatapan Safa berubah nyalang yang akhirnya menjewer telinga Azril dengan keras.Azril pun meringis dan mengaduh ampun. Ia hanya bercanda dan tidak sedikit pun berniat untuk menikah lagi. Berhasil naik pelaminan saja butuh perjuangan, bagaimana jika nambah lagi, tidak akan sanggup rasanya.“Tidak mungkin, Sayang. Aku hanya ingin bersamamu sampai surga,” kata Azril tersenyum sembari memegangi telinganya yang ngilu. Pengang rasanya jeweran Safa.“Aku hanya bercanda, tidak usah cemberut begitu.”Azril membujuk istrinya, lalu menangkup kedua pipinya dengan mengusap lembut. Tidak sama sekali bermaksud merubah mood Safa.“Nanti aku sampaikan sama Amih untuk berbicara Bahasa Indonesia saja, tetapi nanti kamu juga bisa belaj
Amarah pria itu memuncak hingga ubun-ubun. Apinya meluap di dada dan ingin segera dikeluarkan. Langkahnya begitu cepat, memandang tajam kepada seseorang yang memerhatikannya.“Maaf, Pak, ada yang bisa kami bantu?” sapanya sopan.“Saya ingin bertemu dengan seseorang yang bernama Muntasir Azril.” Faqih menatap serius sang resepsionis di hadapan.“Maaf, Bapak siapanya Pak Azril?” Wanita itu harus teliti mengenai tamu yang hendak menemui para karyawan.Faqih jengah sekali, perusahaannya terlalu banyak peraturan. Namun, tidak boleh kalap agar bisa menemui pria sialan itu.“Saya rekannya. Cepat, katakan di mana ruangan Pak Azril yang terhormat.” Faqih berbicara tegas penuh penekanan.Wanita itu merasa takut. Baru kali ini menerima tamu yang keras kepala dan tidak sopan santun sesuka hati.“Mohon maaf, Pak, kebetulan Pak Azril tidak ada di kantor dikarenakan sedang cuti.”Kedua tangan Faqih sudah mengepal kuat. Ingin sekali mengumpat keras di hadapan wanita tersebut. Ia sudah sabar dan menah
“Ayah!” Safa mengerjap saat tak sengaja berpapasan dengan sang ayah. Tanpa izin, wanita itu langsung merengkuh kuat tubuhnya. Hampir tiga hari tidak bertemu dan rasa rindu sudah menumpuk di dalam dada. “Ayah kenapa tidak bilang kalo mau datang?”“Sudah kubilang kuasanya pindah padaku,” timpal Azril yang berada tak jauh darinya.Safa yang kesal hanya melirik, lalu memandang ayah seolah menganggap tidak ada orang. Sedangkan Marlan, terkekeh senang melihat sikap kedua sejoli itu yang tak ingat umur.“Ayah sudah kirim pesan, tetapi kamunya tidak balas.” Marlan mencubit hidung Safa.Wanita itu mengernyit, seingatnya tidak ada pesan masuk. Di saat saling diam, Azril pun mengajak ayah masuk karena tidak sopan membiarkan ayah mertua terlalu lama berdiri.Kemudian Safa sibuk bermanjaan pada ayahnya, tak peduli dengan sekitar sekalipun diperhatikan oleh mertua atau suaminya sendiri.“Ayah baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya penuh khawatir.“Alhamdulillah, kalo nggak baik. Ayah nggak mungkin ada di
Safa sendiri hanya tersenyum menghendikkan bahu tanpa rasa bersalah. Sedangkan, Azril merengek bagai anak kecil karena tak terima dengan apa yang Safa lakukan.“Jangan diganti.” Safa menahan saat Azril hendak menghapusnya.“Kenapa?”Bibir Safa melengkung senang. Kemudian, mengambil ponsel Azril, lalu diletakkan di samping dan tangannya digenggam erat oleh Safa.“Mas tahu nggak kenapa aku memotong fotonya?” tanya Safa menatap intens.Safa sengaja memotong foto bagian wajahnya sehingga yang terpajang hanya bagian tangan yang sedang memegang buket bunga sampai kaki.Azril pun menggeleng bingung. Safa yang mengetahui itu kembali tersenyum, tatapannya begitu intens dan berharap suaminya mengerti dengan keinginan Safa.“Karena aku ingin menjaga. Aku nggak mau fotoku yang sudah menjadi istri orang lain menjadi fitnah. Meski terbilang sepele, tetapi foto wanita bisa menjadi dosa jariyah baginya. Aku sedang belajar menjaga diri untuk tidak membuat dosa yang nantinya akan mengalir pada, Mas.”S
Grep!Safa tersentak saat merasakan beban berat di belakangnya. Ia tengah mengetik pun seakan buyar dan langsung menoleh kepada sang pelaku.“Loh, Mas, ko sudah pulang?” Safa mengernyit bingung. Matahari masih menyorot dan suaminya sudah tiba di rumah.Masih terhitung beberapa jam ke depan seharusnya untuk bisa pulang. Namun, entah apa yang terjadi hingga suaminya ada di hadapan sekarang.“Mas sakit?” Punggung tangannya langsung menyentuh dahi Azril untuk memastikan.Kedua alisnya kembali berkerut, tidak ada rasa panas yang menjalar dan suaminya justru tersenyum di saat Safa begitu khawatir.“Ko malah senyum, sih?” Safa heran sendiri.Azril pun terkekeh, lalu membawa Safa duduk di tepi ranjang. Kemudian mengeluarkan amplop dan diberikan kepada Safa.Seolah Safa memberi kode, ia meminta istrinya untuk membacanya sendiri. Biarkan dia berekspresi sesuai apa yang dilihat.Safa mengembuskan napas, lalu membuka amplop itu perlahan dan dibacanya dengan seksama. Seketika matanya membulat tert
Dengan hati yang gugup, Safa hanya bisa tertunduk memerhatikan para lawan bicaranya yang memandang. Mereka tak berhenti bercakap mengenai dirinya.“Ma syaa Allah geulis pisan,” katanya.Meski membicarakan dengan Bahasa Sunda, Safa masih bisa tahu maknanya. Hanya saja tak bisa menjawab dan diwakili oleh Amih, terkadang Safa menimpali menggunakan Bahasa Indonesia.Lucu memang, tetapi bagaimana lagi keseharian Safa terlalu banyak di kota sehingga lebih sering menggunakan bahasa negaranya.“Ayo, Neng mampir,” sapanya sopan.“Muhun, Ibu.” Safa pun tak kalah ramah.“Di sini sudah seperti keluarga. Jangan heran jika memang banyak yang mengajakmu nanti,” kata Amih memberitahu.Safa mengangguk mengerti dan tibanya di rumah, Safa langsung ke kamar untuk beristirahat. Jika tidak ada Amih, Safa akan semakin merasa jenuh.Saat hendak merebahkan tubuh, terdengar ketukan pintu membuat Safa segera beranjak. Bibirnya melengkung melihat Amih di depan kamar.“Amih mau ke tempat Bu RT karena ada acara sy