Amarah pria itu memuncak hingga ubun-ubun. Apinya meluap di dada dan ingin segera dikeluarkan. Langkahnya begitu cepat, memandang tajam kepada seseorang yang memerhatikannya.“Maaf, Pak, ada yang bisa kami bantu?” sapanya sopan.“Saya ingin bertemu dengan seseorang yang bernama Muntasir Azril.” Faqih menatap serius sang resepsionis di hadapan.“Maaf, Bapak siapanya Pak Azril?” Wanita itu harus teliti mengenai tamu yang hendak menemui para karyawan.Faqih jengah sekali, perusahaannya terlalu banyak peraturan. Namun, tidak boleh kalap agar bisa menemui pria sialan itu.“Saya rekannya. Cepat, katakan di mana ruangan Pak Azril yang terhormat.” Faqih berbicara tegas penuh penekanan.Wanita itu merasa takut. Baru kali ini menerima tamu yang keras kepala dan tidak sopan santun sesuka hati.“Mohon maaf, Pak, kebetulan Pak Azril tidak ada di kantor dikarenakan sedang cuti.”Kedua tangan Faqih sudah mengepal kuat. Ingin sekali mengumpat keras di hadapan wanita tersebut. Ia sudah sabar dan menah
“Ayah!” Safa mengerjap saat tak sengaja berpapasan dengan sang ayah. Tanpa izin, wanita itu langsung merengkuh kuat tubuhnya. Hampir tiga hari tidak bertemu dan rasa rindu sudah menumpuk di dalam dada. “Ayah kenapa tidak bilang kalo mau datang?”“Sudah kubilang kuasanya pindah padaku,” timpal Azril yang berada tak jauh darinya.Safa yang kesal hanya melirik, lalu memandang ayah seolah menganggap tidak ada orang. Sedangkan Marlan, terkekeh senang melihat sikap kedua sejoli itu yang tak ingat umur.“Ayah sudah kirim pesan, tetapi kamunya tidak balas.” Marlan mencubit hidung Safa.Wanita itu mengernyit, seingatnya tidak ada pesan masuk. Di saat saling diam, Azril pun mengajak ayah masuk karena tidak sopan membiarkan ayah mertua terlalu lama berdiri.Kemudian Safa sibuk bermanjaan pada ayahnya, tak peduli dengan sekitar sekalipun diperhatikan oleh mertua atau suaminya sendiri.“Ayah baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya penuh khawatir.“Alhamdulillah, kalo nggak baik. Ayah nggak mungkin ada di
Safa sendiri hanya tersenyum menghendikkan bahu tanpa rasa bersalah. Sedangkan, Azril merengek bagai anak kecil karena tak terima dengan apa yang Safa lakukan.“Jangan diganti.” Safa menahan saat Azril hendak menghapusnya.“Kenapa?”Bibir Safa melengkung senang. Kemudian, mengambil ponsel Azril, lalu diletakkan di samping dan tangannya digenggam erat oleh Safa.“Mas tahu nggak kenapa aku memotong fotonya?” tanya Safa menatap intens.Safa sengaja memotong foto bagian wajahnya sehingga yang terpajang hanya bagian tangan yang sedang memegang buket bunga sampai kaki.Azril pun menggeleng bingung. Safa yang mengetahui itu kembali tersenyum, tatapannya begitu intens dan berharap suaminya mengerti dengan keinginan Safa.“Karena aku ingin menjaga. Aku nggak mau fotoku yang sudah menjadi istri orang lain menjadi fitnah. Meski terbilang sepele, tetapi foto wanita bisa menjadi dosa jariyah baginya. Aku sedang belajar menjaga diri untuk tidak membuat dosa yang nantinya akan mengalir pada, Mas.”S
Grep!Safa tersentak saat merasakan beban berat di belakangnya. Ia tengah mengetik pun seakan buyar dan langsung menoleh kepada sang pelaku.“Loh, Mas, ko sudah pulang?” Safa mengernyit bingung. Matahari masih menyorot dan suaminya sudah tiba di rumah.Masih terhitung beberapa jam ke depan seharusnya untuk bisa pulang. Namun, entah apa yang terjadi hingga suaminya ada di hadapan sekarang.“Mas sakit?” Punggung tangannya langsung menyentuh dahi Azril untuk memastikan.Kedua alisnya kembali berkerut, tidak ada rasa panas yang menjalar dan suaminya justru tersenyum di saat Safa begitu khawatir.“Ko malah senyum, sih?” Safa heran sendiri.Azril pun terkekeh, lalu membawa Safa duduk di tepi ranjang. Kemudian mengeluarkan amplop dan diberikan kepada Safa.Seolah Safa memberi kode, ia meminta istrinya untuk membacanya sendiri. Biarkan dia berekspresi sesuai apa yang dilihat.Safa mengembuskan napas, lalu membuka amplop itu perlahan dan dibacanya dengan seksama. Seketika matanya membulat tert
Dengan hati yang gugup, Safa hanya bisa tertunduk memerhatikan para lawan bicaranya yang memandang. Mereka tak berhenti bercakap mengenai dirinya.“Ma syaa Allah geulis pisan,” katanya.Meski membicarakan dengan Bahasa Sunda, Safa masih bisa tahu maknanya. Hanya saja tak bisa menjawab dan diwakili oleh Amih, terkadang Safa menimpali menggunakan Bahasa Indonesia.Lucu memang, tetapi bagaimana lagi keseharian Safa terlalu banyak di kota sehingga lebih sering menggunakan bahasa negaranya.“Ayo, Neng mampir,” sapanya sopan.“Muhun, Ibu.” Safa pun tak kalah ramah.“Di sini sudah seperti keluarga. Jangan heran jika memang banyak yang mengajakmu nanti,” kata Amih memberitahu.Safa mengangguk mengerti dan tibanya di rumah, Safa langsung ke kamar untuk beristirahat. Jika tidak ada Amih, Safa akan semakin merasa jenuh.Saat hendak merebahkan tubuh, terdengar ketukan pintu membuat Safa segera beranjak. Bibirnya melengkung melihat Amih di depan kamar.“Amih mau ke tempat Bu RT karena ada acara sy
Azril tersenyum melihat ekspresi Safa, tubuhnya bangkit dan turun dari ranjang memerhatikan Safa yang terdiam.“Ayo, Sayang!” Ia membuyarkan lamunan Safa.Tangannya menarik lengan Safa untuk turun dan membawanya ke kamar mandi. Ia meminta Safa untuk berwudu. Masih dalam keadaan bingung, Safa pun menuruti perintah suaminya.Setelah Safa, lalu Azril yang bergantian berwudu. Safa masih berdiri memerhatikan suaminya di dalam kamar mandi. Tubuhnya gugup dan kikuk.“Hmm, kenapa masih di sini, ayo!” Azril memperingati dan berjalan lebih dulu.Kemudian, Safa mengikutinya dan duduk di samping Azril. Wajahnya tertunduk malu sedangkan Azril tersenyum gemas menghadap Safa.Seketika mendekat membuat Safa mengerjap. Matanya saling pandang tanpa berkedip sedikit pun. Jantungnya sangat tidak aman untuk saat ini.“Dipakai dulu, Sayang.”Bagai terhipnotis, Safa pun menurut dan memakainya hingga sempurna. Tak lama, Azril kembali sembari memberikan mushaf di tangannya.“Kita mau me-mengaji, Mas?” tanya S
“Are you okay?” tanya Azril melihat wajah istrinya sedikit pucat.“It’s oke, Mas,” kata Safa tersenyum.Azril menuntun istrinya menuju ranjang. Rasanya tidak tega melihat istrinya yang begitu lemah. “Kita ke dokter, ya?” tawar Azril.Safa menggeleng. Ia paling tidak suka ke dokter, terlebih tidak bisa meminum obat. Safa lebih suka minum obat herbal daripada obat dari dokter.“Nggak usah, Mas, mungkin aku hanya masuk angin biasa, nanti minum tolak angin atau jamu juga baikan ko,” ujar Safa.Azril mengalah, lalu bangkit untuk mengambil sarapan. Meski sempat ditolak, tetapi ia tetap meminta Safa agar terbaring saja di ranjangnya. Biarkan kali ini Azril yang melayani.“Neng Safa mana? Ko kamu sendiri?” tanya Hamidah melihat putranya seorang diri.“Lagi tidak enak badan, Mih. Jadi Azril mau bawakan sarapannya ke kamar.”Pria itu mengambil sedikit nasi juga lauk yang tersaji di meja. Hal itu tak lepas pandangan dari Hamidah dengan perhatian sang putra.“Dari kapan, A?” Hamidah kembali berta
Belum dijawab, Azril mendengar suara pintu terbuka dan langsung menoleh dengan cepat. “Sayang, mau ke mana?”“Loh, Mas Azril sudah pulang?” Safa terkejut melihat suaminya yang sudah datang.Azril mengangguk. “Iya, Sayang, baru saja.” Kemudian pandangannya melirik ke tangan Safa yang membawa gelas. “Kamu mau minum? Sini biar aku ambilkan.”Namun, sebelum itu Azril meminta Safa untuk kembali beristirahat. Safa yang diam pun menurut, padahal suaminya baru pulang dan pasti lelah. Tak lama kemudian, Azril datang membawa minum yang Safa inginkan.“Kenapa nggak ngabarin aku kalo kamu belum mendingan?” Azril duduk, lalu menyentuh kening Safa yang tidak terasa panas.Senyum Safa tersenyum simpul. Tangannya pun meraih punggung tangan Azril dan dikecupnya berulang kali.“Safa minta maaf sudah membuat Mas khawatir. Safa lemes banget jadi seharian cuma rebahan dan nggak ngabarin, tetapi in syaa Allah baik-baik saja.”“Baik gimana, kata Amih dari tadi kamu muntah terus. Wajah kamu juga pucat, Sayan
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me