“Ayah!” Safa mengerjap saat tak sengaja berpapasan dengan sang ayah. Tanpa izin, wanita itu langsung merengkuh kuat tubuhnya. Hampir tiga hari tidak bertemu dan rasa rindu sudah menumpuk di dalam dada. “Ayah kenapa tidak bilang kalo mau datang?”“Sudah kubilang kuasanya pindah padaku,” timpal Azril yang berada tak jauh darinya.Safa yang kesal hanya melirik, lalu memandang ayah seolah menganggap tidak ada orang. Sedangkan Marlan, terkekeh senang melihat sikap kedua sejoli itu yang tak ingat umur.“Ayah sudah kirim pesan, tetapi kamunya tidak balas.” Marlan mencubit hidung Safa.Wanita itu mengernyit, seingatnya tidak ada pesan masuk. Di saat saling diam, Azril pun mengajak ayah masuk karena tidak sopan membiarkan ayah mertua terlalu lama berdiri.Kemudian Safa sibuk bermanjaan pada ayahnya, tak peduli dengan sekitar sekalipun diperhatikan oleh mertua atau suaminya sendiri.“Ayah baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya penuh khawatir.“Alhamdulillah, kalo nggak baik. Ayah nggak mungkin ada di
Safa sendiri hanya tersenyum menghendikkan bahu tanpa rasa bersalah. Sedangkan, Azril merengek bagai anak kecil karena tak terima dengan apa yang Safa lakukan.“Jangan diganti.” Safa menahan saat Azril hendak menghapusnya.“Kenapa?”Bibir Safa melengkung senang. Kemudian, mengambil ponsel Azril, lalu diletakkan di samping dan tangannya digenggam erat oleh Safa.“Mas tahu nggak kenapa aku memotong fotonya?” tanya Safa menatap intens.Safa sengaja memotong foto bagian wajahnya sehingga yang terpajang hanya bagian tangan yang sedang memegang buket bunga sampai kaki.Azril pun menggeleng bingung. Safa yang mengetahui itu kembali tersenyum, tatapannya begitu intens dan berharap suaminya mengerti dengan keinginan Safa.“Karena aku ingin menjaga. Aku nggak mau fotoku yang sudah menjadi istri orang lain menjadi fitnah. Meski terbilang sepele, tetapi foto wanita bisa menjadi dosa jariyah baginya. Aku sedang belajar menjaga diri untuk tidak membuat dosa yang nantinya akan mengalir pada, Mas.”S
Grep!Safa tersentak saat merasakan beban berat di belakangnya. Ia tengah mengetik pun seakan buyar dan langsung menoleh kepada sang pelaku.“Loh, Mas, ko sudah pulang?” Safa mengernyit bingung. Matahari masih menyorot dan suaminya sudah tiba di rumah.Masih terhitung beberapa jam ke depan seharusnya untuk bisa pulang. Namun, entah apa yang terjadi hingga suaminya ada di hadapan sekarang.“Mas sakit?” Punggung tangannya langsung menyentuh dahi Azril untuk memastikan.Kedua alisnya kembali berkerut, tidak ada rasa panas yang menjalar dan suaminya justru tersenyum di saat Safa begitu khawatir.“Ko malah senyum, sih?” Safa heran sendiri.Azril pun terkekeh, lalu membawa Safa duduk di tepi ranjang. Kemudian mengeluarkan amplop dan diberikan kepada Safa.Seolah Safa memberi kode, ia meminta istrinya untuk membacanya sendiri. Biarkan dia berekspresi sesuai apa yang dilihat.Safa mengembuskan napas, lalu membuka amplop itu perlahan dan dibacanya dengan seksama. Seketika matanya membulat tert
Dengan hati yang gugup, Safa hanya bisa tertunduk memerhatikan para lawan bicaranya yang memandang. Mereka tak berhenti bercakap mengenai dirinya.“Ma syaa Allah geulis pisan,” katanya.Meski membicarakan dengan Bahasa Sunda, Safa masih bisa tahu maknanya. Hanya saja tak bisa menjawab dan diwakili oleh Amih, terkadang Safa menimpali menggunakan Bahasa Indonesia.Lucu memang, tetapi bagaimana lagi keseharian Safa terlalu banyak di kota sehingga lebih sering menggunakan bahasa negaranya.“Ayo, Neng mampir,” sapanya sopan.“Muhun, Ibu.” Safa pun tak kalah ramah.“Di sini sudah seperti keluarga. Jangan heran jika memang banyak yang mengajakmu nanti,” kata Amih memberitahu.Safa mengangguk mengerti dan tibanya di rumah, Safa langsung ke kamar untuk beristirahat. Jika tidak ada Amih, Safa akan semakin merasa jenuh.Saat hendak merebahkan tubuh, terdengar ketukan pintu membuat Safa segera beranjak. Bibirnya melengkung melihat Amih di depan kamar.“Amih mau ke tempat Bu RT karena ada acara sy
Azril tersenyum melihat ekspresi Safa, tubuhnya bangkit dan turun dari ranjang memerhatikan Safa yang terdiam.“Ayo, Sayang!” Ia membuyarkan lamunan Safa.Tangannya menarik lengan Safa untuk turun dan membawanya ke kamar mandi. Ia meminta Safa untuk berwudu. Masih dalam keadaan bingung, Safa pun menuruti perintah suaminya.Setelah Safa, lalu Azril yang bergantian berwudu. Safa masih berdiri memerhatikan suaminya di dalam kamar mandi. Tubuhnya gugup dan kikuk.“Hmm, kenapa masih di sini, ayo!” Azril memperingati dan berjalan lebih dulu.Kemudian, Safa mengikutinya dan duduk di samping Azril. Wajahnya tertunduk malu sedangkan Azril tersenyum gemas menghadap Safa.Seketika mendekat membuat Safa mengerjap. Matanya saling pandang tanpa berkedip sedikit pun. Jantungnya sangat tidak aman untuk saat ini.“Dipakai dulu, Sayang.”Bagai terhipnotis, Safa pun menurut dan memakainya hingga sempurna. Tak lama, Azril kembali sembari memberikan mushaf di tangannya.“Kita mau me-mengaji, Mas?” tanya S
“Are you okay?” tanya Azril melihat wajah istrinya sedikit pucat.“It’s oke, Mas,” kata Safa tersenyum.Azril menuntun istrinya menuju ranjang. Rasanya tidak tega melihat istrinya yang begitu lemah. “Kita ke dokter, ya?” tawar Azril.Safa menggeleng. Ia paling tidak suka ke dokter, terlebih tidak bisa meminum obat. Safa lebih suka minum obat herbal daripada obat dari dokter.“Nggak usah, Mas, mungkin aku hanya masuk angin biasa, nanti minum tolak angin atau jamu juga baikan ko,” ujar Safa.Azril mengalah, lalu bangkit untuk mengambil sarapan. Meski sempat ditolak, tetapi ia tetap meminta Safa agar terbaring saja di ranjangnya. Biarkan kali ini Azril yang melayani.“Neng Safa mana? Ko kamu sendiri?” tanya Hamidah melihat putranya seorang diri.“Lagi tidak enak badan, Mih. Jadi Azril mau bawakan sarapannya ke kamar.”Pria itu mengambil sedikit nasi juga lauk yang tersaji di meja. Hal itu tak lepas pandangan dari Hamidah dengan perhatian sang putra.“Dari kapan, A?” Hamidah kembali berta
Belum dijawab, Azril mendengar suara pintu terbuka dan langsung menoleh dengan cepat. “Sayang, mau ke mana?”“Loh, Mas Azril sudah pulang?” Safa terkejut melihat suaminya yang sudah datang.Azril mengangguk. “Iya, Sayang, baru saja.” Kemudian pandangannya melirik ke tangan Safa yang membawa gelas. “Kamu mau minum? Sini biar aku ambilkan.”Namun, sebelum itu Azril meminta Safa untuk kembali beristirahat. Safa yang diam pun menurut, padahal suaminya baru pulang dan pasti lelah. Tak lama kemudian, Azril datang membawa minum yang Safa inginkan.“Kenapa nggak ngabarin aku kalo kamu belum mendingan?” Azril duduk, lalu menyentuh kening Safa yang tidak terasa panas.Senyum Safa tersenyum simpul. Tangannya pun meraih punggung tangan Azril dan dikecupnya berulang kali.“Safa minta maaf sudah membuat Mas khawatir. Safa lemes banget jadi seharian cuma rebahan dan nggak ngabarin, tetapi in syaa Allah baik-baik saja.”“Baik gimana, kata Amih dari tadi kamu muntah terus. Wajah kamu juga pucat, Sayan
Safa kembali tak berdaya, sejak tadi mundar-mandir ke kamar mandi untuk memuntahkan sesuatu di dalam perutnya, tetapi tidak ada apa-apa. Wajahnya tampak lemas seolah tenaganya habis terkuras.“Sayang, kita tunda kepulangannya ke rumah Ayah, ya?” Azril tidak tega melihat Safa yang lemas seperti itu.Safa menghela napas, lalu melangkah yang dibantu olehnya. “Tapi, Mas, kamu sudah berjanji untuk mengajakku pulang bertemu dengan Ayah.”Perasaannya sedikit kecewa. Sekarang hari libur dan Safa ingin pulang sekaligus memberitahu kabar bahagia pada ayahnya secara langsung. Tatapannya memandang Azril agar bisa menego tawarannya.“Iya, tetapi keadaannya berbeda, Sayang. Lihat, kamu lemas begini dan aku nggak tega. Bagaimana nanti jika di perjalanan mualnya semakin tambah parah?” Azril tidak ingin mengambil resiko. Semua demi keselamatan istri juga buah hatinya.“Tapi aku nggak apa, Mas, ‘kan ini memang wajar terjadi,” timpal Safa berusaha meyakinkan sang suami.Azril bingung sendiri melihat ant