Dengan hati yang gugup, Safa hanya bisa tertunduk memerhatikan para lawan bicaranya yang memandang. Mereka tak berhenti bercakap mengenai dirinya.“Ma syaa Allah geulis pisan,” katanya.Meski membicarakan dengan Bahasa Sunda, Safa masih bisa tahu maknanya. Hanya saja tak bisa menjawab dan diwakili oleh Amih, terkadang Safa menimpali menggunakan Bahasa Indonesia.Lucu memang, tetapi bagaimana lagi keseharian Safa terlalu banyak di kota sehingga lebih sering menggunakan bahasa negaranya.“Ayo, Neng mampir,” sapanya sopan.“Muhun, Ibu.” Safa pun tak kalah ramah.“Di sini sudah seperti keluarga. Jangan heran jika memang banyak yang mengajakmu nanti,” kata Amih memberitahu.Safa mengangguk mengerti dan tibanya di rumah, Safa langsung ke kamar untuk beristirahat. Jika tidak ada Amih, Safa akan semakin merasa jenuh.Saat hendak merebahkan tubuh, terdengar ketukan pintu membuat Safa segera beranjak. Bibirnya melengkung melihat Amih di depan kamar.“Amih mau ke tempat Bu RT karena ada acara sy
Azril tersenyum melihat ekspresi Safa, tubuhnya bangkit dan turun dari ranjang memerhatikan Safa yang terdiam.“Ayo, Sayang!” Ia membuyarkan lamunan Safa.Tangannya menarik lengan Safa untuk turun dan membawanya ke kamar mandi. Ia meminta Safa untuk berwudu. Masih dalam keadaan bingung, Safa pun menuruti perintah suaminya.Setelah Safa, lalu Azril yang bergantian berwudu. Safa masih berdiri memerhatikan suaminya di dalam kamar mandi. Tubuhnya gugup dan kikuk.“Hmm, kenapa masih di sini, ayo!” Azril memperingati dan berjalan lebih dulu.Kemudian, Safa mengikutinya dan duduk di samping Azril. Wajahnya tertunduk malu sedangkan Azril tersenyum gemas menghadap Safa.Seketika mendekat membuat Safa mengerjap. Matanya saling pandang tanpa berkedip sedikit pun. Jantungnya sangat tidak aman untuk saat ini.“Dipakai dulu, Sayang.”Bagai terhipnotis, Safa pun menurut dan memakainya hingga sempurna. Tak lama, Azril kembali sembari memberikan mushaf di tangannya.“Kita mau me-mengaji, Mas?” tanya S
“Are you okay?” tanya Azril melihat wajah istrinya sedikit pucat.“It’s oke, Mas,” kata Safa tersenyum.Azril menuntun istrinya menuju ranjang. Rasanya tidak tega melihat istrinya yang begitu lemah. “Kita ke dokter, ya?” tawar Azril.Safa menggeleng. Ia paling tidak suka ke dokter, terlebih tidak bisa meminum obat. Safa lebih suka minum obat herbal daripada obat dari dokter.“Nggak usah, Mas, mungkin aku hanya masuk angin biasa, nanti minum tolak angin atau jamu juga baikan ko,” ujar Safa.Azril mengalah, lalu bangkit untuk mengambil sarapan. Meski sempat ditolak, tetapi ia tetap meminta Safa agar terbaring saja di ranjangnya. Biarkan kali ini Azril yang melayani.“Neng Safa mana? Ko kamu sendiri?” tanya Hamidah melihat putranya seorang diri.“Lagi tidak enak badan, Mih. Jadi Azril mau bawakan sarapannya ke kamar.”Pria itu mengambil sedikit nasi juga lauk yang tersaji di meja. Hal itu tak lepas pandangan dari Hamidah dengan perhatian sang putra.“Dari kapan, A?” Hamidah kembali berta
Belum dijawab, Azril mendengar suara pintu terbuka dan langsung menoleh dengan cepat. “Sayang, mau ke mana?”“Loh, Mas Azril sudah pulang?” Safa terkejut melihat suaminya yang sudah datang.Azril mengangguk. “Iya, Sayang, baru saja.” Kemudian pandangannya melirik ke tangan Safa yang membawa gelas. “Kamu mau minum? Sini biar aku ambilkan.”Namun, sebelum itu Azril meminta Safa untuk kembali beristirahat. Safa yang diam pun menurut, padahal suaminya baru pulang dan pasti lelah. Tak lama kemudian, Azril datang membawa minum yang Safa inginkan.“Kenapa nggak ngabarin aku kalo kamu belum mendingan?” Azril duduk, lalu menyentuh kening Safa yang tidak terasa panas.Senyum Safa tersenyum simpul. Tangannya pun meraih punggung tangan Azril dan dikecupnya berulang kali.“Safa minta maaf sudah membuat Mas khawatir. Safa lemes banget jadi seharian cuma rebahan dan nggak ngabarin, tetapi in syaa Allah baik-baik saja.”“Baik gimana, kata Amih dari tadi kamu muntah terus. Wajah kamu juga pucat, Sayan
Safa kembali tak berdaya, sejak tadi mundar-mandir ke kamar mandi untuk memuntahkan sesuatu di dalam perutnya, tetapi tidak ada apa-apa. Wajahnya tampak lemas seolah tenaganya habis terkuras.“Sayang, kita tunda kepulangannya ke rumah Ayah, ya?” Azril tidak tega melihat Safa yang lemas seperti itu.Safa menghela napas, lalu melangkah yang dibantu olehnya. “Tapi, Mas, kamu sudah berjanji untuk mengajakku pulang bertemu dengan Ayah.”Perasaannya sedikit kecewa. Sekarang hari libur dan Safa ingin pulang sekaligus memberitahu kabar bahagia pada ayahnya secara langsung. Tatapannya memandang Azril agar bisa menego tawarannya.“Iya, tetapi keadaannya berbeda, Sayang. Lihat, kamu lemas begini dan aku nggak tega. Bagaimana nanti jika di perjalanan mualnya semakin tambah parah?” Azril tidak ingin mengambil resiko. Semua demi keselamatan istri juga buah hatinya.“Tapi aku nggak apa, Mas, ‘kan ini memang wajar terjadi,” timpal Safa berusaha meyakinkan sang suami.Azril bingung sendiri melihat ant
Selama perjalanan, Safa hanya diam. Otaknya terbayang dengan nama wanita yang Amih katakan, tampaknya sangat akrab bahkan respon suaminya pun begitu senang.“Kenapa, Sayang, ada sesuatu?” tanya Azril melihat istrinya yang tak berbicara.“Ah, tidak ada, Mas.” Safa mengalihkan pikirannya. Mungkin saja wanita itu masih saudara dengan Azril dan Safa sangat percaya pada suaminya.“Eh, A Azril ayeuna mah aya nu bisa dicekel nyah,” sapa para tetangga.Azril pun tersenyum ramah. Ia memang tak melepaskan genggaman Safa, sengaja ingin merasakan nikmatnya bergandengan bersama pasangan halal.“Muhun, Bu, alhamdulillah.”Safa juga ikut tersenyum tersipu. Berada bukan di lingkungannya memang terasa asing, tetapi tampaknya mereka semua orang baik dan Safa mulai merasa nyaman.“Bade ka mana kitu? Mampir sakedap.”“Hmm, hatur nuhun, Bu. Abdi bade ka tempat Neng Hazima sareng hoyong jalan-jalan si Neng.” Azril melirik Safa yang terdiam kaku.Safa tertegun saat Azril mengatakan wanita tersebut dan seper
Azril mendekatkan tubuh Safa ke dalam pelukan. Wanita itu diam seolah tebakannya memang benar. “Aku tahu kamu sangat mengenal dirimu sendiri daripada aku, Safa. Aku niat menikahimu bukan karena jabatan ataupun yang lain, tetapi dari akhlak dan paras hatimu yang mengagumkan. Lagipula, Allah juga yang telah memilihmu untukku.”Azril tak pernah memandang harta atau jabatan. Ia memperistri Safa murni karena hatinya juga Allah. Tidak sedikit pun terpikirkan jika harus memiliki istri yang wah sekali.“Rasanya percuma jika memiliki istri pintar, tetapi tidak pandai melayani suaminya. Terlebih jika kamu jadi wanita karir justru waktumu untukku akan sedikit,” ujar Azril memberi perumpamaan.Ia tak pernah menuntut Safa karena memang doanya ingin memiliki istri yang penurut dan salehah seperti Safa sekarang.“Dan yang harus kamu tahu jika kita mencari pasangan yang sempurna tidak akan dapat. Justru kita ditakdirkan bersama untuk saling menyempurnakan.”Setiap insan memiliki kelebihan dan keku
Safa mengerjap saat mendengar suara salawat yang menggema. Kepalanya menoleh, memerhatikan Azril yang masih terlelap pulas.Ia turun perlahan tanpa mengusik dan berjalan menuju kamar mandi. Usai itu, Safa membangunkan suami yang ternyata sudah lebih dulu terbangun.“Baru mau Safa bangunkan, Mas,” ujar Safa mendekat melihat Azril yang masih malas untuk bangkit. “Eh, mau ngapain?”Safa terkejut saat suaminya tiba-tiba menyerang, tetapi dengan segera Safa mundur dan menjauh dari sang suami.“Mau peluk, Sayang. Aku masih ngantuk tahu, tetapi kamu sudah bangun duluan,” kata Azril sedikit memejamkan matanya.“Aku sudah punya wudu, sebentar lagi Subuh,” jawab Safa.Tanpa memedulikan ucapan Safa. Pria itu justru nekat dan berhasil merengkuh tubuh Safa dengan nyaman.“Nanti wudu lagi, Sayang, hmm.” Azril tak ingin melepaskan Safa.Sedangkan Safa hanya bisa diam dan menghela napas pasrah. Suaminya begitu manja seperti bocah. Safa pun tak bisa menolak yang akhirnya setelah lima menit menyadarkan