Safa kembali tak berdaya, sejak tadi mundar-mandir ke kamar mandi untuk memuntahkan sesuatu di dalam perutnya, tetapi tidak ada apa-apa. Wajahnya tampak lemas seolah tenaganya habis terkuras.“Sayang, kita tunda kepulangannya ke rumah Ayah, ya?” Azril tidak tega melihat Safa yang lemas seperti itu.Safa menghela napas, lalu melangkah yang dibantu olehnya. “Tapi, Mas, kamu sudah berjanji untuk mengajakku pulang bertemu dengan Ayah.”Perasaannya sedikit kecewa. Sekarang hari libur dan Safa ingin pulang sekaligus memberitahu kabar bahagia pada ayahnya secara langsung. Tatapannya memandang Azril agar bisa menego tawarannya.“Iya, tetapi keadaannya berbeda, Sayang. Lihat, kamu lemas begini dan aku nggak tega. Bagaimana nanti jika di perjalanan mualnya semakin tambah parah?” Azril tidak ingin mengambil resiko. Semua demi keselamatan istri juga buah hatinya.“Tapi aku nggak apa, Mas, ‘kan ini memang wajar terjadi,” timpal Safa berusaha meyakinkan sang suami.Azril bingung sendiri melihat ant
Selama perjalanan, Safa hanya diam. Otaknya terbayang dengan nama wanita yang Amih katakan, tampaknya sangat akrab bahkan respon suaminya pun begitu senang.“Kenapa, Sayang, ada sesuatu?” tanya Azril melihat istrinya yang tak berbicara.“Ah, tidak ada, Mas.” Safa mengalihkan pikirannya. Mungkin saja wanita itu masih saudara dengan Azril dan Safa sangat percaya pada suaminya.“Eh, A Azril ayeuna mah aya nu bisa dicekel nyah,” sapa para tetangga.Azril pun tersenyum ramah. Ia memang tak melepaskan genggaman Safa, sengaja ingin merasakan nikmatnya bergandengan bersama pasangan halal.“Muhun, Bu, alhamdulillah.”Safa juga ikut tersenyum tersipu. Berada bukan di lingkungannya memang terasa asing, tetapi tampaknya mereka semua orang baik dan Safa mulai merasa nyaman.“Bade ka mana kitu? Mampir sakedap.”“Hmm, hatur nuhun, Bu. Abdi bade ka tempat Neng Hazima sareng hoyong jalan-jalan si Neng.” Azril melirik Safa yang terdiam kaku.Safa tertegun saat Azril mengatakan wanita tersebut dan seper
Azril mendekatkan tubuh Safa ke dalam pelukan. Wanita itu diam seolah tebakannya memang benar. “Aku tahu kamu sangat mengenal dirimu sendiri daripada aku, Safa. Aku niat menikahimu bukan karena jabatan ataupun yang lain, tetapi dari akhlak dan paras hatimu yang mengagumkan. Lagipula, Allah juga yang telah memilihmu untukku.”Azril tak pernah memandang harta atau jabatan. Ia memperistri Safa murni karena hatinya juga Allah. Tidak sedikit pun terpikirkan jika harus memiliki istri yang wah sekali.“Rasanya percuma jika memiliki istri pintar, tetapi tidak pandai melayani suaminya. Terlebih jika kamu jadi wanita karir justru waktumu untukku akan sedikit,” ujar Azril memberi perumpamaan.Ia tak pernah menuntut Safa karena memang doanya ingin memiliki istri yang penurut dan salehah seperti Safa sekarang.“Dan yang harus kamu tahu jika kita mencari pasangan yang sempurna tidak akan dapat. Justru kita ditakdirkan bersama untuk saling menyempurnakan.”Setiap insan memiliki kelebihan dan keku
Safa mengerjap saat mendengar suara salawat yang menggema. Kepalanya menoleh, memerhatikan Azril yang masih terlelap pulas.Ia turun perlahan tanpa mengusik dan berjalan menuju kamar mandi. Usai itu, Safa membangunkan suami yang ternyata sudah lebih dulu terbangun.“Baru mau Safa bangunkan, Mas,” ujar Safa mendekat melihat Azril yang masih malas untuk bangkit. “Eh, mau ngapain?”Safa terkejut saat suaminya tiba-tiba menyerang, tetapi dengan segera Safa mundur dan menjauh dari sang suami.“Mau peluk, Sayang. Aku masih ngantuk tahu, tetapi kamu sudah bangun duluan,” kata Azril sedikit memejamkan matanya.“Aku sudah punya wudu, sebentar lagi Subuh,” jawab Safa.Tanpa memedulikan ucapan Safa. Pria itu justru nekat dan berhasil merengkuh tubuh Safa dengan nyaman.“Nanti wudu lagi, Sayang, hmm.” Azril tak ingin melepaskan Safa.Sedangkan Safa hanya bisa diam dan menghela napas pasrah. Suaminya begitu manja seperti bocah. Safa pun tak bisa menolak yang akhirnya setelah lima menit menyadarkan
Hati Safa bagai tertusuk belati. Ia baru saja merasakan kebahagiaan, tetapi seolah hilang oleh fakta Azril yang ternyata memiliki rahasia besar.Kini, dirinya termenung di dalam kamar, menangis dalam diam dan pikirannya kalut tak karuan. Tidak seharusnya Azril mengabaikan sesuatu yang sudah menjadi rencananya.“Kamu jahat, Ril!” lirih Safa pelan.“Neng, Neng Safa.”Terdengar suara panggilan yang dipastikan itu Amih. Dengan segera menghapus air matanya yang mengalir, tidak ingin membuat Amih khawatir.“Iya, Mih, ada apa?” jawab Safa dengan suara serak. Ia berusaha tersenyum, meski tidak sesuai pada hatinya.“Ayo makan dulu,” kata Hamidah lembut. “Mata kamu sembab, kamu habis menangis?”“Ah, enggak, Mih, mungkin karena terharu tadi lagi baca buku soalnya,” ujar Safa berbohong sembari mengusap wajahnya.Hamidah mengangguk, kemudian mengajak Safa menuju ruang makan. Di sana sudah ada adik bersama keponakannya yang menunggu. Sedangkan Safa semakin merasa tidak enak dan rasanya tidak mau ma
“Kamu sabar dulu. Bibimu memang orangnya begitu, dia selalu berpikiran buruk pada orang lain sebelum mengetahui faktanya.”Azril menghela napas. Ia tahu itu, tetapi tidak harus Safa juga bahkan saat ini Safa sedang mengandung. Bagaimana jika nantinya akan berakibat pada kandungannya.“Apa yang Bibi katakan pada Safa, Mih?”Pandangan Azril serius, ia ingin Amih berkata jujur tanpa harus ada yang ditutupi. Namun, belum juga menjawab sang empu hadir hingga membuat keduanya mengerjap kaget.“Serius banget, lagi ngomongin apa?” tanyanya tak sopan. Lisa menghampiri dan menuangkan air minum di meja.Sedangkan Hamidah memberi kode pada putranya untuk menahan emosi. Ia tahu putranya kesal, tetapi tidak bisa dibalas dengan kasar.“Oh iya, Ril, Meli dan Raisa minta ditemeni jalan-jalan katanya. Kamu bersedia?” Lisa menoleh memandang sang keponakan.“Maaf, Bi, Azril tidak bisa karena ada janji sama Safa,” kata Azril menolak secara halus.Perbuatan ibu beserta anak memang sudah terbiasa seperti it
“Kalian kenapa?” Hamidah terkejut melihat putra beserta menantunya yang saling berlarian.Azril terdiam, kemudian matanya mengerjap saat mendapati Balqis di rumahnya. Seketika pikirannya menerka mengenai sikap Safa tadi. Apa mungkin istrinya cemburu?“Maaf, Mih, Azril duluan,” kata Azril pamit. Ia bergegas menyusul Safa yang menangis.Hamidah ikut cemas melihat menantunya seperti itu. Pikirannya tidak tenang dan berharap dia tidak salah paham dengan pembicaraan tadi.“Maaf, Nak, tadi istrinya Azril.” Hamidah merasa tidak enak. Niatnya ingin memperkenalkan Safa kepada Balqis, tetapi melihat Safa yang menangis mengurungkan keinginannya.Azril pun memasuki kamarnya perlahan, dadanya nyeri melihat Safa sesegukan yang kian kentara.“Safa,” panggil Azril lembut, jaraknya belum mendekat khawatir Safa berontak.“Kenapa kamu tidak berkata jujur padaku?” tanya Safa tanpa menoleh. Air matanya masih mengalir seiring rasa sesak yang terpendam.Azril diam, ia tidak tahu di mana letak kesalahannya.
“Lain kali tanyakan padaku, ya, jangan dipendam sendiri seperti ini. Apalagi sampai mengambil keputusan yang nantinya akan merugikan.” Azril mengingatkan, tidak ingin kembali terulang lagi.“Iya, salah kamu juga tidak beritahu aku,” timpal Safa memanyunkan bibirnya.“Iya kamunya tidak mau tanya. Coba tanya, terus bicarakan baik-baik, aku juga nggak akan marah ko.” Ia akan senang jika Safa menanyakan tentang dirinya. “Ini malah diam nggak jelas, terus nangis.”Azril menyindir sikap Safa yang membuatnya bingung. Safa sendiri sadar dan ia ingin Azril peka dengan keterdiamannya. Namun, Safa salah dan segala sesuatunya memang harus dikomunikasikan bersama.“Iya lagian siapa yang nggak kaget dengar suami sendiri mau dijodohin.” Safa masih tidak terima bahkan rasa emosi masih tersisa sedikit dalam dadanya.“Cie cemburu cie,” ledek Azril terkekeh.“Ish, ngeselin.” Safa pun bangkit dan berjalan meninggalkan Azril.“Mau ke mana?” tanya Azril cepat sebelum Safa benar membuka pintu.Safa menghela
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me