Aku tau kau berbeda bagi dunia, tapi kau adalah satu di dunia kami yang memang ada.
* * *
Pergi ke menemui Wa Ega seharusnya tak perlu banyak drama, tapi siapa sangka menemukan rumahnya akan terasa sesulit ini. Sudah hampir dua jam Aiza berputar-putar di Bundaran Suci, tapi entah kenapa dia selalu kembali ke jalan yang sama atau tersesat dan memaksa putar balik.
Pada akhirnya Aiza memilih merapatkan diri sebentar, di penjual dewegan hijau. Mungkin karena lelah ia jadi teringat bayang-bayang Taklif, juga Wira yang masih saja seterkenal sekarang. Ya cowo gondrong itu memang memiliki kepribadian mudah bergaul, walau sesekali Aiza juga merasakan Wira hanya ingin bersama dia dan Taklif. Khususnya si kacamata empat yang pasti akan selalu ditarik paksa Wira, kemanapun ia ingin pergi. Aiza kadang merasa iri juga, di antara mereka bertiga. Hubungan Wira dan Taklif seperti saudara kembar saja, tidak terpisahkan. Bahkan teman-teman sudah tak ane
Dia bersinar di kegelapan, sementara yang lain di waktu fajar.Manusia memang terkadang curang.Merenggut kedua waktu alam.* * *Jembatan pendek yang menghubungkan dua batas yang terpisah arus sungai Cimanuk. Membawa arus air deras di bawah dua kaki mereka, menuju senja di ufuk Barat. Keduanya tak bicara hanya memandang langit yang mulai berubah warna, ini saatnya sang raja meninggalkan bumi sejenak.Salah satu diantaranya telah resah sejak tadi, jantung yang tak henti memompa darah lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang makin kencang, keratan tangan pada pegangan jembatan makin mengencang. Sementara seseorang di sampingnya hanya menatap tanpa ekspresi, udara makin kian menusuk kulit."Kenapa gak pergi?" Tanya lelaki berambut gondrong, dengan ekspresi tak ada gairah hidup. Sementara orang di sampingnya makin bergetar hebat."Karena kau masih di sini.""
Emosi tak akan membuat solusi, biarkan waktu yang membuat perjalanan panjang tentang kehilangan dan pertemuan.* * *Setelah mendapatkan ceramah habis-habisan dari bapak kost, keduanya sepakat untuk berdamai. Bahkan sekarang malah menikmati mie rebus dengan telur, katanya sebagai perayaan perdamaian mereka."Lu sendiri, kenapa malah ke jembatan?" Tanpa ba bi bu, Wira bertanya di tengah suapan mie yang sedang mereka santap. Padahal sejak tadi fokus mereka hanya pada mie dan televisi."Mimpi.""Yang jelas.""Gua mimpiin Taklif semalam." Wira yang sejak tadi mengamati ekspresi Aiza lagi-lagi tertunduk, sebelum akhirnya ia juga mengatakan mendapatkan mimpi yang sama.Dalam mimpinya mereka duduk bertiga, di tepi pantai Laut Selatan. Mereka berdua tak mengatakan apapun kepada si kacamata itu, justru Taklif yang banyak bercerita di sana. Sampai ucapannya memb
Kau percaya, bahwa tak semua yang tak terlihat adalah buruk.* * *Aiza menguap sepanjang jalan menuju sekolah, memutuskan pergi menggunakan angkutan umum. Bahaya kalau sampai dia mengantuk dan terjadi kecelakaan, tapi namanya juga Aiza. Dimana pun dia berada, selalu saja ada yang mengintili.Kali ini bocah berwajah pucat dengan aksen Nederland, matanya melihat seorang pria tinggi dengan kumis rapi berdiri mengamati. Pakaian mewah kalangan ningrat Belanda dulu, iseng-iseng Aiza mengambil lollipop di dalam tasnya. Membuka lalu menyerahkannya pada bocah Nederland tadi."Kau bisa memakannya?" Aiza meminta ijin pada papanya, lelaki tinggi di sana mengangguk berterimakasih yang diambil semangat bocah tadi lalu kembali ke papanya. Sisanya Aiza memakan permen lollipop tadi, lalu naik angkutan umum.Orang di dalam angkutan beberapa memerhatikan tingkahnya tadi di luar, dan merasa takut untuk duduk di
Pernah tersesat? Hehe, bisa jadi kami sedang mengajakmu berkunjung. * * * Aiza bercerita sedikit tentang perjalanannya menuju Pesantren Balong. Ia sempat kesasar dua jam makanya baru datang pas waktu duhur tiba, untung saja dia ketemu Mang Rahmat yang langsung menolongnya. "Oh, kau ketemu Mang Rahmat? Alhamdulillah, baguslah." Ujar Kang Dimas, sambil mengambil air dan beberapa cemilan. "Tapi beliau gak ngejelasin apa-apa, tapi aku yakin pasti.. ada yang tidak beres dengan ku." Aiza menunduk mengingat, juga masih canggum saja. "Ya Allah Za, kau tak usah sungkan. Aku tau betul apa masalahmu, bahkan adik mu Wulan pun kami tau." "Hah? Kok bisa?" "Siapa lagi sumbernya.." "Bapak." Tebakan tepat yang dijawab anggukan Kang Dimas. "Kakak ku itu cemas sekali dengan kalian, tapi dia gak mungkin ka
Dia telah kembali, tapi misteri masih mengikuti kemanapun aku pergi.* * *Aiza dan Wira tiba di lokasi, ketika sampai hari masih menunjukkan pukul tiga lebih dini hari. Itu karena Wira memilih meminjam mobil ke salah satu saudaranya, hal lain karena Aiza sudah macam orang gila yang tak bisa diajak kompromi. Well, sampai di lokasi mereka lekas mengetuk kantor tim SARS yang saat itu tak terlalu ramai. Hanya sekitar tiga orang yang berjaga, keluarga almarhum juga belum datang karena perjalanan jauh dan diperkirakan akan tiba siang nanti.Wira bertemu pria kisaran 40 tahunan, yang menelepon dan memberitahukan kabar kepadanya tadi. Lalu mulai menceritakan kronologis kejadian penemuan tubuh Taklif. Beberapa dari mereka juga sedikit terheran, kenapa tubuhnya baru bisa ditemukan sekarang."Ini juga karena beberapa kapal besar penjaring ikan sampai ketengah laut, begitu mereka menarik ke atas ada tangan yang menggantung.
Bertumbuh dalam damai dan cinta Allah. * * * Kantin sudah hampir kosong, ketika Aiza memesan es limun dan roti bakar. Ia makan di pojokan seperti biasa, Wira memandang pria tinggi itu sedikit iba. Sementara di sampingnya seorang wanita mengintili. Dengan wajah senang Wira mengantar wanita tadi memesan beberapa menu, lalu pergi ke meja yang sama di mana Aiza duduk. Lelaki bermata lelah itu berhenti mengunyah, ketika matanya bertemu dengan wanita yang duduk di depannya sekarang. Dengan sedikit canggum ia tersenyum ramah menyapa, dan si kuncir memperkenalkannya pada Aiza. Namanya Eiliyah seorang guru baru pengampu Bahasa Inggris, dia baru masuk awal bulan lalu menggantikan Mister Arnold yang pulang ke Jerman. Lelaki bule itu kangen rumah katanya dan memilih kembali ke negeri asalnya. Aiza tidak peduli dengan penjelasan Wira, hanya mengangguk dan melanjutkan makan siang. Walau kesal meras
Mataku melihatnya, tapi ketika ku katakan pada mereka. Aku bukan lagi, aku yang dikenal.* * *Masih jelas di ingatan ketika umurku masih empat tahun. Di samping rumah kami ada seorang paman yang hidup sendirian, usianya baru tiga puluh tahun. Ia sangat baik, sering membagi kami hasil kebunnya, bahkan sesekali juga berkunjung ke rumah. Namanya Paman Bushra. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi ia memiliki otot yang kuat, senyuman ramah dengan mata yang akan membentuk garis ketika ia tertawa. Dia suka sekali menggulung lengan bajunya, hingga aku bisa bergelantungan di lengannya.Suatu hari aku pernah bertanya, kenapa paman Bushra tidak menikah? Tapi dia hanya menjawab singkat, "seseorang menunggu ku." Karena masih kecil jadi tidak terlalu paham maksudnya, mungkin dia menunggu seseorang itu sampai sekarang. Hingga suatu hari ketika sedang bermain di taman pada sore hari, paman itu tersenyum melihatku sedangkan ia duduk di kursi warna
Bagaimana bisa mereka tersesat sejauh ini? Kembali pada waktu dunia fana, sebelum semua terlambat.* * *Sepulang dari perjalanan kami, Wira memutuskan untuk memperbaiki kuliahnya. Dia akan mengejar ketertinggalan dengan cara mengambil semester pendek. Sementara Aiza akan memulai bimbingan tugas akhir, namun ada hal lain yang ingin ia lakukan. Menutup indra ke enamnya, untuk itu ia akan mengerjakan tugas akhir di kampung halamannya.Tapi sebelum itu, Aiza kembali ke kosan. Bayu bilang dia menitipkan tasnya pada pemilik kosan, begitu sampai ia langsung mengambilnya. Hanya saja rasanya ada yang aneh sekarang, ia merasa diawasi dan diikuti. Namun bukan oleh manusia, nampaknya setelah kembali dari laut selatan penglihatannya semakin menambah peka.Aiza tau kamar ke empat dari kamarnya, telah menjadi rahasia umum. Tak ada yang mau tinggal di kamar itu, hingga kamar di sampingnya pun sering kosong memilih tidur di kamar ke tiga. Si e
Tak ada yang tau bagaimana jalan cerita ini. Cerita hidupku, dan masa depanku. Maka dari itu aku butuh seseorang meyakinkan ku. Bahwa semua ini bisa kami jalani bersama. * * * Satu malam sebelum hari pernikahan tiba esok. Naya memilih duduk di kursi santai yang tepat menghadap kolam renang hotel. Tempat di mana acara pernikahan mereka akan dilaksanakan. Mungkin menakutkan ya memang, apa lagi pandangan mata Naya tidak sama seperti yang lainnya. Namun kali ini, dia merasa akan baik-baik saja. Salah satunya karena Aiza duduk di sampingnya. Malam itu langit bertabur bintang, cerah seperti yang mereka inginkan. Kedua kakak beradik ini akan terpisah jarak dan waktu. Tetapi bagi keduanya, tidak ada penyesalan yang harus mereka sesali. Sementara Nayanika menatap bintang, Aiza menunggu apa yang ingin adiknya itu sampaikan. Lelaki jangkung itu sedikit bingung. Untuk apa Naya memanggilnya tiba-tiba. Apa lagi di tempat sepert
Mungkin mata ku tidak akan bisa melihat mereka kembali.Tetapi, aku akan selalu menghormati keberadaan mereka.Mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tetapi bisa di mengerti melalui Sang Pencipta.* * *Aku menelepon kakek dan menceritakan perihal mimpi itu. Tentang sosok yang kutemui, taman itu, dan dua gerbang dunia di sana yang berbeda. Air yang aku minum dan juga kulihat. Lalu kakek bilang aku sangat beruntung. Ada makna dalam mimpi tersebut, satu mengenai bagaimana caraku menggunakan kemampuan melihat makhluk itu. Kedua mengenai bagaimana selama ini aku membantu dengan kemampuan itu, dan yang ketiga adalah apa yang terjadi jika aku menggunakannya dengan tidak bijaksana. Juga, mengenai balasan apa yang akan diterima jika perbuatan kita baik atau buruk.Namun kakek mengingatkan bahwa, semua kembali pada cara ku memperlakukan kehidupan.Surya telah mengatakannya pada Enah dan Bapak. Aku mengantarkann
Aku tidak yakin. Tentang semua hal saat ini.* * *Setelah obrolan dengan Suryakanta, Nayanika duduk di gazebo halaman belakang di subuh hari. Ngeri betul kalau ada yang melihat gadis itu sendirian. Mereka pasti akan mengatakan ada penampakan kuntilanak. Walau sebenarnya memang ada sih di pohon besar sana. Di salah satu halaman tetanggangganya.Naya sudah kenal dengan sosok wanita itu. Tetapi berkat perlindungan kakek, dia tidak bisa masuk ke sini. Makanya sesekali Naya yang mengunjunginya. Hanya saja subuh ini mereka hanya saling menyapa lewat semilir angin."Aku gak mau canggum lagi di kantor, jadi. Malam ini aku mau ngomong sama kamu Nay!""Bentar. Ngomong apaan?""Tentang ucapan kakek atau Kak Aiza." Hening sejenak, "..walau tanpa restu mereka pun. Aku akan mengatakannya sama kamu Nay. Aku jatuh suka! Jauh sebelum ini. Saat kita masih di
Jika kakak tanyakan 'apa aku baik-baik saja?'Sebenarnya aku takut. Tetapi..Selama kalian bersama ku. Sesulit apapub itu, aku akan baik-baik saja.* * *Aku terkejut, tak berani menatap matanya ataupun melihat wajahnya. Kak Aiza mengatakan hal itu, seolah selama ini dia adalah beban untukku. Padahal, akulah yang menjadi bebannya selama ini.Sejak ia bisa melihat mereka. Sedetik pun, dia tak pernah absen mencemaskan keadaan ku. Bahkan di saat untuk pertama kalinya. Kami bisa berbagi cerita dan rahasia mengenai mereka. Kak Aiza harus bergelut dengan rasa takutnya sendiri.Benar. Aku tau Ka Aiza harus menutup indra ke enamnya karena ketakutan Enah. Bahkan ketika dia harus memilikinya kembali. Hal yang paling ia cemaskan adalah perasaan Enah. Bahkan aku juga yakin, saat ini kakak juga pasti memikirkan. 'Apa Enah akan mengetahui cerita ini. Sekali lagi?'.Aku tidak tau, bagaimana car
Sekali lagi. Ini terjadi, tetapi aku juga bertanya mengenai hal yang sama."Apa aku benar-benar telah kehilangan kemampuan itu?"* * *Jika dulu kemampuan itu membawa perpecahan diantara keluarga. Dan memilikinya kembali, juga menyatukan keluarga ini. Lalu kenapa aku merasa, justru ada yang hilang dan kehilangan arah ketika tak memilikinya?Bukankah dulu ketakutan terbesar karena memiliki kemampuan itu. Tetapi karena hal itu juga, aku bisa menolong banyak orang. Tidak. Bukan berarti aku kecewa pada keputusan ini atau.. mengapa harus sekarang kemampuan itu menghilang. Apakah kemampuan itu tidak akan kembali lagi, bahkan untuk selamanya kali ini? Bagaimana dengan Nayanika, adikku itu. Kenapa dia tidak berkata apapun jika memang benar dia sudah mengetahuinya.Tiga bocah itu! Apa mereka ada di sini. Di rumah ini? Aiza tiba-tiba bangkit dari rebahannya, lalu mengamati seisi ruangan televisi. Ia mengambil tongkat
Bolehkah, seseorang membagi tubuh dan jiwanya? Aku juga tidak mengerti menjawab perihal ini. Terlebih, setelah dunia itu tertutup kembali untukku. * * * Seva masih di sini. Dia tidak lekas menjawab perkataanku, yang tentu saja membuat rasa penasaran bertambah.Apa Niskala memang ada dengan meraka? Apa jiwa Niskala tidak tenang? Atau Seva hanya mempermainkannya saja, setelah mengetahui kebenaran dari nya? Aiza tidak yakin wanita di depannya benar-benar Niskala. Bukan kah Seva tidak bisa melihat mereka juga. Lalu, mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Shin yang menyuruhnya untuk berakting. "Sepertinya, kau benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tenang saja hahaha, aku hanya bercanda Aiza!" seva tertawa di depannya, tapi aiza tidak tahu apa itu memang layak untuk ditertawakan. "Hah.. kau tidak suka rupanya, maaf. Tapi.. ya aku berharap kakak ku, Niskala. Memang masih berada di dunia ini." Ekspresi ga
Biarkan kebenaran yang berbicara, biarkan takdir menemukan jalannya.* * *Seperti yang Aiza katakan tempo hari, dokter mengatakan bahwa sore ini Aiza sudah dapat pulang. Masalah benturan di kepalanya tidak parah, kalaupun terasa pusing itu karena ia baru saja menjalani perawatan dan kondisi darahnya belum stabil. Tangan dan kakinya yang terluka juga sudah sembuh, bersyukurlah retakan kecil di kaki kirinya tidak parah dan gips telah membantu tulangnya untuk menempel kembali dengan sempurna. Selebihnya hanya resep dokter dan menjaga pola makan agar pasien bisa lekas sembuh serta beraktivitas seperti sebelumnya.Sampai saat ia pulang dan dijemput seperti janji sobatnya itu. Aiza masih belum menyadari sesuatu, bahkan ketika Naya bereaksi memegang lengan baju Aiza dengan erat. Lelaki jangkung itu malah berkata bahwa Naya seperti bocah yang takut hilang. Karena hal itu Naya melepaskan lengan baju Aiza dengan marah, dan memilih masuk mobil
Apa ceritanya akan kembali seperti dulu?Apa semua akan baik-baik saja?* * *"Kau tidak perlu cemas. Untuk saat ini, lebih baik begini. Kaka mu tidak perlu tau bahwa ia tidak bisa melihat makhlul-makhluk itu lagi. Mungkin dengan begini kesembuhannya akan lebih cepat."Naya melamun di depan layar laptop yang kini telah padam. Pikirannya sedang tidak berada di tempat rupannya, bahkan ketika Enah datang untuk menebus obat dan kembali, ia menyaksikan anak gadis nya melamun dengan pandangan kosong ke arah layar laptop yang mati. Wanita lima puluh tahunan berkerudung pich itu melirik Aiza yang juga sejak tadi mengamati adiknya. Kakaknya itu sudah memerhatikan tingkah adiknya sejak lima belas menit yang lalu. Bahkan ketika Enah datang dan melirik dengan pandangan bertanya padanya."Kenapa adik mu?"Begitulah makna tatapan matanya. Aiza menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya jawaban tida
Aku mempercayainya lalu aku mengikutinya, karena aku meyakininya. * * * Seperti yang sosok itu katakan, aku tidak ragu untuk menutup mataku dan melangkah terus kedepan. Tidak peduli apa nanti akan tersesat atau tidak, dia bilang 'percayalah pada apa yang engkau yakini'. Lalu aku merasa walau mata tertutup, jalan itu membentang luas dipenglihatanku. Seolah sesuatu menarik dari arah depan sana, agar terus melangkah tanpa ragu. Lalu sayup-sayup suara doa-doa menggema, makin lama semakin terdengar jelas. Lagi-lagi seperti katanya, suara yang aku kenal dan kurindukan. Enah mengaji dan berdoa memanggil namaku berulang kali, hingga cahaya itu yang teramat menyilaukan membuat mata terbuka dan kulihat langit pucat ciri khas rumah sakit. "MasyaAllah! Alhamdulillah...Aiza! Aiza, ini Enah Za.MasyaAllah,bapak! Aiza bangun Pak!" Lalu suara bapak dan Naya juga terdengar, dan begitulah sampai akhirnya aku bena