Bertumbuh dalam damai dan cinta Allah.
* * *
Kantin sudah hampir kosong, ketika Aiza memesan es limun dan roti bakar. Ia makan di pojokan seperti biasa, Wira memandang pria tinggi itu sedikit iba. Sementara di sampingnya seorang wanita mengintili. Dengan wajah senang Wira mengantar wanita tadi memesan beberapa menu, lalu pergi ke meja yang sama di mana Aiza duduk.
Lelaki bermata lelah itu berhenti mengunyah, ketika matanya bertemu dengan wanita yang duduk di depannya sekarang. Dengan sedikit canggum ia tersenyum ramah menyapa, dan si kuncir memperkenalkannya pada Aiza.
Namanya Eiliyah seorang guru baru pengampu Bahasa Inggris, dia baru masuk awal bulan lalu menggantikan Mister Arnold yang pulang ke Jerman. Lelaki bule itu kangen rumah katanya dan memilih kembali ke negeri asalnya. Aiza tidak peduli dengan penjelasan Wira, hanya mengangguk dan melanjutkan makan siang.
Walau kesal meras
Mataku melihatnya, tapi ketika ku katakan pada mereka. Aku bukan lagi, aku yang dikenal.* * *Masih jelas di ingatan ketika umurku masih empat tahun. Di samping rumah kami ada seorang paman yang hidup sendirian, usianya baru tiga puluh tahun. Ia sangat baik, sering membagi kami hasil kebunnya, bahkan sesekali juga berkunjung ke rumah. Namanya Paman Bushra. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi ia memiliki otot yang kuat, senyuman ramah dengan mata yang akan membentuk garis ketika ia tertawa. Dia suka sekali menggulung lengan bajunya, hingga aku bisa bergelantungan di lengannya.Suatu hari aku pernah bertanya, kenapa paman Bushra tidak menikah? Tapi dia hanya menjawab singkat, "seseorang menunggu ku." Karena masih kecil jadi tidak terlalu paham maksudnya, mungkin dia menunggu seseorang itu sampai sekarang. Hingga suatu hari ketika sedang bermain di taman pada sore hari, paman itu tersenyum melihatku sedangkan ia duduk di kursi warna
Bagaimana bisa mereka tersesat sejauh ini? Kembali pada waktu dunia fana, sebelum semua terlambat.* * *Sepulang dari perjalanan kami, Wira memutuskan untuk memperbaiki kuliahnya. Dia akan mengejar ketertinggalan dengan cara mengambil semester pendek. Sementara Aiza akan memulai bimbingan tugas akhir, namun ada hal lain yang ingin ia lakukan. Menutup indra ke enamnya, untuk itu ia akan mengerjakan tugas akhir di kampung halamannya.Tapi sebelum itu, Aiza kembali ke kosan. Bayu bilang dia menitipkan tasnya pada pemilik kosan, begitu sampai ia langsung mengambilnya. Hanya saja rasanya ada yang aneh sekarang, ia merasa diawasi dan diikuti. Namun bukan oleh manusia, nampaknya setelah kembali dari laut selatan penglihatannya semakin menambah peka.Aiza tau kamar ke empat dari kamarnya, telah menjadi rahasia umum. Tak ada yang mau tinggal di kamar itu, hingga kamar di sampingnya pun sering kosong memilih tidur di kamar ke tiga. Si e
Kau bisa melihat bayangan kematian, namun sedikit orang yang menyadari pertanda ini. Mungkin, itu sebabnya kau memiliki mata keenam. Untuk menyadari apa yang tak di sadari orang awam. * * * Aku menghubungi Mbak Wati, salah satu sodara dari ayah juga. Lebih tepatnya sepupu dari keluarga istri Wa Ega, Wa Ratna. Tidak kusangka ternyata sepasang suami istri ini mampu melihat dunia lain, makanya Wa Ratna memberi tahuku tentang saudaranya yang lain. Salah satunya Mbak Wati ini, yang sudah sering mengalami hal-hal aneh sejak ia masih kecil. "Assalamualaikum, hallo Mbak." Sapaku begitu telponnya ia jawab. "Ya, ada apa Za?" Suara Mbak Wati selalu berat, sepertinya hari-harinya setelah memiliki anak pertama tidak terlalu baik. "Maaf mengganggu Mbak, tapi.. Mbak pernah kejadian melihat bayangan orang yang justru mulai pudar di cermin?" "Hm, bayangan
Penasaran memang wajar, tapi harus siap dengan konsekuensinya.Jangan dicari kalau mereka memang tak ingin dicari.* * *Setiap hari aku memperhatikannya, pura-pura tak peduli tapi semesta memberi tanda. Salah satunya adalah si gagak, entah dia kenalan ku yang dulu atau bukan. Lagi-lagi mata hitam legamnya mengamatiku di pohon belakang, samping ruang kantor guru."Kau datang lagi. Apa kali ini, hanya peringatan atau kabar kematian?" Aku menemuinya dan berbicara, walau entahlah apa dia mengerti atau tidak. Hanya intuisi saja yang bermain sekarang, aku sedikit enggan sebenarnya berada di halaman belakang ini."Lagi-lagi kau datang menemui si jelek ini?" Dia mahluk yang berdiam di pohon asem ini, wanita bergaun putih."Setidaknya dia mandi, kau sendiri kenapa tak pergi mandi sana.""Hihihi! Mau ikut?" Dia tertawa mengajak, wajah pucat dengan rambut kusut.
Apa yang paling membahagiakan untuk mereka yang menua?Orang terkasih berada di sampingnya, ketika hembusan nafas terakhir.* * *Arunika menemani roda si kuda besi melangkah, menelusup di celah-celah dedaunan dan beton kokoh yang megah. Istana para manusia dan hunian makhluk tak kasat mata.Panggilan subuh tadi menjerit di telinga, Wira menelepon perihal kabar duka. Burung gagak mengepak sayap memberi pertanda di balik jendela, lagi-lagi ia menatap tanpa suara."Sudah dijemput? Hm, aku dapat beritanya." Bulu hitam legamnya nampak mengkilap, dengan cahaya merah dari sorot matanya. Aku merinding tapi tak takut, mungkin berusaha membiasakan diri setelah delapan tahun ini. "Tunggu. Aku punya roti, ambillah." Sang gagak tak lekas mengambil, ia masih diam mengamati hingga fajar makin meninggi barulah ia pergi.Motor matik sudah masuk lingkungan sekolah, tepat kulihat Wira dan Eiliyah datang
Teman kecil yang menghilang, entah karena alasan apa.* * *Setelah kepergian paman Bushra, rumah di samping kami hening. Keluarga besar paman menjualnya, hingga pemilik baru datang. Kami masih tinggal bersebelahan, sayangnya ayah melarang untuk bermain kesana.Pernah bertanya kenapa tidak boleh, padahal aku lihat ada tiga bocah asing di sana. Mereka tersenyum ketika aku mengintip ke halamannya, tapi bapak bilang tidak boleh. Karena bosan dan merasa kesepian, sering sekali mengendap-ngendap bertemu dengan mereka dan bermain di taman depan. Kebetulan ada taman yang sekaligus berfungsi, sebagai lapangan basket atau voli di depan rumah. Tentu saja aku mengajak mereka bermain di sana, ada perosotan dan ayunan, juga box pasir. Tetapi beberapa waktu aku pernah jatuh dari ayunan, karena salah satu dari mereka mendorongku terlalu kencang.Beberapa kali ketika Enah sibuk di dapur, dan bapak yang masih bekerja.
Kami tak terlihat untuk sementara, tapi kami pasti kembali.* * *Pukul sebelas malam lewat beberapa menit, ketika mobil keluarga Aiza berhasil menepi di halaman sebuah pesantren. Mereka turun dengan Aiza yang terlelap tidur, rupanya seseorang telah menunggu mereka sejak tadi di depan pintu. Seorang wanita kisaran 40 tahunan, menyapa mereka berdua dan mempersilahkannya masuk.Mereka berdua nampak terlihat lelah, tentu bukan hanya karena fisik. Pria berjanggut menghela napas sejenak, sebelum akhirnya meminta saudara termuda mereka melakukan sesuatu pada mobil di parkiran sana. Entah doa apa yang dibacakan lelaki itu, sebelum mempersilahkan keduanya duduk setelah lima menit yang terasa berat dan panjang.Begitu mereka cukup tenang, wanita tadi membawakan air bening hangat dan beberapa cemilan. Sebelum mereka minum, lelaki berjanggut tadi membacakan doa yang ditiupkan pada airnya dan mempersilahkan keduanya minum.
Berdamai dengan keadaan dan kenyataan, lebih sulit ketika memotivasi diri sendiri. Terkhusus, orang yang pergi adalah seseorang yang paling kau sayangi. * * * Mereka duduk berhadapan setelah ucapan wanita itu, kembali mengusik ketenangan Aiza. Sengaja Aiza memilih tempat yang jauh dari jangkauan Wira, dan tak pernah dikunjungi lelaki itu. Kalau tidak mereka akan bertemu dan meributkan kembali, permasalahan yang tidak penting untuk Aiza. Dua cangkir kopi panas baru saja dihidangkan di atas meja, namun suasana ini jauh lebih pahit untuk Aiza. Wanita di hadapannya tak juga bergeming, walau ia mengatakan berbagai macam hal mengenai keinginannya untuk mengetahui dunia ini. Dunia yang justru terasa mencekam dan mengerikan bagi mereka yang memiliki mata keenam. "Jadi, kau ingin aku membuatmu bisa melihat hantu?" Aiza menatap tajam, sedangkan Eiliyah mengangguk menjawab. "Sudah kubilang sebelumnya. Tidak se
Tak ada yang tau bagaimana jalan cerita ini. Cerita hidupku, dan masa depanku. Maka dari itu aku butuh seseorang meyakinkan ku. Bahwa semua ini bisa kami jalani bersama. * * * Satu malam sebelum hari pernikahan tiba esok. Naya memilih duduk di kursi santai yang tepat menghadap kolam renang hotel. Tempat di mana acara pernikahan mereka akan dilaksanakan. Mungkin menakutkan ya memang, apa lagi pandangan mata Naya tidak sama seperti yang lainnya. Namun kali ini, dia merasa akan baik-baik saja. Salah satunya karena Aiza duduk di sampingnya. Malam itu langit bertabur bintang, cerah seperti yang mereka inginkan. Kedua kakak beradik ini akan terpisah jarak dan waktu. Tetapi bagi keduanya, tidak ada penyesalan yang harus mereka sesali. Sementara Nayanika menatap bintang, Aiza menunggu apa yang ingin adiknya itu sampaikan. Lelaki jangkung itu sedikit bingung. Untuk apa Naya memanggilnya tiba-tiba. Apa lagi di tempat sepert
Mungkin mata ku tidak akan bisa melihat mereka kembali.Tetapi, aku akan selalu menghormati keberadaan mereka.Mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tetapi bisa di mengerti melalui Sang Pencipta.* * *Aku menelepon kakek dan menceritakan perihal mimpi itu. Tentang sosok yang kutemui, taman itu, dan dua gerbang dunia di sana yang berbeda. Air yang aku minum dan juga kulihat. Lalu kakek bilang aku sangat beruntung. Ada makna dalam mimpi tersebut, satu mengenai bagaimana caraku menggunakan kemampuan melihat makhluk itu. Kedua mengenai bagaimana selama ini aku membantu dengan kemampuan itu, dan yang ketiga adalah apa yang terjadi jika aku menggunakannya dengan tidak bijaksana. Juga, mengenai balasan apa yang akan diterima jika perbuatan kita baik atau buruk.Namun kakek mengingatkan bahwa, semua kembali pada cara ku memperlakukan kehidupan.Surya telah mengatakannya pada Enah dan Bapak. Aku mengantarkann
Aku tidak yakin. Tentang semua hal saat ini.* * *Setelah obrolan dengan Suryakanta, Nayanika duduk di gazebo halaman belakang di subuh hari. Ngeri betul kalau ada yang melihat gadis itu sendirian. Mereka pasti akan mengatakan ada penampakan kuntilanak. Walau sebenarnya memang ada sih di pohon besar sana. Di salah satu halaman tetanggangganya.Naya sudah kenal dengan sosok wanita itu. Tetapi berkat perlindungan kakek, dia tidak bisa masuk ke sini. Makanya sesekali Naya yang mengunjunginya. Hanya saja subuh ini mereka hanya saling menyapa lewat semilir angin."Aku gak mau canggum lagi di kantor, jadi. Malam ini aku mau ngomong sama kamu Nay!""Bentar. Ngomong apaan?""Tentang ucapan kakek atau Kak Aiza." Hening sejenak, "..walau tanpa restu mereka pun. Aku akan mengatakannya sama kamu Nay. Aku jatuh suka! Jauh sebelum ini. Saat kita masih di
Jika kakak tanyakan 'apa aku baik-baik saja?'Sebenarnya aku takut. Tetapi..Selama kalian bersama ku. Sesulit apapub itu, aku akan baik-baik saja.* * *Aku terkejut, tak berani menatap matanya ataupun melihat wajahnya. Kak Aiza mengatakan hal itu, seolah selama ini dia adalah beban untukku. Padahal, akulah yang menjadi bebannya selama ini.Sejak ia bisa melihat mereka. Sedetik pun, dia tak pernah absen mencemaskan keadaan ku. Bahkan di saat untuk pertama kalinya. Kami bisa berbagi cerita dan rahasia mengenai mereka. Kak Aiza harus bergelut dengan rasa takutnya sendiri.Benar. Aku tau Ka Aiza harus menutup indra ke enamnya karena ketakutan Enah. Bahkan ketika dia harus memilikinya kembali. Hal yang paling ia cemaskan adalah perasaan Enah. Bahkan aku juga yakin, saat ini kakak juga pasti memikirkan. 'Apa Enah akan mengetahui cerita ini. Sekali lagi?'.Aku tidak tau, bagaimana car
Sekali lagi. Ini terjadi, tetapi aku juga bertanya mengenai hal yang sama."Apa aku benar-benar telah kehilangan kemampuan itu?"* * *Jika dulu kemampuan itu membawa perpecahan diantara keluarga. Dan memilikinya kembali, juga menyatukan keluarga ini. Lalu kenapa aku merasa, justru ada yang hilang dan kehilangan arah ketika tak memilikinya?Bukankah dulu ketakutan terbesar karena memiliki kemampuan itu. Tetapi karena hal itu juga, aku bisa menolong banyak orang. Tidak. Bukan berarti aku kecewa pada keputusan ini atau.. mengapa harus sekarang kemampuan itu menghilang. Apakah kemampuan itu tidak akan kembali lagi, bahkan untuk selamanya kali ini? Bagaimana dengan Nayanika, adikku itu. Kenapa dia tidak berkata apapun jika memang benar dia sudah mengetahuinya.Tiga bocah itu! Apa mereka ada di sini. Di rumah ini? Aiza tiba-tiba bangkit dari rebahannya, lalu mengamati seisi ruangan televisi. Ia mengambil tongkat
Bolehkah, seseorang membagi tubuh dan jiwanya? Aku juga tidak mengerti menjawab perihal ini. Terlebih, setelah dunia itu tertutup kembali untukku. * * * Seva masih di sini. Dia tidak lekas menjawab perkataanku, yang tentu saja membuat rasa penasaran bertambah.Apa Niskala memang ada dengan meraka? Apa jiwa Niskala tidak tenang? Atau Seva hanya mempermainkannya saja, setelah mengetahui kebenaran dari nya? Aiza tidak yakin wanita di depannya benar-benar Niskala. Bukan kah Seva tidak bisa melihat mereka juga. Lalu, mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Shin yang menyuruhnya untuk berakting. "Sepertinya, kau benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tenang saja hahaha, aku hanya bercanda Aiza!" seva tertawa di depannya, tapi aiza tidak tahu apa itu memang layak untuk ditertawakan. "Hah.. kau tidak suka rupanya, maaf. Tapi.. ya aku berharap kakak ku, Niskala. Memang masih berada di dunia ini." Ekspresi ga
Biarkan kebenaran yang berbicara, biarkan takdir menemukan jalannya.* * *Seperti yang Aiza katakan tempo hari, dokter mengatakan bahwa sore ini Aiza sudah dapat pulang. Masalah benturan di kepalanya tidak parah, kalaupun terasa pusing itu karena ia baru saja menjalani perawatan dan kondisi darahnya belum stabil. Tangan dan kakinya yang terluka juga sudah sembuh, bersyukurlah retakan kecil di kaki kirinya tidak parah dan gips telah membantu tulangnya untuk menempel kembali dengan sempurna. Selebihnya hanya resep dokter dan menjaga pola makan agar pasien bisa lekas sembuh serta beraktivitas seperti sebelumnya.Sampai saat ia pulang dan dijemput seperti janji sobatnya itu. Aiza masih belum menyadari sesuatu, bahkan ketika Naya bereaksi memegang lengan baju Aiza dengan erat. Lelaki jangkung itu malah berkata bahwa Naya seperti bocah yang takut hilang. Karena hal itu Naya melepaskan lengan baju Aiza dengan marah, dan memilih masuk mobil
Apa ceritanya akan kembali seperti dulu?Apa semua akan baik-baik saja?* * *"Kau tidak perlu cemas. Untuk saat ini, lebih baik begini. Kaka mu tidak perlu tau bahwa ia tidak bisa melihat makhlul-makhluk itu lagi. Mungkin dengan begini kesembuhannya akan lebih cepat."Naya melamun di depan layar laptop yang kini telah padam. Pikirannya sedang tidak berada di tempat rupannya, bahkan ketika Enah datang untuk menebus obat dan kembali, ia menyaksikan anak gadis nya melamun dengan pandangan kosong ke arah layar laptop yang mati. Wanita lima puluh tahunan berkerudung pich itu melirik Aiza yang juga sejak tadi mengamati adiknya. Kakaknya itu sudah memerhatikan tingkah adiknya sejak lima belas menit yang lalu. Bahkan ketika Enah datang dan melirik dengan pandangan bertanya padanya."Kenapa adik mu?"Begitulah makna tatapan matanya. Aiza menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya jawaban tida
Aku mempercayainya lalu aku mengikutinya, karena aku meyakininya. * * * Seperti yang sosok itu katakan, aku tidak ragu untuk menutup mataku dan melangkah terus kedepan. Tidak peduli apa nanti akan tersesat atau tidak, dia bilang 'percayalah pada apa yang engkau yakini'. Lalu aku merasa walau mata tertutup, jalan itu membentang luas dipenglihatanku. Seolah sesuatu menarik dari arah depan sana, agar terus melangkah tanpa ragu. Lalu sayup-sayup suara doa-doa menggema, makin lama semakin terdengar jelas. Lagi-lagi seperti katanya, suara yang aku kenal dan kurindukan. Enah mengaji dan berdoa memanggil namaku berulang kali, hingga cahaya itu yang teramat menyilaukan membuat mata terbuka dan kulihat langit pucat ciri khas rumah sakit. "MasyaAllah! Alhamdulillah...Aiza! Aiza, ini Enah Za.MasyaAllah,bapak! Aiza bangun Pak!" Lalu suara bapak dan Naya juga terdengar, dan begitulah sampai akhirnya aku bena