Kau bisa melihat bayangan kematian, namun sedikit orang yang menyadari pertanda ini. Mungkin, itu sebabnya kau memiliki mata keenam.
Untuk menyadari apa yang tak di sadari orang awam.
* * *
Aku menghubungi Mbak Wati, salah satu sodara dari ayah juga. Lebih tepatnya sepupu dari keluarga istri Wa Ega, Wa Ratna. Tidak kusangka ternyata sepasang suami istri ini mampu melihat dunia lain, makanya Wa Ratna memberi tahuku tentang saudaranya yang lain. Salah satunya Mbak Wati ini, yang sudah sering mengalami hal-hal aneh sejak ia masih kecil.
"Assalamualaikum, hallo Mbak." Sapaku begitu telponnya ia jawab.
"Ya, ada apa Za?" Suara Mbak Wati selalu berat, sepertinya hari-harinya setelah memiliki anak pertama tidak terlalu baik.
"Maaf mengganggu Mbak, tapi.. Mbak pernah kejadian melihat bayangan orang yang justru mulai pudar di cermin?"
"Hm, bayangan
Penasaran memang wajar, tapi harus siap dengan konsekuensinya.Jangan dicari kalau mereka memang tak ingin dicari.* * *Setiap hari aku memperhatikannya, pura-pura tak peduli tapi semesta memberi tanda. Salah satunya adalah si gagak, entah dia kenalan ku yang dulu atau bukan. Lagi-lagi mata hitam legamnya mengamatiku di pohon belakang, samping ruang kantor guru."Kau datang lagi. Apa kali ini, hanya peringatan atau kabar kematian?" Aku menemuinya dan berbicara, walau entahlah apa dia mengerti atau tidak. Hanya intuisi saja yang bermain sekarang, aku sedikit enggan sebenarnya berada di halaman belakang ini."Lagi-lagi kau datang menemui si jelek ini?" Dia mahluk yang berdiam di pohon asem ini, wanita bergaun putih."Setidaknya dia mandi, kau sendiri kenapa tak pergi mandi sana.""Hihihi! Mau ikut?" Dia tertawa mengajak, wajah pucat dengan rambut kusut.
Apa yang paling membahagiakan untuk mereka yang menua?Orang terkasih berada di sampingnya, ketika hembusan nafas terakhir.* * *Arunika menemani roda si kuda besi melangkah, menelusup di celah-celah dedaunan dan beton kokoh yang megah. Istana para manusia dan hunian makhluk tak kasat mata.Panggilan subuh tadi menjerit di telinga, Wira menelepon perihal kabar duka. Burung gagak mengepak sayap memberi pertanda di balik jendela, lagi-lagi ia menatap tanpa suara."Sudah dijemput? Hm, aku dapat beritanya." Bulu hitam legamnya nampak mengkilap, dengan cahaya merah dari sorot matanya. Aku merinding tapi tak takut, mungkin berusaha membiasakan diri setelah delapan tahun ini. "Tunggu. Aku punya roti, ambillah." Sang gagak tak lekas mengambil, ia masih diam mengamati hingga fajar makin meninggi barulah ia pergi.Motor matik sudah masuk lingkungan sekolah, tepat kulihat Wira dan Eiliyah datang
Teman kecil yang menghilang, entah karena alasan apa.* * *Setelah kepergian paman Bushra, rumah di samping kami hening. Keluarga besar paman menjualnya, hingga pemilik baru datang. Kami masih tinggal bersebelahan, sayangnya ayah melarang untuk bermain kesana.Pernah bertanya kenapa tidak boleh, padahal aku lihat ada tiga bocah asing di sana. Mereka tersenyum ketika aku mengintip ke halamannya, tapi bapak bilang tidak boleh. Karena bosan dan merasa kesepian, sering sekali mengendap-ngendap bertemu dengan mereka dan bermain di taman depan. Kebetulan ada taman yang sekaligus berfungsi, sebagai lapangan basket atau voli di depan rumah. Tentu saja aku mengajak mereka bermain di sana, ada perosotan dan ayunan, juga box pasir. Tetapi beberapa waktu aku pernah jatuh dari ayunan, karena salah satu dari mereka mendorongku terlalu kencang.Beberapa kali ketika Enah sibuk di dapur, dan bapak yang masih bekerja.
Kami tak terlihat untuk sementara, tapi kami pasti kembali.* * *Pukul sebelas malam lewat beberapa menit, ketika mobil keluarga Aiza berhasil menepi di halaman sebuah pesantren. Mereka turun dengan Aiza yang terlelap tidur, rupanya seseorang telah menunggu mereka sejak tadi di depan pintu. Seorang wanita kisaran 40 tahunan, menyapa mereka berdua dan mempersilahkannya masuk.Mereka berdua nampak terlihat lelah, tentu bukan hanya karena fisik. Pria berjanggut menghela napas sejenak, sebelum akhirnya meminta saudara termuda mereka melakukan sesuatu pada mobil di parkiran sana. Entah doa apa yang dibacakan lelaki itu, sebelum mempersilahkan keduanya duduk setelah lima menit yang terasa berat dan panjang.Begitu mereka cukup tenang, wanita tadi membawakan air bening hangat dan beberapa cemilan. Sebelum mereka minum, lelaki berjanggut tadi membacakan doa yang ditiupkan pada airnya dan mempersilahkan keduanya minum.
Berdamai dengan keadaan dan kenyataan, lebih sulit ketika memotivasi diri sendiri. Terkhusus, orang yang pergi adalah seseorang yang paling kau sayangi. * * * Mereka duduk berhadapan setelah ucapan wanita itu, kembali mengusik ketenangan Aiza. Sengaja Aiza memilih tempat yang jauh dari jangkauan Wira, dan tak pernah dikunjungi lelaki itu. Kalau tidak mereka akan bertemu dan meributkan kembali, permasalahan yang tidak penting untuk Aiza. Dua cangkir kopi panas baru saja dihidangkan di atas meja, namun suasana ini jauh lebih pahit untuk Aiza. Wanita di hadapannya tak juga bergeming, walau ia mengatakan berbagai macam hal mengenai keinginannya untuk mengetahui dunia ini. Dunia yang justru terasa mencekam dan mengerikan bagi mereka yang memiliki mata keenam. "Jadi, kau ingin aku membuatmu bisa melihat hantu?" Aiza menatap tajam, sedangkan Eiliyah mengangguk menjawab. "Sudah kubilang sebelumnya. Tidak se
Jangan lihat! Jangan dengarkan mereka, mereka ingin kamu mati!* * *"Kenapa kamu tidak boleh berteman dengan kami?" Bocah tampan dengan rambut coklat dan pakaian kuno, duduk di samping ayunan dengan bocah berambut hitam."Iya Aiza, kenapa kau tidak boleh bermain dengan kami. Kalau kau tidak bisa bermain dengan kami, kau akan terus dipaksa oleh mereka untuk terus melakukan hal itu!" Bocah berambut pirang lainnya, berdiri di depan Aiza. Ia lebih tinggi dari bocah berambut hitam itu."Kau bisa ikut kami, kau mau bermain dengan kami terus kan?" Satu lagi duduk berjongkok dengan membawa boneka Teddy bear ditangannya. Gadis kecil berambut pirang tergerai, mata birunya menatap dingin penuh harap.Si bocah lelaki berambut hitam, duduk di ayunan nampak sedih dan bingung. Ia telah bermain terlalu sering dengan mereka, saat orang tuanya tak ada. Merekalah yang menemaninya, tertawa dan berbagi banyak cer
Setiap yang mati akan kembali ke asalnya. Kalaupun kau bertemu seseorang seperti yang kau kenal, dia bukanlah 'dia' yang sesungguhnya.* * *Aiza baru sadar setelah berlari jauh, bahwa motornya tertinggal di parkiran gedung cafe. Mau tidak mau ia harus kembali ke titik awal, walau enggan ia mencoba memberanikan diri kembali dengan menanyakan bagaimana keadaan di sana. Sesuatu yang sempat membantu Aiza menjelaskan, bahwa ia telah membereskan semuanya namun memang kali ini lawannya berhasil kabur. Ia juga mengatakan untuk tidak takut, pada makhluk seperti mereka.Setelah memastikan keamanan, Aiza berjalan menuju kafe tempat ia dan Eiliyah bertemu. Saat itu tepat sekali Eiliyah berjongkok di pinggir jalan, hingga menit berikutnya sebuah motor yang dikenali Aiza menepi dan memberikan helm pada wanita itu. Mereka pun pergi sementara Aiza memerhatikan dari jauh.Aiza bergegas menuju parkiran dan menghidupkan mesin motor
Kau pikir menyenangkan mengetahui kebenaran, tentu saja tidak. Apa lagi jika itu berhubungan dengan orang yang telah meninggal!* * *Wira menarikku ke belakang labolatorium IPA, ia datang dengan marah pagi ini. Tentu karena alasan yang sudah jelas, mempertanyakan mengapa aku bisa dengan wanita itu, kenapa aku meninggalkannya, dan alasan aku meneleponnya."Lu! Gua gak akan semarah ini kalau kejadian kemarin gak terjadi, tapi lu! Kenapa ninggalin Eiliyah sendirian di kafe! Apa maksudnya nyusuh gua jemput setelah lu, justru ninggalin dia. Lu pikir ini bisa bantu gua apa!" Wira menahan lengannya di dadaku dengan tujuan agar aku tidak kabur sebelum menjelaskan apapun padanya, tapi sungguh aku tidak berniat kabur sedikitpun saat ini."Lu mau introgasi gua, dengan cara begini?" Wira sigap menurunkan tangannya, tapi masih menatapku marah. "Gua jelasin, tapi pikir menurut akal sehat lu sendiri. Ketika gua ceritain, sama s