Aku, Kalea, merasa sangat terpukul atas ucapan yang dilayangkan boleh ibu mertuaku kepadaku. Hatiku benar-benar sangat hancur, menerima kenyataan pahit yang terjadi dalam hidupku. Masihkah ada sisa kebahagiaan yang tertuai dari pernikahan ini? Andai aku bisa memutar balikkan waktu.***Aku, Rania, merasa sangat bahagia, setelah Mas Attala memberikan aku sebuah kejutan untukku.Setelah kami menjenguk Kalea, Mas Attala mengajakku pergi ke sebuah showroom mobil milik temannya.Sesampainya di sana, aku dan Mas Attala disambut oleh seorang pria yang umurnya sepantaran dengan Mas Attala.Aku merasa bingung, kenapa Mas Attala tiba-tiba mengajakku ke sini."Mas, kenapa kita ke sini?" tanyaku dengan menatap wajah suamiku yang tersenyum ke arahku."Memberikan dirimu kejutan," kata Mas Attala dengan merangkul pundakku.Aku bingung, kejutan apa yang dia maksud, mungkinkah dia akan membelikan aku sebuah mobil baru? Ah mana mungkin, untuk apa Mas Attala membelikan aku mobil, nyetir saja aku tidak
Aku meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Mas Attala, "Bekerja secara profesional saja, kamu tidak perlu menyangkut pautkan antara masalah pekerjaan dan masalah pribadi, tunjukkan dirimu, bahwa kamu itu wanita cerdas dan bukan seperti yang dia pikirkan selama ini." Dia menyeruput kopinya dengan santai, seperti sedang memberi contoh bagaimana seharusnya menghadapi permasalahan hidup."Kamu bisa memberikan pelajaran hidup untuk mantan suami kamu, agar tidak meremehkan orang yang dipandang rendah olehnya. Namun, saat melakukan itu, jangan gunakan jabatanmu untuk kembali merendahkan orang yang sudah merendahkan dirimu," lanjut ucapan Mas Attala saat memberikan nasehat kepadaku. Dalam keheningan hati, aku mulai merenung. Apakah aku hanya ingin balas dendam dengan kesuksesanku nanti? Apakah yang dicontohkan Mas Attala lebih dari sekadar pelajaran tapi juga sebagai pengajaran? Aku bertanya pada diriku sendiri tentang nilai yang bisa aku ambil dari ucapannya. Sungguh bijak lelaki yan
Kejutan besar itu, membuat kedua mata Mas Raka langsung terbelalak, ia tampak tak bisa berkata-kata lagi, saat mengetahui Mas Attala adalah bosnya.Mas Attala tersenyum dan dia merangkul tubuhku dengan mesra, wajah Mas Raka seketika memucat, saat ia melihat kami bersama.Dia tidak menyangka jika bos yang dia kenal dengan bos Attar adalah suamiku."Kenapa Raka? Kau sepertinya terkejut melihat ini?" Mas Attala tampak santai saat melihat Mas Raka saat ini sedang gugup dan shich setelah mengetahui dirinya adalah bosnya.Mas Raka hanya terdiam seribu bahasa, wajahnya tampak pucat pasi dan tak sedikit pun dia berani menatap wajah Mas Attala yang saat ini berada di depannya.Mas Attala yang mungkin tau jika situasi ini sedikit pribadi, membuatnya meminta Pak Amri untuk keluar dari sana."Pak Amri, tolong tinggalkan kami di sini," perintah Mas Attala dengan nada sopan."Baik, Pak, kalau begitu saya permisi dulu," pamit pak Amri kepada Mas Attala.Mas Attala menjawab dengan bahasa tubuhnya den
Aku terkejut, saat Mas Attala mengatakan jika Mas Raka saat ini berbuat curang pada perusahaan miliknya."Maaf, Mas, aku hanya melihat ada data yang memang belum dimasukkan. Namun, semuanya sudah balance perhitungannya," ralatku saat itu.Mas Attala tersenyum menatap wajahku, dia terlihat santai saat mendengar ucapanku. "Sudahkah kau melihat lebih teliti sejauh ini?" Mas Attala tersenyum dan mengacak rambutku dengan mesra, lalu menunjukkan bukti di mana ada beberapa barang-barang yang hilang dari gudang penyimpanan yang hendak dikirim ke beberapa supplier besar. "Tidak banyak, hanya saja setiap bulannya kita menderita kerugian 6 jutaan, dan ini sudah berlangsung lima bulan yang lalu, sebelum aku ke sini," jelas Mas Attala dengan santai. Aku terkejut, hatiku berkecamuk saat mengetahui bahwa kerugian perusahaan akibat kehilangan barang-barang tersebut. Namun, meskipun ada bukti yang kuat, aku masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa itu adalah ulah Mas Raka. "Tapi, apa Mas Attala y
Aku melihat wajah Mas Raka yang saat itu sangat gugup, ketika aku meminta untuk mengganti laporan yang salah itu dengan laporan yang benar.Aku yakin, dia pastinya sudah tau, jika ada selisih barang dari laporan itu, jika dia menggantinya dengan data yang benar.Raut wajah Mas Raka terlihat pucat pasi dan kulihat wajahnya kini dipenuhi dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya, setelah aku menodongkan sebuah pernyataan yang cukup membuat Mas Raka tak mampu berkata-kata lagi."Kenapa kamu diam, Mas? Kau mau mengaku di depanku sekarang, atau di kantor polisi, Mas?" desakku mulai mengintimidasi Mas Raka.Mas Raka semakin resah, dia tak beraani menatapku, dan ku lihat raut wajahnya mulai resah menatap wajahku, hingga akhirnya dia pun mengatakan yang sebenarnya kepadaku."Rania, tolong jangan laporkan aku ke polisi, aku minta maaf," jawab Mas Raka dengan nada sedikit tercekat di tenggorokan.Mendengar itu, seketika membuat diriku semakin penasaran dengan apa yang akan diakui oleh Mas
Aku sudah terlalu lama berdebat dengan Kalea, membuat emosiku meluap. "Maaf Kalea, aku ke sini bukan untuk berdebat dengan dirimu, apalagi mendengar ocehanmu. Aku ke sini hanya ingin mengambil mobil yang sudah menjadi milik kami," ujarku dengan nada kesal."Jangan bermimpi, Rania. Jika kamu mau mobil, sebaiknya kamu beli sendiri, jangan minta mobil mantan suami kamu," balas Kalea, yang tampaknya masih belum mengenal betul siapa aku sebenarnya. Rasa frustasi mulai menggelayut di dalam pikiran. Mobil itu sudah di oper kredit Mas Raka kepada suamiku, tentu saja aku memiliki hak atas mobil itu, tapi Kalea terus menyangkalnya, tak percaya dengan apa yang aku katakan, meskipun aku sudah memberikan bukti untuk dirinya.Aku ingin menegaskan posisiku dan mendapatkan mobil itu secepatnya. Namun, tidak ingin memperpanjang perdebatan, aku pun memutuskan untuk berteriak memanggil Mas Raka, agar dia keluar dari dalam rumahnya. "Mas Raka! Mas Raka!" teriakku dengan suara lantang, berharap dia aka
Saat ini Bu Mirna tampaknya sedang marah kepada diriku, saat aku hendak mengambil mobil Mas Raka. Namun, aku tidak peduli dengan ocehan Bu Mirna.Kuminta kunci dan surat-surat kendaraan kepada Mas Raka saat itu."Mas, sebaiknya berikan kunci mobil dan surat-surat itu sekarang! Aku tidak mau berdebat lagi dengan ibu dan suamiku," pintaku kepada Mas Raka.Mas Raka menganggukkan kepalanya lemah, lalu dia masuk ke dalam.Sementara Bu Mirna dan Kalea masih saja mengoceh dan menghinaku di sana."Dasar tidak tau diri, sudah punya suami masih saja minta jatah mantan suami, kau memang mantan menantu tidak tau diuntung, Rania!" Bu Mirna semakin mengolok-olok diriku di depan suamiku.Aku yang sejak tadi berusaha untuk tidak terpancing dengan olokan mereka, akhirnya memutuskan untuk menghentikan mereka mengolok diriku, setelah aku memaparkan tentang kejahatan Mas Raka di depan mereka."Cukup Bu! Cukup kalian mengolok diriku di depan suamiku!" Suaraku memecah diantara mereka yang saat itu saling b
Dua hari kemudian, setelah kami mengambil mobil itu. Aku, Rania, melihat Mas Raka sudah tidak memakai mobil saat berangkat ke kantor. Ia hanya memakai motor matic.Banyak para karyawan lain yang bertanya-tanya kenapa dia tidak memakai mobil saat bekerja.Menanggapi itu, aku tidak banyak bicara. Namun, para karyawan pun banyak tau jika mobil Mas Raka saat ini menjadi investaris kantor.Sementara itu, Mas Attala memintaku untuk kursus mengendarai mobil baruku, agar aku bisa mengendarai mobil sendiri jika kemana-mana.Kini aku pun kursus mobil dan mulai belajar mengendarai mobil sendiri.Rasanya aku tidak percaya dengan nasib yang aku terima setelah bercerai dengan Mas Raka. Semuanya berbalik dan kini aku merasakan bagaimana di posisi yang cukup menyenangkan."Bagaimana kursus mengemudimu hari ini, Sayang?" tanya Mas Attala saat aku baru tiba dir kantornya."Alhamdulillah, lancar, Mas. Besok mungkin aku ambil jadwal pagi saja," balasku dengan tersenyum senang."Hmmm, baguslah. Aku tidak
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d