Aku terkejut saat mendengar mertuaku menanyakan kehamilanku. Tentu saja, ini sangat mengagetkan karena selama ini beliau tidak pernah menanyakan hal itu kepadaku."Mungkinkah saat ini ibu mertuaku sudah menginginkan cucu dari kami?" batin ku dalam hati. Melihat aku yang tampak sedih, Mas Attala segera menjawab pertanyaan ibunya. "Do'akan saja, Ma, supaya kami bisa secepatnya mendapatkan momongan. Kami tidak pernah menunda untuk urusan momongan kok, Ma," balas Mas Attala dengan merangkul diriku yang saat ini sudah terlihat bersedih. Aku merasa terharu oleh kepedulian suamiku itu, aku berharap setelah ini ada tanda-tanda kehamilanku."Belum isi juga? Tidak apa-apa, Mama selalu berdo'a untuk kalian berdua, semoga sebentar lagi mendapatkan momongan, Mama sudah tidak sabar untuk memiliki cucu dari kalian," balas ibu mertua yang seketika membuatku sedikit lega. "Terima kasih, Ma. Semoga do'a Ma diijabah segera oleh Yang Maha Kuasa," sahutku dengan mengaminkan do'a Mama. "Ya sudah, seba
Sejak mobil itu diambil oleh Rania, aku, Kalea, merasa sangat kesal dan hatiku seperti diremukkan olehnya, dia seolah mentertawakan diriku, yang bernasib buruk setelah berhasil merebut Mas Raka darinya."Kenapa nasibku jadi begini? Mengapa Mas Raka harus mengoper kreditkan mobil itu kepada dirinya?" gumamku dalam hati.Setiap hari tetangga selalu menanyakan keberadaan mobil itu dan aku merasa tidak enak dengan situasi ini. Seolah-olah aku harus menjelaskan semuanya kepada mereka, padahal ini adalah masalah pribadi antara aku dan Rania. Sementara itu, ibu mertuaku terus mempengaruhi pikiran Mas Raka, suamiku, agar mencari istri lain yang lebih kaya dan bisa memberikan keturunan untuk dirinya. Hatiku semakin sakit dan seperti ditusuk saat Mas Raka juga membandingkan diriku dengan Rania. Aku merasa tidak dihargai, bagai debu yang bisa terbuang begitu saja oleh angin."Raka, Minggu ini, aku ingin kamu bertemu dengan anak Bu Malik, putrinya janda setahun yang lalu, Bu Malik ingin mencari
Aku, Kalea, benar-benar terkejut mendengar ucapan Mas Raka kepadaku, betapa tega dia mengatakan itu padaku, terlebih dalam situasi seperti ini. "Apa? Kau menginginkan perpisahan ini, Mas?" tanyaku dengan menahan suara serak yang ingin keluar dari tenggorokanku. "Bukankah kau sendiri yang meminta untuk berpisah? Lantas, kenapa kau terkejut saat aku mengiyakan?" sahut Mas Raka, tatapannya sinis menembus hatiku. Kuusap air mata yang mulai menetes, rasanya sesak di dada saat mengenang betapa dulu kami saling mencintai. "Mas, tega sekali kamu kepadaku? Setelah menikmati diriku, kau buang aku begitu saja. Kau anggap diriku tak berguna lagi, ingin menikah lagi? Apakah kau lupa bagaimana dulu kau berlutut memohon kepadaku? Bagaimana kau tak sanggup untuk hidup sendiri, saat Rania pergi jauh dan akhirnya kucurahkan hati dan raga ini untuk memenuhi kebutuhanmu?" Ujar ku perlahan, menggigit bibir menahan tangis yang ingin pecah. Rasa kecewa dan sedih kian memenuhi hatiku. Apakah cinta ini s
Aku, Rania , terkejut saat tiba-tiba Mas Raka menyerahkan sebuah undangan pertunangannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku sama sekali tidak menyangka, mengingat dia masih berstatus suami dari mantan sahabatku, Kalea."Maaf, Mas, apa aku tidak salah dengar? Undangan pertunangan mu?" tanyaku sambil menatap wajah Mas Raka yang tampak tak berdosa. "Tidak, kamu tidak salah dengar. Baca saja undangan itu," jawab Mas Raka sambil tersenyum lebar. "Aku akan bertunangan dengan anak seorang saudagar kaya raya, dan aku diminta untuk mengurus usahanya setalah aku menikah dengan dirinya nanti. Mungkin sebentar lagi aku tidak akan bekerja di sini," katanya bangga.Aku benar-benar terkejut mendengar pengakuan Mas Raka. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku, membuatku merasa gelisah. "Apa Kalea mengetahui semua ini?" tanyaku dengan menatap wajahnya yang tanpa rasa bersalah. Entah mengapa, rasa cemas mulai memenuhi hatiku. Aku merasa seperti sedang terjebak dalam bayangan masa la
Aku, Kalea, tak pernah menyangka kalau hari ini Mas Raka memilih untuk menertawakan perasaanku di depan Rania, dia sengaja mengundang Rania ke sini untuk melihat bagaimana hancurnya diriku melihat suami yang aku rebut darinya kini akan bertunangan dengan wanita lain. Benar-benar tidak terduga bagaimana perasaan marah ini mulai menguasai hati dan pikiranku, saat mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Raka kepadaku. Kenapa dia mengundang Rania dalam acara tunangannya dengan wanita lain? Apa yang akan dipikirkan oleh Rania saat melihat semua ini?"Begitu dendamnya kah kamu padaku, Mas? Apa salahku hingga kau tega mempermainkan perasaanku? Kau tidak mempunyai hati, bahkan aku sudah mengijinkanmu untuk menikah lagi, kau dengan tega melukai hatiku saat ini." Aku bertanya sambil berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh dari pelupuk mataku. "Aku tak mau berlarut dalam drama ini, Kalea. Lebih baik kamu fokus pada pertunanganku dengan Andin daripada meratapi nasibmu sendiri," jawab Mas
Aku, Rania, tak dapat menahan rasa iba saat melihat Kalea yang saat itu sedang berusaha memberikan restu kepada suaminya, tapi sayangnya diabaikan begitu saja oleh suami dan mertuanya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan perasaan Kalea yang pasti terluka. Sejenak, aku teringat pernah berada di posisi yang sama, betapa hancur dan sakitnya melihat Mas Raka mengucapkan ijab qobul dengan perempuan lain yang tak lain adalah Kalea. "Apakah ini balasan dari Allah atas apa yang dia lakukan kepadaku saat itu? Sungguh aku merasa iba melihat dia berada di posisiku yang lebih parah lagi," gumamku dalam hati, mencoba mengingat tentang apa yang pernah aku alami dulu.Aku hanya bisa menyaksikan dan merasakan kepedihan yang dialami Kalea saat itu. Ia menangis, tapi tak ada satu orang pun yang bersimpati atau mencoba memahami perasaan yang menggelayutinya. Beberapa menit berlalu, sesi pemotretan keluarga berakhir, dan tak disangka-sangka, Mas Raka mendatangi diriku. Tanpa rasa bersalah, dia mem
Aku melihat Kalea tampak sedang menghampiri Mas Raka dan calon istrinya, menatap keduanya dengan api kemarahan secara bergantian. Kuamati calon istri Mas Raka itu, seperti ada sifat angkuh yang terpancar dari dirinya dan tatapan sinisnya ke arah Kalea saat itu. Kalea mencoba untuk tegar, dengan suara lirih ia berkata, "Selamat untukmu, Mas. Aku berharap kehidupan rumah tangga kalian akan berjalan dengan baik seperti yang kalian bayangkan." Rasa sakit di hatinya hampir saja menyembulkan air mata, tapi ia berhasil menahannya. Raka hanya terdiam, seperti tidak tahu harus berkata apa. Tangannya terulur saat istrinya ingin menyentuhnya."Terima kasih sudah memberikan ucapan selamat untuk kami, Mbak. Aku berharap Mbak juga bahagia menerima hubungan kami, karena kebahagiaan Mas Raka, hanya ada padaku," sahut Andin dengan tersenyum miring ke arah Kalea. Mendengar itu, seketika Kalea langsung mengarahkan pandangannya ke arah wajah Andin, emosinya sudah tak bisa dibendung lagi."Hanya wanit
Hari H pernikahan Mas RakaHari ini adalah hari pernikahan Mas Raka, semuanya sudah dipersiapkan secara sederhana, resepsi akan dilakukan tiga bulan lagi secara meriah di sebuah gedung hotel.Aku, Kalea, menyaksikan suamiku sudah rapi memakai stelan jas pengantin putih untuk acara ijab qobulnya.Sementara aku memakai pakaian hitam sebagai tanda aku berkabung dalam pernikahanku saat ini.Ibu mertuaku saat itu tidak setuju jika aku memakai gaun hitam untuk menghadiri pernikahan suamiku dengan maduku.Padahal, jauh hari, Andin sudah memberikan diriku sebuah gaun mewah berwarna putih yang akan aku gunakan untuk menghadiri ijab qobul suamiku dengannya. Namun, aku enggan untuk memakainya."Kamu itu kenapa pakai gaun hitam? Kamu pikir kamu sedang berkabung?" oceh Ibu mertuaku dengan menatap tajam ke arahku.Aku hanya terdiam dan mengacuhkan ocehan dari ibu mertuaku saat itu."Sudah benar-benar dibelikan gaun mahal-mahal oleh calon madumu, kamu malah memakai gaun ini,mau kamu itu apa, Kalea?
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d