Aku, Kalea, benar-benar terkejut mendengar ucapan Mas Raka kepadaku, betapa tega dia mengatakan itu padaku, terlebih dalam situasi seperti ini. "Apa? Kau menginginkan perpisahan ini, Mas?" tanyaku dengan menahan suara serak yang ingin keluar dari tenggorokanku. "Bukankah kau sendiri yang meminta untuk berpisah? Lantas, kenapa kau terkejut saat aku mengiyakan?" sahut Mas Raka, tatapannya sinis menembus hatiku. Kuusap air mata yang mulai menetes, rasanya sesak di dada saat mengenang betapa dulu kami saling mencintai. "Mas, tega sekali kamu kepadaku? Setelah menikmati diriku, kau buang aku begitu saja. Kau anggap diriku tak berguna lagi, ingin menikah lagi? Apakah kau lupa bagaimana dulu kau berlutut memohon kepadaku? Bagaimana kau tak sanggup untuk hidup sendiri, saat Rania pergi jauh dan akhirnya kucurahkan hati dan raga ini untuk memenuhi kebutuhanmu?" Ujar ku perlahan, menggigit bibir menahan tangis yang ingin pecah. Rasa kecewa dan sedih kian memenuhi hatiku. Apakah cinta ini s
Aku, Rania , terkejut saat tiba-tiba Mas Raka menyerahkan sebuah undangan pertunangannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku sama sekali tidak menyangka, mengingat dia masih berstatus suami dari mantan sahabatku, Kalea."Maaf, Mas, apa aku tidak salah dengar? Undangan pertunangan mu?" tanyaku sambil menatap wajah Mas Raka yang tampak tak berdosa. "Tidak, kamu tidak salah dengar. Baca saja undangan itu," jawab Mas Raka sambil tersenyum lebar. "Aku akan bertunangan dengan anak seorang saudagar kaya raya, dan aku diminta untuk mengurus usahanya setalah aku menikah dengan dirinya nanti. Mungkin sebentar lagi aku tidak akan bekerja di sini," katanya bangga.Aku benar-benar terkejut mendengar pengakuan Mas Raka. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku, membuatku merasa gelisah. "Apa Kalea mengetahui semua ini?" tanyaku dengan menatap wajahnya yang tanpa rasa bersalah. Entah mengapa, rasa cemas mulai memenuhi hatiku. Aku merasa seperti sedang terjebak dalam bayangan masa la
Aku, Kalea, tak pernah menyangka kalau hari ini Mas Raka memilih untuk menertawakan perasaanku di depan Rania, dia sengaja mengundang Rania ke sini untuk melihat bagaimana hancurnya diriku melihat suami yang aku rebut darinya kini akan bertunangan dengan wanita lain. Benar-benar tidak terduga bagaimana perasaan marah ini mulai menguasai hati dan pikiranku, saat mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Raka kepadaku. Kenapa dia mengundang Rania dalam acara tunangannya dengan wanita lain? Apa yang akan dipikirkan oleh Rania saat melihat semua ini?"Begitu dendamnya kah kamu padaku, Mas? Apa salahku hingga kau tega mempermainkan perasaanku? Kau tidak mempunyai hati, bahkan aku sudah mengijinkanmu untuk menikah lagi, kau dengan tega melukai hatiku saat ini." Aku bertanya sambil berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh dari pelupuk mataku. "Aku tak mau berlarut dalam drama ini, Kalea. Lebih baik kamu fokus pada pertunanganku dengan Andin daripada meratapi nasibmu sendiri," jawab Mas
Aku, Rania, tak dapat menahan rasa iba saat melihat Kalea yang saat itu sedang berusaha memberikan restu kepada suaminya, tapi sayangnya diabaikan begitu saja oleh suami dan mertuanya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan perasaan Kalea yang pasti terluka. Sejenak, aku teringat pernah berada di posisi yang sama, betapa hancur dan sakitnya melihat Mas Raka mengucapkan ijab qobul dengan perempuan lain yang tak lain adalah Kalea. "Apakah ini balasan dari Allah atas apa yang dia lakukan kepadaku saat itu? Sungguh aku merasa iba melihat dia berada di posisiku yang lebih parah lagi," gumamku dalam hati, mencoba mengingat tentang apa yang pernah aku alami dulu.Aku hanya bisa menyaksikan dan merasakan kepedihan yang dialami Kalea saat itu. Ia menangis, tapi tak ada satu orang pun yang bersimpati atau mencoba memahami perasaan yang menggelayutinya. Beberapa menit berlalu, sesi pemotretan keluarga berakhir, dan tak disangka-sangka, Mas Raka mendatangi diriku. Tanpa rasa bersalah, dia mem
Aku melihat Kalea tampak sedang menghampiri Mas Raka dan calon istrinya, menatap keduanya dengan api kemarahan secara bergantian. Kuamati calon istri Mas Raka itu, seperti ada sifat angkuh yang terpancar dari dirinya dan tatapan sinisnya ke arah Kalea saat itu. Kalea mencoba untuk tegar, dengan suara lirih ia berkata, "Selamat untukmu, Mas. Aku berharap kehidupan rumah tangga kalian akan berjalan dengan baik seperti yang kalian bayangkan." Rasa sakit di hatinya hampir saja menyembulkan air mata, tapi ia berhasil menahannya. Raka hanya terdiam, seperti tidak tahu harus berkata apa. Tangannya terulur saat istrinya ingin menyentuhnya."Terima kasih sudah memberikan ucapan selamat untuk kami, Mbak. Aku berharap Mbak juga bahagia menerima hubungan kami, karena kebahagiaan Mas Raka, hanya ada padaku," sahut Andin dengan tersenyum miring ke arah Kalea. Mendengar itu, seketika Kalea langsung mengarahkan pandangannya ke arah wajah Andin, emosinya sudah tak bisa dibendung lagi."Hanya wanit
Hari H pernikahan Mas RakaHari ini adalah hari pernikahan Mas Raka, semuanya sudah dipersiapkan secara sederhana, resepsi akan dilakukan tiga bulan lagi secara meriah di sebuah gedung hotel.Aku, Kalea, menyaksikan suamiku sudah rapi memakai stelan jas pengantin putih untuk acara ijab qobulnya.Sementara aku memakai pakaian hitam sebagai tanda aku berkabung dalam pernikahanku saat ini.Ibu mertuaku saat itu tidak setuju jika aku memakai gaun hitam untuk menghadiri pernikahan suamiku dengan maduku.Padahal, jauh hari, Andin sudah memberikan diriku sebuah gaun mewah berwarna putih yang akan aku gunakan untuk menghadiri ijab qobul suamiku dengannya. Namun, aku enggan untuk memakainya."Kamu itu kenapa pakai gaun hitam? Kamu pikir kamu sedang berkabung?" oceh Ibu mertuaku dengan menatap tajam ke arahku.Aku hanya terdiam dan mengacuhkan ocehan dari ibu mertuaku saat itu."Sudah benar-benar dibelikan gaun mahal-mahal oleh calon madumu, kamu malah memakai gaun ini,mau kamu itu apa, Kalea?
Aku, Kalea, tak sanggup menahan perasaan terpukul saat melihat betapa ibu mertuaku berhasil menguasai suamiku. Sebelumnya tak pernah kulihat Mas Raka sepenuhnya patuh kepada ibunya. Situasi ini akhirnya membuatku terpaksa duduk di depan bersama sopir, sementara Mas Raka dan ibu mertuaku duduk di belakang bersama. Begitu tampaknya kebahagiaan keduanya menyambut pernikahan ini, seolah penderitaanku tak berarti apa-apa bagi mereka. Aku merasakan amarah menyala-nyala di hati, begitu besar keinginanku untuk membalas perlakuan ini kelak. "Bagaimana kalian bisa dengan begitu gembira di atas penderitaan yang kualami? Aku akan membalas perbuatan kalian suatu harus nanti" bisikku dalam hati, sementara kedua tanganku berkobar-kobar, dipenuhi kebencian yang menyelimuti tubuh ini. Tak urung, wajah-wajah bahagia itu tetap menghantui benakku. Beberapa menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah wanita yang akan menjadi maduku. Begitu terkejutnya aku ketika menyaksikan rumah itu—sangat besar, s
Aku tak tahu apa sebenarnya maksud di balik dukungan yang diberikan Rania kepadaku saat ini. Namun, dalam hati, aku sempat berpikir apakah mungkin Rania ingin aku benar-benar berpisah dari Mas Raka, dan pada akhirnya aku akan menjalani hidup sebatang kara. "Siapa laki-laki yang mau menerima wanita yang dianggap tak berguna seperti diriku? Aku tidak akan bisa memberikan sebuah keturunan untuk suamiku nantinya, hanya Mas Raka yang saat ini mau menerima diriku menjadi istrinya, meskipun saat ini dia menikah lagi dengan wanita lain," keluhku dalam hati. Kusadari pikiranku mulai kacau, mencoba mencari solusi untuk dilema yang ku rasakan. Namun, aku enggan untuk menanggapi ucapan Rania secara langsung. Aku hanya merasa membutuhkan dukungan dari seseorang agar dapat kembali bangkit. "Terima kasih atas semangat yang kau berikan, Rania. Tapi, jangan harap aku akan rela melepaskan Mas Raka begitu saja. Aku akan bertarung untuk merebut kembali hatinya dari wanita tak tahu malu itu!" tegas ku