Aku tak tahu apa sebenarnya maksud di balik dukungan yang diberikan Rania kepadaku saat ini. Namun, dalam hati, aku sempat berpikir apakah mungkin Rania ingin aku benar-benar berpisah dari Mas Raka, dan pada akhirnya aku akan menjalani hidup sebatang kara. "Siapa laki-laki yang mau menerima wanita yang dianggap tak berguna seperti diriku? Aku tidak akan bisa memberikan sebuah keturunan untuk suamiku nantinya, hanya Mas Raka yang saat ini mau menerima diriku menjadi istrinya, meskipun saat ini dia menikah lagi dengan wanita lain," keluhku dalam hati. Kusadari pikiranku mulai kacau, mencoba mencari solusi untuk dilema yang ku rasakan. Namun, aku enggan untuk menanggapi ucapan Rania secara langsung. Aku hanya merasa membutuhkan dukungan dari seseorang agar dapat kembali bangkit. "Terima kasih atas semangat yang kau berikan, Rania. Tapi, jangan harap aku akan rela melepaskan Mas Raka begitu saja. Aku akan bertarung untuk merebut kembali hatinya dari wanita tak tahu malu itu!" tegas ku
Aku tidak menyangka bahwa suatu hari ibu mertua akan mengatakan padaku, "Kau hanya benalu, tak ubahnya beban bagi kami. Mulai besok, kau harus bekerja! Jangan pernah kamu meminta uang belanja kepada Raka! Mulia sekarang, uang belanjamu aku yang atur!" Seketika perasaanku hancur, betapa tidak, ibu mertua yang dahulu menyambutku dengan hangat, kini memandangku seolah aku ini makhluk terhina. Aku mulai merenungi, apa yang membuatnya berubah begitu drastis? Tidak mungkin hanya karena orang tuaku kehilangan harta dan tidak mampu lagi memberikan bantuan finansial seperti sebelumnya, bukan? Sejujurnya, aku sengaja merahasiakan kondisi keterpurukan ekonomi orang tuaku dari Mas Raka dan ibu mertua. Aku takut mereka akan menghina keluargaku yang telah kehilangan segalanya. Namun, rupanya ibu mertua sudah mengetahui semua itu, dan sikapnya berubah seketika. Aku merasa begitu tertekan dengan situasi ini.Dalam hati, aku bergumam, "Apa memang salahku sudah seperti benalu? Haruskah aku mencari
Ibu mertuaku menatapku dengan marah yang memuncak, mata yang penuh dendam. Aku tahu dia tak terima dengan apa yang baru saja aku sampaikan. Namun, rasa sakitku tidak bisa kutahan, saat menerima perlakuan mereka kepadaku.Tetiba tangan ibu mertuaku terangkat tinggi, dan dia arahkan tangannya ke arah wajahku dengan kertasnya.Plaaaak!Aku merasa wajahku terasa panas seolah-olah sepasang tapak tangan mendekat seperti pedang.Tamparan itu mendarat di wajahku, menimbulkan rasa sakit dan panas yang membakar di pipiku. Hatiku seketika terasa sakit karena tersentuh telapak tangan yang tak kuharapkan itu. Terlintas di benakku, "Apakah aku layak menerima ini? Mengapa mereka sangat tega memperlakukan aku seperti ini? Tak adakah karma yang sudah usai aku terima selama ini?""Ibu menamparku?" tanyaku sambil menahan air mata yang mengancam akan tumpah.Harapanku sebentar tadi pupus sudah, bagai tembok kokoh yang retak dan akan roboh kapan saja. "Iya, aku menamparmu! Beraninya kau mengatakan itu
Aku, Raka, terkejut saat mendengar keinginan istri mudaku saat ini, dia menginginkan Kalea dijadikan pelayan di rumah ini.Aku merasa sangat keberatan dengan keinginan Andin tersebut. "Aku tahu dia pernah membuat Andin sangat kesal, tetapi apakah memperlakukannya seperti itu tidak terlalu kejam?" batinku dalam hati. Aku tidak setega itu untuk memperlakukan Kalea sebagai pembantuku, apalagi saat ini dia harus menerima keputusan yang menyakitkan ini. "Kenapa perasaanku begitu terbelah? Apakah karena aku sebenarnya masih mencintai Kalea?" tanyaku pada diri sendiri. Sungguh tak tega rasanya jika aku terlalu kejam menyiksa dirinya, aku pun kini mencoba untuk merayu dirinya."Sayang, sebaiknya jangan seperti itu, dia juga istriku dan saat ini aku sudah mengurungnya ke kamar pelayan, sudah cukup dia menderita saat ini," bujukku dengan nada merayu. Andin menatap tajam ke arahku seolah dia tidak setuju dengan apa yang aku katakan saat itu. "Apa maksudmu, Mas? Kamu tidak setuju dengan usu
Entah mengapa, perasaan tak enak mulai menguasai pikiranku saat melihat wanita itu seperti sedang merayu suamiku. "Siapa sebenarnya wanita itu? Apa yang sedang dia lakukan dengan Mas Attala? Mungkinkah mereka sudah mengenal satu sama lain lebih dari yang kubayangkan?" bisik hatiku gelisah.Aku pun mencoba untuk tetap tenang, sembari mengawasi mereka dari kejauhan. Mas Attala tampak serius dengan pekerjaannya, seolah-olah wanita itu tidak ada di sisi itu. Sementara itu, wanita itu malah semakin berani dengan meletakkan telapak tangannya di paha suamiku. Rasa cemburu yang mendalam terasa menggigit relung hatiku, seakan tak bisa diredakan. "Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menghampiri mereka dan menegur Mas Attala? Atau biarkan saja demi tak mengganggu pekerjaan mereka saat ini?" rasa bimbang mulai menghantui pikiranku. Namun, satu hal yang pasti, aku harus menemukan kebenaran di balik perasaan cemburuku ini, demi kebahagiaan dan ketentraman pernikahan kami.Beberapa saat kem
Aku, Attala, merasa marah dan seketika aliran darahku mulai mendidih, ketika Anita dengan tiba-tiba menyahut dalam pembicaraan kami dan dengan santainya memperkenalkan dirinya sebagai mantanku di depan Rania. "Apa ini, sebuah rencana atau kebetulan saja dia ada di sini?" gumamku dalam hati. Rania pun terlihat sangat terkejut, matanya membulat tajam menatap Anita yang saat ini terlihat santai memperkenalkan dirinya sebagai mantanku."Apa? Mbak, mantan Mas Attala?" tanyanya dengan nada mulai emosi. "Iya, aku mantan Atta sejak kami kuliah dulu. Kami pacaran sudah cukup lama, tapi akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan sahabatnya. Beruntung aku dipertemukan kembali dengan dirinya saat ini, setelah statusku sudah menjadi janda," ujar Anita dengan senyuman sinis, seperti memancing situasi menjadi semakin memanas. Kuucap dalam hati, "Dia benar-benar ingin menciptakan masalah. Bahkan sekarang dia masih bisa membuatku jengkel seperti dulu, apa maksudnya dia mengatakan itu kepada Rani
Aku, Attala, menelan ludah dengan susah payah saat mendengar ucapan Rania tentang kehadiran Anita yang juga berpengaruh buruk bagi hubungan pernikahan kami.Pikiran buruk mulai menghantui benakku, jika itu memang terjadi, mengingat Anita memang seperti sedang menginginkan hubunganku dengan Rania berakhir. "Apakah benar Mas, jika Mbak Anita ingin menghancurkan hubungan kita?" Rania mengulang pertanyaannya kembali.Aku yang tak ingin semua itu terjadi, harus mulai mengantisipasinya lebih dulu, aku yakinkan Rania jika Anita juga perlu diwaspadai sebagai orang yang menginginkan hubungan pernikahan kami hancur."Iya, termasuk dia yang ingin hubungan kita berakhir, Sayang," jawabku tegas, mencoba menenangkan hatiku sekaligus menguatkan diri Rania.Rania terkejut mendengar apa yang aku katakan, dia tampaknya belum pernah terpikirkan bahwa Anita akan sampai melakukan itu. "Apa? Jadi, mbak Anita juga berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangga kita?" tanya Rania dengan wajah yang semakin c
Aku, Attala, menelan ludah dengan susah payah saat mendengar ucapan Rania tentang kehadiran Anita yang juga berpengaruh buruk bagi hubungan pernikahan kami.Pikiran buruk mulai menghantui benakku, jika itu memang terjadi, mengingat Anita memang seperti sedang menginginkan hubunganku dengan Rania berakhir. "Apakah benar Mas, jika Mbak Anita ingin menghancurkan hubungan kita?" Rania mengulang pertanyaannya kembali.Aku yang tak ingin semua itu terjadi, harus mulai mengantisipasinya lebih dulu, aku yakinkan Rania jika Anita juga perlu diwaspadai sebagai orang yang menginginkan hubungan pernikahan kami hancur."Iya, termasuk dia yang ingin hubungan kita berakhir, Sayang," jawabku tegas, mencoba menenangkan hatiku sekaligus menguatkan diri Rania.Rania terkejut mendengar apa yang aku katakan, dia tampaknya belum pernah terpikirkan bahwa Anita akan sampai melakukan itu. "Apa? Jadi, mbak Anita juga berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangga kita?" tanya Rania dengan wajah yang semakin c