Baru saja pintu dibuka Bram langsung mencerca istrinya dengan pertanyaan beruntun. Pakaian serba minim yang dipakai Laura, tak membuat Bram urungkan emosi. Tahu suaminya emosi, Laura tampak berpikir keras, mencari cara agar suaminya itu mengurungkan diri untuk menghempaskan amarah padanya."Tenang, Lau. Tenang ... semua akan baik-baik saja," batinnya.Laura tampak mengatur napas. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek 'kan?" tanya Laura basa-basi setelah dirinya menutup pintu utama. Kemudian, menarik tubuh Bram untuk duduk di kursi. Dia pun memulai aksinya dengan memijit pundak Bram."Lepaskan! Aku tidak butuh! Kamu jawab saja!" teriak Bram sembari menyentak kasar tangan Laura. Dia bangkit dan menatap Laura dengan tajam."Iya, aku ketemu. Di supermarket dekat sekolahnya, Devina. Mau cari daging tenderloin, Mas. Kan Mas tahu sendiri, di pasar tradisional mana ada daging mahal itu." Alasan yang sama sekali tidak masuk diakal.Kini, Laura tentu sudah tahu celah untuk menghadapi Bram yang agak
Laura terperanjat. Seketika terduduk. Melihat Laura yang heran, "Kamu ngapain? Tumben?" Bram pun melanjutkan aksinya. Dia memeluk Laura dengan erat sambil berkata …Laura yang masih mengumpulkan nyawa tak menolak sedikitpun, dia hanya pasrah."Loh, kok kamu kaget, Sayang. Mas mau minta maaf karena udah kasar dan berubah sikap sama kamu akhir-akhir ini. Maaf, ya," ucapnya dengan suara rendah, kemudian melepaskan pelukan itu dengan pelan.Jantung Laura seketika berdegup tak beraturan. Satu sisi dia grogi tapi sisi lain dia …"Kenapa dia jadi berubah seperti ini. Jangan-jangan … apa dia beneran sadar atau ada sesuatu yang sedang dia rencanakan? Hmm … tapi … aku sepertinya tidak boleh melewatkan kondisi ini," ungkap Laura dalam hati.Laura terkesiap, saat Bram mengguncang tubuhnya saat dia melamu. "Lau … Laura … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Kok melamun gitu?""Oh nggak, kok, Mas. Aku cuma agak gimana aja gitu, pas denger yang mas katakan.""Iya, Sayang. Agak aneh ya. Cuma setelah aku pi
Meski kesal, Bram langsung beranjak dari duduknya. "Pak, nanti ada meeting pukul sepuluh dengan Bapak Santoso," ucap Shintia saat Bram keluar dari ruangan.Bukannya merespon ucapan Shintia, Bram malah balik bertanya pada sekretarisnya yang masih gadis itu. "Bapak Arjuna ada nelpon kamu lagi nggak?" tanyanya memastikan.Shintia mencoba mengingat tak lama kemudian, "Tadi sih nggak ada, Pak. Tapi …," Belum selesai Shintia berbicara, Bram langsung memotong pembicaraannya."Kenapa kemarin?" desak Bram dengan mata menatap tajam. Namun, belum sempat Shintia menjawab, dering ponsel Bram di saku celana sudah berdering nyaring."Huuffttt … untung teleponnya berdering di waktu yang tepat! Kalau tidak …," ucap Shintia dalam hati."Ya, Pak." Bram menjawab sambungan telepon dari Arjuna sambil melanjutkan langkah. Tak dia hiraukan lagi penjelasan yang belum selesai dari Shintia."Dimana kamu?""Saya sedang menuju kesana, Pak."Bram mempercepat langkah meski di dalam dadanya terasa sesak. Emosi yang b
Mata Devina tampak berbinar menatap layar ponsel. Seulas senyum pun terukir manis di bibir tipis merah jambu itu. Dia tampak menyisir pandangannya terutama ke arah pintu kamar utama."Halo, Oom Ganteng," sapa Devina ramah, tapi sambil berbisik. Tanpa memanggil Ratna, dia putuskan mengangkat telepon dari Arjuna. Ada semilir kenyamanan di hati Devina jika berurusan dengan berparas tampan ini."Hai, Cantik. Kok bisik-bisik? Mama mana?" Arjuna tak kalah ramahnya dalam berujar dengan Devina."Jangan keras-keras, Om. Nanti mama dengar. Mama lagi di kamar mandi. Mama nggak tahu kalau Nana angkat. Oom jangan bilang-bilang mama, ya!" ancam Devina, tetap dengan berbisik dia menjelaskan.Supaya selaras dengan Devina, Arjuna pun menyahuti dengan ikut berbisik. "Hmm … begitu. Okeey, Oom janji. Nana lagi apa?""Lagi nonton aja, Om. Oh iya, Oom ganteng, weekend ini Nana sama mama mau pulang kampung lho," pamer Devina semangat."Wah, ada keperluan apa memangnya di kampung, Na?""Nggak ada sih, Om. Cu
Setelah mengunci pintu utama, barulah Ratna sadar kalau putri cantiknya itu sedang tidak baik-baik saja. Devina tertunduk dalam. Dia berdiri di pojok teras. Dia pun menghampiri Devina."Nana … kenapa? Kok jadi nggak semangat seperti ini?" Ratna bertekuk lutut dan memegang kedua tangan mungil putri tercinta."Nana nggak kenapa-kenapa, kok, Ma." Suara pelan sedikit serak pun terdengar. Bersamaan dengan bulir bening yang jatuh. Tak bisa dicegah lagi, air mata yang menggenangi luruh juga. Tangisnya pecah.Tanpa bertanya lagi, Ratna pun memeluk erat tubuh Devina yang cukup berisi ini. Dia berikan pelukan hangat yang senyaman mungkin. Tak berapa lama, saat isakan tangis Devina mulai reda, barulah Ratna melepaskan pelukannya seraya mengusap pelan air mata yang masih tersisa di pipi mulus Devina."Ada yang salah dengan mama, Na? Apa Devina marah karena mama desak tadi?" Ratna mencoba menerka-nerka. Ratna memang sedikit panik, karena takut kesiangan sampai di Bandung. Apalagi jika menggunakan t
Satu jam perjalanan, Arjuna menepikan mobil sportnya di sebuah restoran. Meski Ratna meminta untuk tidak mampir, Arjuna tetap bersikeras. Tentu, bukan tanpa alasan Ratna menolak. Selain terkesan merepotkan, Ratna ada sesuatu yang dia takutkan.Mobil yang mengikuti mobil Arjuna pun ikut menepi. Dia memarkir agak terpisah oleh empat kendaraan lainnya. Tak lama Arjuna, Ratna, dan Devina masuk. Dia pun ikut masuk ke dalam restoran itu. Hanya saja dia memilih untuk duduk di lantai satu, sedangkan Ratna, Arjuna, dan Devina memilih menikmati hidangan di lantai dua."Nana mau makan apa? Pesan aja! Biar kenyang dalam perjalanan apalagi Jakarta-Bandung macet kalau akhir pekan begini," jelas Arjuna saat Devina membaca buku menu yang diberikan pelayan.Devina memperlihatkan tanda oke dengan tangan kanannya pada Arjuna. Tak lupa senyuman manis selalu tersematkan saat dia menatap Arjuna. "Oke, Oom ganteng. Nana sih nggak masalah macet, biar bisa lama-lama di perjalanan," celetuk Devina polos tanpa
Pergerakan Arjuna dan Ratna hampir bersamaan berhenti. Kemudian, mereka sama-sama menoleh ke sumber suara tak jauh terdengar di belakang. Mata keduanya terbelalak sempurna menatap lelaki berpakaian serba hitam itu yang perlahan membuka kacamata dan masker secara bergantian."Mas Bram," sentak Ratna kaget bukan main. Dia melirik pada Arjuna. Mereka beradu pandang."Bram? Kenapa dia bisa di sini?" Arjuna turut bertanya-tanya meski dalam batin saja.Bram berjalan mendekat dengan seulas senyum yang sulit diartikan. Gurat wajahnya tampak lentur tak mengisyaratkan amarah sama sekali.Ratna berusaha bersikap biasa-biasa saja. Meski kehadiran Bram sangat tidak dia inginkan saat ini. "Mas Bram juga di sini?" tanya Ratna."Ya, seperti yang kamu liat, Rat," sahutnya sembari melirik Ratna dan Arjuna bergantian."Suatu kebetulan ya, Pak. Kita bisa bertemu di sini," tambah Bram kemudian."Ya … kebetulan yang pas," balas Arjuna santai."Anda itu manusia licik Arjuna, berkedok pahlawan di depan Ratna
Melihat Devina mengalihkan pandangan pada Ratna, Bram pun seolah paham."Bisa banget kamu ngambil kesempatan ini, Mas!" umpat Laras dalam hati. Kehadiran Bram sangat mengganggu relung hatinya. Dan, bukan semata karena ada Arjuna."Gimana, Rat? Boleh aku ajak Devina makan siang bareng? Mumpung juga soalnya," ucap Bram dengan nada memelas. Parahnya, dia malah tidak menawari Ratna dan Arjuna untuk ikut. Bram melirik sekilas pada Arjuna. Mata keduanya beradu pandang, penuh arti."Ya, nggak masalah kalau hanya sekedar makan siang, Mas. Soalnya aku juga mau istirahat lepas itu," sahut Ratna agak berat.Perempuan manapun memang akan sulit melupakan apa yang pernah diperbuat oleh orang yang pernah dia sayang. Menerima pasangannya dari bukan siapa-siapa, menerima pahit saat bersama, serta perlakuan mertua yang seenak hati saat anaknya sukses, memang butuh waktu untuk melupakan perlakuan buruk itu semua. Terlebih hal itu sangat menyakitkan bagi Ratna, dia terima setiap hari selama bertahun-tahu