Kali pertama nih ya, Ratna makan bareng Arjuna
Setelah memarkir kendaraannya, Arjuna kembali melakukan hal yang sama. Pertama-tama, Ratna bisa memaklumi cara Arjuna memperlakukannya. Otaknya masih mencerna kali pertama pasca sidang cerainya dengan Bram.Memang ada gejolak yang dia rasakan, apalagi Arjuna tak berubah, pandai memperlakukan perempuan selayaknya. Namun, dia berusaha menepis gejolak yang sempat singgah. Jelas ada beberapa alasan, terutama rasa trauma akan pernikahan masih melekat di sanubarinya."Ingat, Rat. Tidak semua perlakuan istimewa selalu disanjung," bisiknya dalam hati, bersamaan turun dari mobil dan menatap Arjuna sekilas. Ratna ingin menegaskan kembali prinsip pada dirinya yang sempat pudar karena menerima Bram apa adanya dulu.Kadang perlu berterima kasih pada rasa trauma yang masih ada karena bisa menjadi benteng diri agar lebih berhati-hati dan tidak gampang menaruh simpati ataupun berlebihan menganggumi seseorang, salah satu prinsip yang muncul saat Ratna dikecewakan oleh orang yang pernah dia yakini tidak
Seorang lelaki berjalan masuk ke dalam restoran. Salah satu diantara mereka sangat dikenal oleh Ratna, malah lelaki itu pernah menjadi tambatan hati Ratna hampir sembilan tahun lamanya."Ratna," sentak Bram. Dia sangat kaget mendapati Ratna dengan atasannya sendiri keluar dari restoran mahal. Dan, seolah yang terjadi masa lalu terkoneksi di otaknya, bahwa selama pernikahan dirinya tak pernah mengajak Ratna menikmati hidangan di sini."Mas Bram!" Setelah menyapa Bram, Ratna sempat menoleh ke Arjuna sebentar.Bram menoleh pada Arjuna, emosi bercampur takut. Takut? Kenapa dia harus takut?Tiba-tiba salah seorang lelaki yang umurnya sepantaran, menepuk pundak Bram. Bram pun menoleh ke belakang. "Lho, Bro. Kok berhenti di sini. Ayo masuk!" ajak Heru. Rupanya Bram datang ke restoran mewah ini tidak sendirian. Melainkan dengan teman-temannya."Lu duluan aja, nanti gue susul," sahut Bram. Wajahnya yang ketika sampai agak berseri, berubah 108° ketika dirinya melihat Ratna dan Arjuna."Sip, nant
Baru saja pintu dibuka Bram langsung mencerca istrinya dengan pertanyaan beruntun. Pakaian serba minim yang dipakai Laura, tak membuat Bram urungkan emosi. Tahu suaminya emosi, Laura tampak berpikir keras, mencari cara agar suaminya itu mengurungkan diri untuk menghempaskan amarah padanya."Tenang, Lau. Tenang ... semua akan baik-baik saja," batinnya.Laura tampak mengatur napas. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek 'kan?" tanya Laura basa-basi setelah dirinya menutup pintu utama. Kemudian, menarik tubuh Bram untuk duduk di kursi. Dia pun memulai aksinya dengan memijit pundak Bram."Lepaskan! Aku tidak butuh! Kamu jawab saja!" teriak Bram sembari menyentak kasar tangan Laura. Dia bangkit dan menatap Laura dengan tajam."Iya, aku ketemu. Di supermarket dekat sekolahnya, Devina. Mau cari daging tenderloin, Mas. Kan Mas tahu sendiri, di pasar tradisional mana ada daging mahal itu." Alasan yang sama sekali tidak masuk diakal.Kini, Laura tentu sudah tahu celah untuk menghadapi Bram yang agak
Laura terperanjat. Seketika terduduk. Melihat Laura yang heran, "Kamu ngapain? Tumben?" Bram pun melanjutkan aksinya. Dia memeluk Laura dengan erat sambil berkata …Laura yang masih mengumpulkan nyawa tak menolak sedikitpun, dia hanya pasrah."Loh, kok kamu kaget, Sayang. Mas mau minta maaf karena udah kasar dan berubah sikap sama kamu akhir-akhir ini. Maaf, ya," ucapnya dengan suara rendah, kemudian melepaskan pelukan itu dengan pelan.Jantung Laura seketika berdegup tak beraturan. Satu sisi dia grogi tapi sisi lain dia …"Kenapa dia jadi berubah seperti ini. Jangan-jangan … apa dia beneran sadar atau ada sesuatu yang sedang dia rencanakan? Hmm … tapi … aku sepertinya tidak boleh melewatkan kondisi ini," ungkap Laura dalam hati.Laura terkesiap, saat Bram mengguncang tubuhnya saat dia melamu. "Lau … Laura … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Kok melamun gitu?""Oh nggak, kok, Mas. Aku cuma agak gimana aja gitu, pas denger yang mas katakan.""Iya, Sayang. Agak aneh ya. Cuma setelah aku pi
Meski kesal, Bram langsung beranjak dari duduknya. "Pak, nanti ada meeting pukul sepuluh dengan Bapak Santoso," ucap Shintia saat Bram keluar dari ruangan.Bukannya merespon ucapan Shintia, Bram malah balik bertanya pada sekretarisnya yang masih gadis itu. "Bapak Arjuna ada nelpon kamu lagi nggak?" tanyanya memastikan.Shintia mencoba mengingat tak lama kemudian, "Tadi sih nggak ada, Pak. Tapi …," Belum selesai Shintia berbicara, Bram langsung memotong pembicaraannya."Kenapa kemarin?" desak Bram dengan mata menatap tajam. Namun, belum sempat Shintia menjawab, dering ponsel Bram di saku celana sudah berdering nyaring."Huuffttt … untung teleponnya berdering di waktu yang tepat! Kalau tidak …," ucap Shintia dalam hati."Ya, Pak." Bram menjawab sambungan telepon dari Arjuna sambil melanjutkan langkah. Tak dia hiraukan lagi penjelasan yang belum selesai dari Shintia."Dimana kamu?""Saya sedang menuju kesana, Pak."Bram mempercepat langkah meski di dalam dadanya terasa sesak. Emosi yang b
Mata Devina tampak berbinar menatap layar ponsel. Seulas senyum pun terukir manis di bibir tipis merah jambu itu. Dia tampak menyisir pandangannya terutama ke arah pintu kamar utama."Halo, Oom Ganteng," sapa Devina ramah, tapi sambil berbisik. Tanpa memanggil Ratna, dia putuskan mengangkat telepon dari Arjuna. Ada semilir kenyamanan di hati Devina jika berurusan dengan berparas tampan ini."Hai, Cantik. Kok bisik-bisik? Mama mana?" Arjuna tak kalah ramahnya dalam berujar dengan Devina."Jangan keras-keras, Om. Nanti mama dengar. Mama lagi di kamar mandi. Mama nggak tahu kalau Nana angkat. Oom jangan bilang-bilang mama, ya!" ancam Devina, tetap dengan berbisik dia menjelaskan.Supaya selaras dengan Devina, Arjuna pun menyahuti dengan ikut berbisik. "Hmm … begitu. Okeey, Oom janji. Nana lagi apa?""Lagi nonton aja, Om. Oh iya, Oom ganteng, weekend ini Nana sama mama mau pulang kampung lho," pamer Devina semangat."Wah, ada keperluan apa memangnya di kampung, Na?""Nggak ada sih, Om. Cu
Setelah mengunci pintu utama, barulah Ratna sadar kalau putri cantiknya itu sedang tidak baik-baik saja. Devina tertunduk dalam. Dia berdiri di pojok teras. Dia pun menghampiri Devina."Nana … kenapa? Kok jadi nggak semangat seperti ini?" Ratna bertekuk lutut dan memegang kedua tangan mungil putri tercinta."Nana nggak kenapa-kenapa, kok, Ma." Suara pelan sedikit serak pun terdengar. Bersamaan dengan bulir bening yang jatuh. Tak bisa dicegah lagi, air mata yang menggenangi luruh juga. Tangisnya pecah.Tanpa bertanya lagi, Ratna pun memeluk erat tubuh Devina yang cukup berisi ini. Dia berikan pelukan hangat yang senyaman mungkin. Tak berapa lama, saat isakan tangis Devina mulai reda, barulah Ratna melepaskan pelukannya seraya mengusap pelan air mata yang masih tersisa di pipi mulus Devina."Ada yang salah dengan mama, Na? Apa Devina marah karena mama desak tadi?" Ratna mencoba menerka-nerka. Ratna memang sedikit panik, karena takut kesiangan sampai di Bandung. Apalagi jika menggunakan t
Satu jam perjalanan, Arjuna menepikan mobil sportnya di sebuah restoran. Meski Ratna meminta untuk tidak mampir, Arjuna tetap bersikeras. Tentu, bukan tanpa alasan Ratna menolak. Selain terkesan merepotkan, Ratna ada sesuatu yang dia takutkan.Mobil yang mengikuti mobil Arjuna pun ikut menepi. Dia memarkir agak terpisah oleh empat kendaraan lainnya. Tak lama Arjuna, Ratna, dan Devina masuk. Dia pun ikut masuk ke dalam restoran itu. Hanya saja dia memilih untuk duduk di lantai satu, sedangkan Ratna, Arjuna, dan Devina memilih menikmati hidangan di lantai dua."Nana mau makan apa? Pesan aja! Biar kenyang dalam perjalanan apalagi Jakarta-Bandung macet kalau akhir pekan begini," jelas Arjuna saat Devina membaca buku menu yang diberikan pelayan.Devina memperlihatkan tanda oke dengan tangan kanannya pada Arjuna. Tak lupa senyuman manis selalu tersematkan saat dia menatap Arjuna. "Oke, Oom ganteng. Nana sih nggak masalah macet, biar bisa lama-lama di perjalanan," celetuk Devina polos tanpa
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.