"Tolong … hok … hok ….""Tolong ….""Saya disini, terjebak." Terdengar suara parau disela asap yang masih saja berkeliaran di bangkai pesawat."Arjuna … tolong mami …."Dengan sisa tenaga yang dipunya, Shanti tanpa lelah terus menyeru meminta tolong. Dalam pikirannya, dirinya sudah menyeru sekeras mungkin, padahal kenyataannya sama sekali tak terdengar. Belum lagi suaranya pelan dan parau itu terkalahkan oleh suara hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk di luar. Menyelamatkan para korban yang sempat lolos dari kobaran api."Ya Allah, beri hamba kesempatan," rintihnya berderai air mata. Wajah cantik nan glowing tak berbentuk. Beberapa sisi penuh luka, darah yang seharusnya merah tak ditemukan di wajahnya, sudah bercampur dengan sisa bakaran bangkai pesawat.Shanti benar-benar tak berdaya, lebih dari enam jam menahan sakit, akibat terperangkap, terjebak di bawah bangku bagian depan."Mami disini Arjuna …."Di bagian depan pesawat para tim SAR masih menjajaki bangkai pesawat yang sudah berha
Shanti tampak susah payah membuka matanya. Awalnya blur perlahan menjadi terang."Dimana saya?" rintihnya menahan sakit, seraya menoleh ke kanan ke kiri. Menyisir pandangan yang terbatas karena ditutupi dengan tirai pemisah. Detik kemudian, barulah Shanti sadar jika dirinya selamat dari ajal. Dan dia …"Alhamdulillah Ya Allah, atas pertolonganmu," ucapnya bersyukur. Dalam rasa syukurnya, Shanti mencoba mencari tahu anggota bagian tubuhnya yang mana nyeri hebat. Dia menggerakkan kedua tangan, meraba wajahnya, akan tetapi tak ditemukan satupun perban di sana. Hanya terasa perih karena beberapa titik di wajahnya itu baret-baret kecil.Namun, saat mencari bagian mana yang perih, barulah Shanti sadar jika bagian pinggang hingga ujung kakinya tak bisa digerakkan."Toloooong …," pekiknya menggelegar."Dokteeeerrr … Susteeeeerrr … tolooong …."Mendengar suara histeris Shanti, salah satu perawat pun berlari ke sumber suara."Ibu sudah sadar," ucap sang perawat dengan napas tersengal-sengal."K
Saat Shanti menarik-narik dengan kuat, tiba-tiba perawat datang membuat sebuah suntik yang sudah berisi cairan, dan menyuntikkan obat tersebut ke bahu kanan Shanti. Dan, beberapa detik kemudian, obat tersebut langsung bekerja. Shanti yang tadinya begitu tempramen, tampak tenang "Semoga obat ini bisa membuat pasien lebih tenang dan bisa juga beristirahat," ucap dr. Salsa."Banyak-banyak berdoa ya, Bu. Semoga Allah berikan ibu kemudahan dan kelapangan hati. Sekarang ibu istirahat."Shanti mengangguk pasrah, tak lagi berontak seperti tadi."Saya tinggal dulu." Dr. Salsa dan perawatnya bersamaan meninggalkan Shanti."Identitasnya juga tidak ada bu. Harusnya kita sudah bisa lapor," ucap perawat."Harusnya begitu, hanya saja, ketenangan pasien tersebut lebih diutamakan saat ini. Jangan sampai dia depresi berat." Kemudian, keduanya berpencar sesuai tugas masing-masing.Kurang lebih tiga puluh menit merasa tenang, Shanti pun tertidur. Jika tidak ada kondisi lain, Shanti bisa tudur dengan pul
"Nanti kami jelaskan jika bapak sudah di sini," sahut perawat singkat dan detik kemudian perawat tersebut berpamitan untuk menutup telepon.Dibalik leganya mendengar maminya selamat maut, sisi lain yang tak bisa diredam, debar jantung Arjuna semakin tidak karuan. Terbayang sudah hal paling buruk di benaknya."Tidak … Tidak … Jangan sampai hal buruk itu terjadi," gumamnya menepis bayangan buruk tadi."Yang penting mami selamat."Arjuna membangunkan Pak Sobri yang ternyata sudah terlelap tak lama mereka saling mengelak untuk tidak beristirahat."Pak … Pak … bangun …!" Arjuna memukul pelan bagian kaki Pak Sobri, akan tetapi lelap yang menyelimuti tak mampu membuat Pak Sobri terjaga.Dia mengulang memanggil hingga tiga kali banyaknya, tetap saja tak membuahkan hasil.Akhirnya, Arjuna memutuskan untuk bangkit dari sofa, bertolak ke kamar mandi untuk cuci muka. Kemudian, dia ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Tidak mungkin sekali terbang ke Jogja dalam keadaan kumal dan bau keringat seper
Belum sempat terlontar pertanyaan dari mulut Arjuna setelah melihat secara langsung keadaan Shanti, sang perawat sudah langsung mengambil sikap."Mari ikut saya, Pak. Ada dokter yang lebih berkompeten menjelaskan."Mbak, Anda itu sengaja membuat saya semakin panik, ya? Kenapa saya nggak dari tadi dipertemukan dengan dokternya. Kalau begini sama saja buang energi saya. Kini suara Arjuna sudah mulai sedikit lantang.Kurang tidur, belum makan, ditambah lagi diperlakukan seperti itu membuat Arjuna tak bisa lagi sabar menghadapi situasi.Tahu keluarga pasien yang ditanganinya itu semakin panik hingga mengeluarkan suara yang lebih vokal, perawat itu pun meminta maaf."Maaf, Pak. Bukan berniat membuat keruh dan panik, tapi biarlah yang kompeten menjelaskan ke bapak. Saya tadi begitu, biar bapak nggak shock saja. Sekali lagi saya minta maaf."Perawat itu mengetuk pintu ruangan dokter yang menangani Shanti."Permisi, Dok." Disertai dengan ketukan pintu."Anak dari pasien atas nama Ibu Shanti s
"Anak ibu sudah sampai di sini, sekarang sedang sarapan di kantin," jelas perawat.Tadi, saat berpapasan di dekat IGD, Arjuna sempat berpesan pada perawat."Mbak lagi nggak bohongin saya 'kan?""Mana mungkin saya bohong, Bu. Selepas saya mint nomor hapenya sama ibu, saya langsung hubungi."Mata Shanti yang tadinya penuh kecewa, berubah berbinar karena haru."Suruh dia kesini, Mbak! Saya nggak sabar ingin bertemu." Shanti memegang tangan perawat itu dengan tatapan penuh harap."Iya, akan saya telepon, tapi ibu harus semangat buat sembuh, biar kita sama-sama klop berjuangnya, gimana?""Iya, saya janji."Perawat itupun merogoh ponsel dari saku bajunya, kemudian menghubungi Arjuna melalui ponsel pribadinya."Halo, Pak. Saya ingin memberitahu jika ibu sudah bangun.""Oh, oke. Saya segera kesana."Detik itu juga Arjuna langsung membayar dan bertolak ke ruangan IGD. Dalam hatinya jelas tak sabar ingin segera bertemu Shanti."Miii …," panggilnya seraya menyibak tirai.Shanti menoleh bersamaan
Semenjak pertanyaan Shanti itu, Arjuna memang tak banyak bicara. Bukan pertanda marah, hanya saja dia dihantui oleh pikiran bagaimana jika Shanti pergi secepat ini. Sebagai anak, masih ada rasa tidak siapnya.Saat mendorong brankar Shanti dari kamar inap menuju ruangan CT-scan pun Arjuna masih dingin. Sesampainya di ruangan yang dituju, hanya Shanti yang diperbolehkan masuk, sedangkan Arjuna menunggu di luar.Terbesit pikirannya untuk memberi tahu kakak dan adiknya, karena jika benar umur Shanti singkat, Arjuna jelas merasa bersalah karena menunda-nunda memberi kabar, meskipun itu kabar buruk."Halo, Kak," sapanya saat telepon tersambung, Arjuna tengah duduk sedikit membungkuk di kursi tunggu."Heh, kamu. Tumben nelpon?"Sebelum memberitahu keadaan Shanti, Arjuna terlebih dahulu berbasa-basi."Jadi kamu ada apa nelpon? Pasti ada sesuatu 'kan?" tembak Sonia tak sabar."Iya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kakak.""Sesuatunya itu apa? Kakak nggak bisa lama-lama nelponannya.""Ka
Mendekati adzan Ashar Lidya dan Santoso sampai di rumah sakit, Lidya pun menghubungi Arjuna,"Aku sama papi udah di parkiran, mas dimana?""Kamu disuruh Kak Sonia?""Iya, Mas. Kirim ke aku nomor kamar mami dirawat!""Papi gimana?""Aman. Kirim cepat, Mas!"Begitu sambungan terputus, Arjuna lekas mengirim nomor kamar inap Shanti. Dan, Lidya serta Santoso pun bergegas menuju kamar Shanti."Papi udah siap segala kemungkinan buruk soal mami?" tanya Lidya saat berjalan."Siap, tapi semoga kondisi mami kamu nggak parah.""Ya, semoga saja, Pi.Lidya dan Santoso berhenti di sebuah kamar VVIP No. 2 sesuai dengan yang diberikan Arjuna."Ini kamarnya, Pi," ucap Lidya.Lidya pun mengetuk pintu.Tok … Tok … Tok …Saat pintu terketuk, Arjuna dan Shanti hampir bersamaan menoleh ke sumber suara."Siapa itu, Ar?" tanya Shanti."Hmmm …." Belum tuntas Arjuna menjawab, rupanya Lidya sudah lebih dulu membuka pintu."Mamiiii …!" Lidya berlari seiring dengan bulir bening yang turun dari bola matanya."Lidya