POV LisaKedua bola mataku memutar dengan malas, "Ih, Mama cerewet amat! Lagian Lisa baru minggu ini.""Kata siapa? Dari dulu, sejak kamu masih sekolah, Mama yang beresin kamarmu. Coba kalau kamu bantuin Mama, mungkin Mama tidak akan kecapekan terus setiap hari.""Kenapa sih, Mak, akhir-akhir ini bawel banget!""Kamu tuh diberitahu malah marah balik. Cepat ke dapur bantuin Mama!""Ogah, ah. Kita mesan aja, Ma, lewat online. Tadi, Lisa lihat status di aplikasi ijo ada yang lagi post ketoprak. Ketoprak Mas Siswo selalu habis kalau kita tidak mesan segera. Minggu lalu Mas Adnan udah ngirimin duit 'kan?""Lisa! Sampai kapan kamu gini terus? Kemarin kamu sudah mesan. Kamu itu harus membiasakan diri untuk memasak dan menyiapkan makanan. Kalau kamu nikah, gimana mau nyiapin makanan untuk suami dan anak-anakmu nanti.""Aduh, Mak. Itu perkara gampang! Lisa tinggal mesan lewat online. Ribet amat! Lagian Lisa bisa belajar nanti. Udah, ah, mana duitnya Lisa udah mesan. Makanannya udah mau tiba."
"Naya gak mau pulang. Maunya ketemu ayah dulu!" ucap Naya cemberut diikuti dengan bibirnya membentuk cekung."Mama pasti kabari Naya, kalau ayah sudah tiba. Kita harus balik sekarang. Minggu depan kita akan ke sini lagi, Ok?" Aku berusaha membujuknya terus agar mau mengikuti saranku. Hingga akhirnya, dia pun mau meskipun dengan berat hati mengikutiku berjalan menuju pintu kamar. Aku membuka pintu dan menuntun Naya keluar. "Mba Jihan mau pulang?" Lisa, iparku mendekati kami sambil menyunggingkan senyum."Iya, tolong sampaikan ke Ibu dan bapak, kami mau pamit.""Iya, nanti Lisa sampaikan." Dia terlihat sangat ramah hari ini. Entah apa yang terjadi dengannya hari ini.Entah kenapa, melihatnya tersenyum sambil menjawab ucapanku terasa ada yang pilu di hati ini. "Naya, semoga cepat sehat, ya, Nak!" ucapnya sambil membungkuk ke Naya kemudian berdiri kembali."Telima kasih, Tante.""Mau aku panggilkan taksi?" Wanita yang masih dengan piyama itu menawarkan bantuan ke kami."Tidak perlu, Li
"Semoga bisa bertemu, ya, Bu. Ibu harus kuat dan tabah kalau kenyataannya sesuai dengan dugaan beberapa hari ini.""Terima kasih, Mba."Mba Tina–tetanggaku di kampung. Ia aku ajak ke sini untuk bekerja bersamaku. Ia sudah aku anggap seperti sahabat dan juga adik sendiri, meskipun usia kami terpaut satu atau dua tahun. kepadanya tempat aku bercerita segala sesuatu."Bagaimana dengan pemesanan katering?" tanyaku."Alhamdulillah berjalan lancar, Bu.""Alhamdulillah, baguslah, senang mendengarnya! Aku percayakan semuanya ke Mba Tina." "Baik, Bu." Ia mengangguk. Aku mulai meraih tas dan berjalan keluar kemudian langsung menuju taksi yang telah menunggu di luar. Aku tidak ingin menunggu lagi untuk segera ke rumah Mas Adnan. Setelah menunjukkan alamat yang aku maksud, taksi driver membawaku ke alamat tujuan. Aku sangat was-was bila alamat yang aku tuju adalah benar alamat Mas Adnan. Pikiranku banyak dihinggapi praduga yang tidak menentu. Aku sudah memutuskan untuk memperjelas masalah ini
"Jihan! Aku bisa jelaskan semuanya padamu. Aku akan ke rumah besok, Ok!" Mas Adnan mendekatiku, hendak meraih lenganku. Namun aku menepisnya."Jangan menyentuhku, Mas!" Tangannya mengambang di udara. "Sekarang sudah jelas bagiku. Aku tidak butuh penjelasanmu lagi, Mas. Tunggu saja kabar dariku besok." "Oh, ya! Ini kunci mobil milikku 'kan? Aku ingin mengambilnya." Kebetulan mataku melihat sebuah kunci yang tergantung. Aku meraih kunci mobil tersebut di tangannya. Kunci mobil yang kini telah berpindah ke tanganku merupakan kunci mobil truk pemberian ayahku sebagai modal kami. Hanya karena ini membuatnya tidak pernah ada di rumah kami dan menjadikan alasannya agar tidak pernah ke rumah.Gegas aku berlalu dari mereka. Aku tidak kuat berdiri lama di depan mereka sambil menahan sembilu yang menyayat hati. Air mata yang hendak melompat dari netraku tidak terjadi. Air mata ini tidak sudi menangisi kemalangan jalan hidupku. Mas Adnan tidak berani mengejarku karena masih ada Mba Raisya di
"Iya, Bu. Hati-hati, ya. Semoga selamat sampai tujuan.""Panggilan saya sudahi dulu, ya. Nanti ibu hubungi kalian lagi.""Baik, Bu."Mereka akan ke sini secara tiba-tiba. Biasanya kami yang mengunjungi mereka. Aku menyandarkan kembali kepala ini ke sofa. Kuletakkan gawai di sampingku begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Silakan makan, Bu. Makanan sudah saya sajikan di atas meja." Mba Tina menghampiriku yang sedang berpikir."Terima kasih, ya! Tak perlu repot-repot seperti ini, Mba.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa, kok. Lagian rumah Bu Jihan sudah seperti rumah kedua saya.""Kita makan bersama, ya," ajakku."Aku baru saja selesai makan bersama Naya. Alhamdulillah, Naya sangat lahap hari ini. Dia sedikit bersemangat.""Alhamdulillah!""Ma, Mama sudah pulang?" Naya menghampiriku.Mataku menatapnya lamat-lamat. Seakan melihat Naya yang berbeda. "Iya, Nak. Naya sudah lama bangun?""Iya, Mak, sudah lama. Tadi, Mba Tina temanin main di kamal," jawab Naya
"Mari Pak, Bu, silakan!" Aku meletakkan sebuah mangkuk sup yang baru saja aku tambahkan dari panci. Beberapa piring juga sudah ditempatkan di atas meja. "Bapak sehat?" tanyaku lagi. Karena semenjak dia tiba, aku belum mendengar suaranya."Alhamdulillah, sehat!" "Sini, Pak, Jihan tambahin sup-nya, bagus untuk cuaca sore seperti ini.""Naya bagaimana kabar? Nenek dan kakek sangat merindukan Naya. Hampir sebulan ini Naya tidak ke rumah nenek lagi.""Naya baik, Nek. Nanti kalau libul panjang, Naya dan Mama pasti ke lumah nenek lagi."Ibu memeluk Naya. Aku tersenyum melihat kedekatan mereka. Sesak yang sempat melanda tadi mulai terasa ringan."Ayahmu gimana kabar?" "Uhuk ...." Aku hampir tersedak oleh air yang sedang kuteguk. Wajahku seketika pias, berubah panik. Naya kembali lesu. Air matanya menetes dari netranya. "Kenapa, Sayang?" Ibu merangkulnya. "Ayah belum kembali. Ayah jahat, tidak sayang lagi sama Naya!"Aku terdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut ini seakan kaku.
"Maaf, Mas. Aku tidak butuh penjelasan lagi. Sebaiknya kau keluar dari rumah ini, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan." Aku hendak menutup pintu, tetapi dicegat olehnya."Han!" Ia mengiba, tetapi hatiku sudah tidak bisa dilunakkan lagi. Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang dengan mudah membohongi dan menipuku selama beberapa tahun terakhir ini."Siapa, Han?" Aku berbalik melihat ibu yang menghampiriku. Mungkin karena mendengar suara kami yang berdebat. "Oh, jadi kamu berani juga ke rumah ini?" "Mas Adnan! Kalau kau hanya ingin mempermainkan putriku kenapa kau harus menikahinya? Beberapa kali dia menghubungimu, tetapi tidak dijawab. Dia bahkan mencarimu ke keluargamu tetapi tidak mendapatkan kabar.""Pak, Ma, Aku bisa jelaskan semuanya.""Jelaskan apa?""Aku izin ingin berbicara dengan Jihan sebentar.""Sudah aku katakan, aku tidak butuh penjelasan apapun. Aku ingin kita cerai." Bibirku bergetar mengucapkan kata yang terakhir."Nak, kau sudah memikirkannya?" "Iya,
POV AdnanSial! Dari mana Jihan tahu alamat rumah kami?Aku tidak bisa membiarkan semuanya berantakan begitu saja. Sebelumnya, semua berjalan lancar dan tidak ada yang mengacaukan rencanaku. Bila kulihat raut wajahnya, sepertinya Jihan tidak akan memaafkanku. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Dia harus aku yakinkan kembali untuk menerimaku. Aku berbalik menuju kendaraan yang telah kuparkirkan tadi, kemudian menyalakan starter motor dan mengendarainya. Pikiranku benar-benar kacau malam ini. Kekhawatiran sudah mulai menghantuiku. Aku harus bisa, belum terlambat dan bukan saatnya mundur. Hawa dingin embusan angin menerpa tidak berpengaruh sama sekali, bahkan terasa panas. Entah bagaimana menggambarkannya. Deru mesin berbunyi hampir bersamaan dengan deru jantung yang memompa. Setelah tiba, aku membuka pintu rumah dan langsung bersandar di sofa dengan mendengus kesal. Perjalanan sekitar sejam aku tiba di rumah."Dari mana, Mas?" Pertanyaan itu langsung tertuju padaku dan terkesan menekan
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi