Setelah berjalan beberapa menit mengitari daerah kediaman mertuaku, aku memutuskan kembali ke rumah.
Matahari sudah mulai terik menyinari. Keringat mengucur deras di punggung."Mba Jihan ... Assalamualaikum!" Aku menoleh ke sumber suara yang menyapa."Waalaikumsalam, Bu Sumi ....""Abis jalan pagi?""Iya, nih. Lumayan keringatan!""Aku pikir udah pulang!""Belum. Sebentar lagi, kami pulang. Mungkin sekitar jam sembilan.""Oh, gitu! Dita, putri Mba Jihan di mana, kok aku gak lihat?""Dita bukan putri saya, Bu. Putri saya, namanya Naya."Aku memutuskan untuk jujur saja daripada ikut berbohong dan akibatnya aku akan kena imbas dari kepura-puraan keluarga suamiku juga."Loh, Mba Jihan gimana, sih! Kok, saya jadi bingung. Trus, Dita itu anak siapa?""Aku juga gak ngerti, Bu. Aku baru tahu kemarin dari Bu Sumi sendiri kalau ada anakku di rumah Bu Sari.""Tapi, aku dengar sendiri dari Mba Lisa, katanya Dita anak Mas Adnan. Itu berarti anak Mba Jihan juga.""Anak kami, namanya Naya. Aku juga bingung, kenapa tiba-tiba ada anak itu. Sudah setahun lebih Mas Adnan gak ada kabar. Maka dari itu, aku ke sini menanyakan kabarnya, tapi nihil.""Maksudnya, mereka gak beritahu Mba Jihan?""Bisa dibilang seperti itu.""Aku turut sedih, ya, Mba. Kok, tega mereka seperti itu ke Mba Jihan. Padahal Mba Jihan gak pernah buat kesalahan sama mereka.""Begitulah, Bu. Aku juga tidak mengerti ada apa sebenarnya? Tolong Bu Sumi jangan dulu disebarkan ke orang-orang, ya. Takutnya, aku yang salah informasi.""Iya, aku gak mungkin hianati Mba Jihan," ucap Bu Sumi sambil memperagakan kedua jarinya mengapit bibir sebagai tanda menutup mulut."Makasih, Bu." Aku hanya membalas senyum.Kami cukup akrab dari dulu, semenjak tinggal di rumah kedua mertuaku. Bu Sumi ialah teman ceritaku setiap saat bila waktu senggang atau saat berbelanja ke warung miliknya. Kami sangat dekat, sehingga tidak heran kalau kami sering memperagakan beberapa adegan yang pernah kami tonton di serial TV.Taulah, seperti apa ibu-ibu kalau udah ketemu di warung. Belinya sebungkus bumbu atau garam, ceritanya sejam-an."Yang sabar, ya, Mba Jihan. Ntar aku infoin kalau aku lihat Mas Adnan ke rumah orang tuanya.""Oh, iya. Makasih. Minta nomor HP Bu Sumi, mungkin aku bisa nanyain ke Bu Sumi nanti.""Oke, sangat boleh. Lagian nomormu yang lama kayaknya udah gak aktif 'kan?""Iya, sudah hilang bersama HP-nya. Jadi, aku ganti yang baru.""Eh, aku juga pernah lihat wanita seumuran Mba Jihan ngantar Dita ke rumah orang tua Mas Adnan, tapi hanya sekali. Apa mungkin dia istri Mas Adnan? Astaghfirullah! Aku sudah suudzon, Mba. Maaf, ya." Ia menutup mulut sambil membulatkan mata.Aku masih menelaah ucapan Bu Sumi. Ucapannya sama dengan Mba Rani tadi. Aku semakin yakin ada hal yang disembunyikan dariku."Bu Sumi gak salah, kok. Bisa saja Bu Sumi benar," sambungku sambil menghela napas panjang. Gemuruh di dada ini semakin sakit, seakan sangat sempit untuk menarik napas."Berarti Mba Jihan ...." Ia makin terperanjat seakan tak percaya."Iya, aku baru tahu dari salah seorang netizen yang mengirimkan foto mereka.""Astaghfirullah!" ujar Bu Sumi sambil mengelus dada. "Yang tabah, ya, Mba!" ucapnya iba padaku sambil mengelus punggungku."Iya, Bu. Makasih.""Aku turut prihatin sama Mba Jihan. Aku akan kabari secepatnya bila menemukan kabar tentang Mas Adnan. Mba Jihan harus kuat. Aku tidak pernah berpikir kenapa mereka tega menyembunyikan semua dari Mba Jihan. Sebenarnya, apa motif mereka?""Iya, Bu. Jihan juga belum mengerti. Tapi, aku tidak akan menyerah untuk mencari tahu apa maksud Mas Adnan menyembunyikan semua ini dariku," ujarku seraya bersiap-siap untuk pergi."Aku pamit, ya, mau balik ke rumah sekaligus berkemas-kemas untuk pulang. Assalamualaikum!""Waalaikumsalam."Tak ingin berlama-lama di warung Bu Sumi karena khawatir Naya sudah bangun dan mencariku, aku mempercepat langkah kakiku menuju rumah.Aku meninggalkan warung Bu Sumi sambil menimang-nimang kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Aku belum membayangkan kemungkinan tersebut jika sudah di depan mata.Perasaan khawatir dan gelisah sudah berkecamuk di dalam hati.Setelah sampai, aku membuka pintu hendak masuk. Setelah memberi salam, aku melangkah menuju kamar. Mba Lisa seperti tak acuh mendengar salamku, bahkan tidak menoleh sedikit pun.Mungkin saja dia tidak mendengar karena volume suara TV sangat besar, sehingga bunyi suara pintu dikunci pun tidak terdengar olehnya atau mungkin seperti dugaanku tadi, tak acuh.Wanita bertubuh bongsor itu sedang asyik menonton TV. Ia tidak punya pekerjaan lain selain duduk dan menonton TV, terkadang berselancar di dunia maya dengan smartphone miliknya.Smartphone tersebut merupakan hadiah dari pamanku saat kami nikah dan aku berikan padanya karena dia tidak memiliki handphone saat itu.Sampai sekarang dia belum berinisiatif untuk mencari kerja, katanya sulit untuk lulusan SMA. Aku pernah menyarankannya untuk kuliah malam atau disebut kelas karyawan, tetapi ditolak. Katanya menghabiskan biaya.Pernah juga aku mengajaknya bekerjasama denganku, untuk membuka cabang katering di sini, tetapi sama saja ditolak juga.Mungkin dia belum kepikiran untuk berusaha, karena selama ini dia mengharapkan segala sesuatu dari abangnya, Mas Adnan.Mas Adnan selalu mengirim uang kepada mereka. Jadi, Mba Lisa masih merasa tercukupi kebutuhannya selama ini.Mas Adnan bekerja di tempat konstruksi bangunan sebagai sopir truk yang membawa beberapa material pasir, batu, atau yang lainnya.Truk yang dikendarainya ialah pemberian ayahku. Ayah memberikan kepada kami sebagai hadiah juga modal kami untuk berumah tangga.Ayah memiliki beberapa truk untuk disewakan. Jadi dulu sebelum kami menikah, Mas Adnan bekerja untuk Ayah dan Mas Adnan menyetor sebagian penghasilannya sebagai biaya penyewaan mobil truk.Sampai suatu ketika Mas Adnan melamarku. Aku tidak pernah berpikir bahwa dia diam-diam menyukaiku. Aku menerima lamarannya karena saran Ayah. Menurut ayah, dia lelaki pekerja keras dan sangat bertanggung jawab.Itulah kenapa aku mau menerima. Apalagi jika lampu hijau sudah diberi kode oleh seorang ayah, lelaki yang selalu menjadi tauladanku untuk mencari seorang suami seperti sosoknya yang sangat peduli terhadap kami, anak-anaknya."Naya! Putri Mama, sudah lama bangun?""Iya, Ma. Mama dali mana? Naya caliin dali tadi.""Mama baru saja jalan pagi agar sedikit segar. Naya mandi dulu, ya, kita berkemas-kemas untuk pulang sebentar!""Kita pulang sekalang, Ma? Tlus, ayah di mana? Kok, Naya belum ketemu?"Aduh, seperti ada sekat yang tersimpan di tenggorokan ini mendengar pertanyaan putriku tersebut. Sudah dua hari kami di sini, tetapi aku belum juga mendapatkan kabar tentang ayahnya.Aku bingung ingin menjelaskannya seperti apa."Ayah belum pulang, nanti kita akan ke sini lagi, ya. Besok Naya sudah harus ke sekolah.""Naya gak mau pulang, Ma. Naya nungguin ayah aja."Bingung harus bagaimana, aku juga tidak punya pilihan selain balik ke rumah. Tidak mungkin harus berlama-lama di sini."Mama janji akan memberitahu Naya kalau ayah sudah pulang, okay?"Wajah Naya berubah menjadi lebih cemberut. Ia enggan beranjak dari tempat duduknya. Aku tak tahu dengan cara apalagi aku membujuknya agar pulang.Ia menangis semakin histeris, enggan untuk pulang. Koper yang aku bawa sudah di tangan, siap untuk aku bawa keluar. Namun, Naya masih bersikeras menunggu dulu.Aku sangat kasihan melihat wajahnya yang semakin pucat dan tidak bersemangat.Sebenarnya, aku sangat sedih melihat keadaannya seperti ini."Mari, Sayang!" Aku menarik koper, berjalan menuju pintu.Aku berbalik ke belakang karena tidak mendengar langkah kaki Naya, putriku."Naya!" karena panik, kulepas saja koper di tangan dan berlari ke putriku yang telah tergeletak di atas lantai. "Naya ... bangun, Nak!" Aku mengguncang tubuhnya.POV Lisa"Lisa! Apakah Mba Jihan sudah tahu kalau Mas Adnan sudah nikah?""Gak mungkin lah, Mak. Kenapa Mama terlihat sangat khawatir seperti ini? Aku yakin seratus persen dia gak tau. Kalau dia tau, pasti Mas Adnan akan dimintai untuk cerai. Atau setidaknya dia ke sini untuk mengurus surat cerainya, tapi tidak 'kan. Dia hanya datang menanyakan kabar suaminya."Ibu mengangguk, mungkin mulai mengerti dengan penjelasanku. Aku mendekatinya kemudian menjelaskan kembali lebih detail agar ia makin tidak salah paham. Sekitar dua jam kami bercerita dan membahas yang lain entah apapun itu.Meskipun sudah beberapa kali aku jelaskan, ia masih terlihat khawatir. "Mereka sudah pulang belum, Lis?""Kayaknya belum, Mak. Tadi dia berjalan ke luar rumah saat Lisa keluar dari kamar.""Oh, gitu! Sebaiknya, kamu hubungi Mas Adnan agar tidak menitipkan anak kecil itu untuk saat ini ke rumah. Ntar, Mba Jihan curiga lagi." Ibu mendesakku agar segera memberitahu Mas Adnan."Iya, ntar Lisa beritahu Mas Adnan
POV LisaKedua bola mataku memutar dengan malas, "Ih, Mama cerewet amat! Lagian Lisa baru minggu ini.""Kata siapa? Dari dulu, sejak kamu masih sekolah, Mama yang beresin kamarmu. Coba kalau kamu bantuin Mama, mungkin Mama tidak akan kecapekan terus setiap hari.""Kenapa sih, Mak, akhir-akhir ini bawel banget!""Kamu tuh diberitahu malah marah balik. Cepat ke dapur bantuin Mama!""Ogah, ah. Kita mesan aja, Ma, lewat online. Tadi, Lisa lihat status di aplikasi ijo ada yang lagi post ketoprak. Ketoprak Mas Siswo selalu habis kalau kita tidak mesan segera. Minggu lalu Mas Adnan udah ngirimin duit 'kan?""Lisa! Sampai kapan kamu gini terus? Kemarin kamu sudah mesan. Kamu itu harus membiasakan diri untuk memasak dan menyiapkan makanan. Kalau kamu nikah, gimana mau nyiapin makanan untuk suami dan anak-anakmu nanti.""Aduh, Mak. Itu perkara gampang! Lisa tinggal mesan lewat online. Ribet amat! Lagian Lisa bisa belajar nanti. Udah, ah, mana duitnya Lisa udah mesan. Makanannya udah mau tiba."
"Naya gak mau pulang. Maunya ketemu ayah dulu!" ucap Naya cemberut diikuti dengan bibirnya membentuk cekung."Mama pasti kabari Naya, kalau ayah sudah tiba. Kita harus balik sekarang. Minggu depan kita akan ke sini lagi, Ok?" Aku berusaha membujuknya terus agar mau mengikuti saranku. Hingga akhirnya, dia pun mau meskipun dengan berat hati mengikutiku berjalan menuju pintu kamar. Aku membuka pintu dan menuntun Naya keluar. "Mba Jihan mau pulang?" Lisa, iparku mendekati kami sambil menyunggingkan senyum."Iya, tolong sampaikan ke Ibu dan bapak, kami mau pamit.""Iya, nanti Lisa sampaikan." Dia terlihat sangat ramah hari ini. Entah apa yang terjadi dengannya hari ini.Entah kenapa, melihatnya tersenyum sambil menjawab ucapanku terasa ada yang pilu di hati ini. "Naya, semoga cepat sehat, ya, Nak!" ucapnya sambil membungkuk ke Naya kemudian berdiri kembali."Telima kasih, Tante.""Mau aku panggilkan taksi?" Wanita yang masih dengan piyama itu menawarkan bantuan ke kami."Tidak perlu, Li
"Semoga bisa bertemu, ya, Bu. Ibu harus kuat dan tabah kalau kenyataannya sesuai dengan dugaan beberapa hari ini.""Terima kasih, Mba."Mba Tina–tetanggaku di kampung. Ia aku ajak ke sini untuk bekerja bersamaku. Ia sudah aku anggap seperti sahabat dan juga adik sendiri, meskipun usia kami terpaut satu atau dua tahun. kepadanya tempat aku bercerita segala sesuatu."Bagaimana dengan pemesanan katering?" tanyaku."Alhamdulillah berjalan lancar, Bu.""Alhamdulillah, baguslah, senang mendengarnya! Aku percayakan semuanya ke Mba Tina." "Baik, Bu." Ia mengangguk. Aku mulai meraih tas dan berjalan keluar kemudian langsung menuju taksi yang telah menunggu di luar. Aku tidak ingin menunggu lagi untuk segera ke rumah Mas Adnan. Setelah menunjukkan alamat yang aku maksud, taksi driver membawaku ke alamat tujuan. Aku sangat was-was bila alamat yang aku tuju adalah benar alamat Mas Adnan. Pikiranku banyak dihinggapi praduga yang tidak menentu. Aku sudah memutuskan untuk memperjelas masalah ini
"Jihan! Aku bisa jelaskan semuanya padamu. Aku akan ke rumah besok, Ok!" Mas Adnan mendekatiku, hendak meraih lenganku. Namun aku menepisnya."Jangan menyentuhku, Mas!" Tangannya mengambang di udara. "Sekarang sudah jelas bagiku. Aku tidak butuh penjelasanmu lagi, Mas. Tunggu saja kabar dariku besok." "Oh, ya! Ini kunci mobil milikku 'kan? Aku ingin mengambilnya." Kebetulan mataku melihat sebuah kunci yang tergantung. Aku meraih kunci mobil tersebut di tangannya. Kunci mobil yang kini telah berpindah ke tanganku merupakan kunci mobil truk pemberian ayahku sebagai modal kami. Hanya karena ini membuatnya tidak pernah ada di rumah kami dan menjadikan alasannya agar tidak pernah ke rumah.Gegas aku berlalu dari mereka. Aku tidak kuat berdiri lama di depan mereka sambil menahan sembilu yang menyayat hati. Air mata yang hendak melompat dari netraku tidak terjadi. Air mata ini tidak sudi menangisi kemalangan jalan hidupku. Mas Adnan tidak berani mengejarku karena masih ada Mba Raisya di
"Iya, Bu. Hati-hati, ya. Semoga selamat sampai tujuan.""Panggilan saya sudahi dulu, ya. Nanti ibu hubungi kalian lagi.""Baik, Bu."Mereka akan ke sini secara tiba-tiba. Biasanya kami yang mengunjungi mereka. Aku menyandarkan kembali kepala ini ke sofa. Kuletakkan gawai di sampingku begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Silakan makan, Bu. Makanan sudah saya sajikan di atas meja." Mba Tina menghampiriku yang sedang berpikir."Terima kasih, ya! Tak perlu repot-repot seperti ini, Mba.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa, kok. Lagian rumah Bu Jihan sudah seperti rumah kedua saya.""Kita makan bersama, ya," ajakku."Aku baru saja selesai makan bersama Naya. Alhamdulillah, Naya sangat lahap hari ini. Dia sedikit bersemangat.""Alhamdulillah!""Ma, Mama sudah pulang?" Naya menghampiriku.Mataku menatapnya lamat-lamat. Seakan melihat Naya yang berbeda. "Iya, Nak. Naya sudah lama bangun?""Iya, Mak, sudah lama. Tadi, Mba Tina temanin main di kamal," jawab Naya
"Mari Pak, Bu, silakan!" Aku meletakkan sebuah mangkuk sup yang baru saja aku tambahkan dari panci. Beberapa piring juga sudah ditempatkan di atas meja. "Bapak sehat?" tanyaku lagi. Karena semenjak dia tiba, aku belum mendengar suaranya."Alhamdulillah, sehat!" "Sini, Pak, Jihan tambahin sup-nya, bagus untuk cuaca sore seperti ini.""Naya bagaimana kabar? Nenek dan kakek sangat merindukan Naya. Hampir sebulan ini Naya tidak ke rumah nenek lagi.""Naya baik, Nek. Nanti kalau libul panjang, Naya dan Mama pasti ke lumah nenek lagi."Ibu memeluk Naya. Aku tersenyum melihat kedekatan mereka. Sesak yang sempat melanda tadi mulai terasa ringan."Ayahmu gimana kabar?" "Uhuk ...." Aku hampir tersedak oleh air yang sedang kuteguk. Wajahku seketika pias, berubah panik. Naya kembali lesu. Air matanya menetes dari netranya. "Kenapa, Sayang?" Ibu merangkulnya. "Ayah belum kembali. Ayah jahat, tidak sayang lagi sama Naya!"Aku terdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut ini seakan kaku.
"Maaf, Mas. Aku tidak butuh penjelasan lagi. Sebaiknya kau keluar dari rumah ini, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan." Aku hendak menutup pintu, tetapi dicegat olehnya."Han!" Ia mengiba, tetapi hatiku sudah tidak bisa dilunakkan lagi. Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang dengan mudah membohongi dan menipuku selama beberapa tahun terakhir ini."Siapa, Han?" Aku berbalik melihat ibu yang menghampiriku. Mungkin karena mendengar suara kami yang berdebat. "Oh, jadi kamu berani juga ke rumah ini?" "Mas Adnan! Kalau kau hanya ingin mempermainkan putriku kenapa kau harus menikahinya? Beberapa kali dia menghubungimu, tetapi tidak dijawab. Dia bahkan mencarimu ke keluargamu tetapi tidak mendapatkan kabar.""Pak, Ma, Aku bisa jelaskan semuanya.""Jelaskan apa?""Aku izin ingin berbicara dengan Jihan sebentar.""Sudah aku katakan, aku tidak butuh penjelasan apapun. Aku ingin kita cerai." Bibirku bergetar mengucapkan kata yang terakhir."Nak, kau sudah memikirkannya?" "Iya,
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi