"Argh, kau membuatku semakin pusing. Sudah, ah. Aku mau ke mobil sekarang!" Arka membuang puntung rokok yang belum ia habiskan. Minatnya seketika hilang ketika mendengar ucapan Dika yang semakin membuatnya khawatir.Ia tahu, lelaki yang dimaksud Dika adalah mantan suami Jihan.**Sambil menunggu Arka kembali ke mobil, Jihan berselancar di dunia maya. Ia membuka IG, mungkin saja ada pesan dari sahabatnya atau informasi lain yang diperlukan.Tidak ada yang didapatkan, hanya postingan netizen mendadak jadi selebgram karena isi postingannya tentang makan dan tempat kunjungan.Ia beralih membuka WA, mengusap dari atas ke bawah, hingga beralih melihat story WA. Usapan jarinya terhenti. Yang menarik perhatiannya nama Bu Sumi di story tersebut. Ia jarang melihat story Bu Sumi di WA. Karena penasaran, ia mengklik saja untuk melihat. Ia sedikit memicingkan mata. Semua orang di dalam postingan tersebut sangat ia kenali. Dan caption di status Bu Sumi tentang melayat. Jantung Jihan sedikit berd
POV AuthorPerjalanan sekitar sejam, mereka tiba di rumah yang memiliki taman cukup luas tersebut. Saat akan melangkah ke depan pintu, seketika Jihan mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia mendengar suara di dalam rumah. Seseorang sedang berteriak histeris. Bunyi lemparan perabot ke lantai cukup membuat Jihan, Arka, dan Dika saling bertatap bingung. Bunyi benda-benda itu berulang-ulang. "Pokoknya, aku tidak terima dihina dan direndahkan oleh wanita itu, Ma. Aku benci benalu itu. Beraninya dia mengaturku. Dia pikir dia siapa?" Jihan mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Tentunya, milik Lisa. Akan tetapi, siapa benalu yang dia maksud. Mungkinkah Raisya? Mereka bertikai karena apa? Pertanyaan-pertanyaan tadi masih mengitari kepalanya. "Tapi, kau harus menahan diri, Lis. Kalau kau bertindak kelewat batas, maka Mas-mu akan memiliki masalah lagi.""Ahrgh, Lisa gak peduli, Ma. Mas Adnan gak belain Lisa di depan benalu itu, bahkan tidak memarahinya. Padahal aku, adiknya. Malah mengajak
Adnan memukul meja dan langsung menarik pintu untuk keluar rumah sekaligus menenangkan diri. Udara di luar cukup untuk membuang karbondioksida yang sudah menumpuk di dadanya. Menghadapi istrinya yang penuh dengan emosi tidak akan mendapatkan solusi. Dia memutuskan untuk menghindar sementara. Ia juga tidak mungkin membela salah satu.Raisya semakin kesal dengan jawaban suaminya, yang terkesan tidak mendukungnya atau membuat hatinya senang. Lelaki itu justru berlalu dan menghindar dari masalah.Ia berjalan ke kamar dan membanting pintu. Kekesalannya belum hilang sehingga menarik semua pakaian yang telah tersusun rapi di dalam lemari dan menghamburkannya begitu saja.Putrinya yang terkejut dengan bunyi keras dari pintu, kembali tidur lagi karena tidak mendapatkan respon dari ibunya. Gadis kecil itu sangat mengantuk dan kelelahan karena seharian mengikuti kedua orang tuanya.**Cahaya matahari mulai meninggi. Ketiga anggota keluarga belum juga bangun dari tidur. Seorang lelaki masih tert
Setelah memikirkan sejenak saran istrinya, Adnan mulai mengangguk. Pagi itu ia putuskan akan ke kedai mantan istrinya. Kurang lebih sebulan dia tidak mengunjungi putrinya."Mas mau ke mana sudah rapi seperti ini?" "Mas mau mengunjungi Naya. Kau sendiri yang bilang agar selalu dekat dengan putriku.""Tapi, di rumah gak ada duit, Mas. Pinjam dulu ke mana, kek atau ke Bank.""Trus balikin pake apa kalau minjam ke Bank?""Ya, itu urusan Mas yang mikirin. Masa harus aku juga? Pokoknya hari ini Mas bawa duit. Bagaimanapun caranya," sungut Raisya penuh penekanan pada suaminya, kemudian berlalu meninggalkannya.Lelaki itu menjadi kaku. Semalam otaknya akan pecah karena puluhan cercaan dari istrinya. Kali ini otaknya tidak hanya pecah, tetapi tubuhnya juga akan ikut meledak hingga berserakan di lantai. Ia tidak pernah menyangka akan seperti ini. Seandainya dia bisa mengulang waktu, ia akan memilih kembali bersama Jihan, wanita yang sangat lembut hatinya dan tidak pernah membentak atau pun me
"Iya, Pa. Naya yang minta. Naya senang, kok, sama Om. Dia baik sama Naya." "Ya, aku meminta maaf karena lupa memberitahumu sebelumnya. Kami tidak tahu kau akan datang untuk menjemputnya," ucap Arka tulus."Naya mau ikut Papa gak, jalan-jalan?" Adnan tidak merespon ucapan lelaki di samping putrinya. Justru, bertanya ke putrinya."Lain kali aja ya, Pa. Naya capek. Tadi, Naya sudah main semua game dengan Om."Anak kecil memang terlalu jujur, kalau mereka sedang menolak atau tidak ingin ke mana-mana. Mungkin dia sudah kelelahan dan juga bosan kalau jalan lagi. Setiap kali diajak ayahnya jalan, ia tidak pernah mendapat hadiah atau dibelikan sesuatu. Mungkin hal itulah yang membuat Naya tidak antusias jika diajak jalan oleh ayahnya. "Loh, Papa udah jauh-jauh loh, ke sini. Yakin tidak mau jalan sama Papa?" Ia berjongkok menatap putrinya.Sebenarnya Adnan sedikit malu karena ajakannya ditolak oleh putrinya di depan orang yang sangat dibencinya. Selain itu, beberapa karyawan juga memerhatik
Adnan pulang ke rumah dengan perasaan lega. Setidaknya ada yang dibawa pulang untuk istrinya. Ia memarkirkan motor setelah sampai di rumah. Raisya berjalan keluar dan berdiri di depan pintu ketika mendengar suara motor memasuki pekarangan rumah. "Ini ...." Adnan menyerahkan beberapa lembar uang pada istrinya. Ia tahu kedatangannya sangat dinantikan. Bukan dirinya, tetapi duit yang ada di tangannya.Raisya menerimanya meskipun dengan sedikit bertanya-tanya dari mana Adnan mendapatkan secepat itu. Namun kemudian, ia menepis dugaan yang tidak baik di kepalanya. Kebutuhan mereka sangat mendesak yang lebih utama didahulukan."Setidaknya, uang tersebut bisa menutup kebutuhan beberapa minggu ke depan," lanjut Adnan dengan nada malas. "Mas, secepatnya cari kerja. Kita tidak mungkin berharap dengan uang ini terus atau sisa tabungan," tegur istrinya."Iya, Mas ngerti. Mas ingin istirahat dulu untuk saat ini." Adnan masuk ke rumah untuk membersihkan diri dan tidak mau melanjutkan berdebat
"I-ya, Mas. Kalung dan gelang milik Naya, tidak ada. Maaf Mas, aku tidak bermaksud ....""Oh, oke ... oke. Aku akan ke sana sekarang." "Maaf, Mas, merepotkanmu." Jihan masih tidak enak hati melibatkan Arka untuk masalah putrinya.Selain itu, dia juga merasa tidak enak hati harus membuat Arka ikut bertanggung jawab mencari perhiasan milik putrinya. Ia tidak punya pilihan selain bertanya ke Arka, karena lelaki itu bersama Naya, Putrinya pagi tadi. "Tidak apa. Aku juga ikut bertanggung jawab dan harus tahu bagaimana sebenarnya terjadi." Panggilan pun berakhir. Arka segera ke mobilnya dan mengendarainya menuju kedai milik Jihan. Sekitar setengah jam berlalu, sebuah mobil memasuki pekarangan kedai kemudian berhenti di parkiran. Lelaki bertubuh tinggi seperti atlet basket itu keluar dari mobil dan berjalan memasuki kedai dengan berjalan cepat. "Bagaimana sebenarnya awal mulanya. Bisa kau ceritakan?" tanyanya saat berhenti di depan Jihan dan lainnya."Tadi, aku menggendong Naya yang sud
Arka memutar ulang video tersebut, mundur tiga jam sebelum mereka berada di tempat saat itu. Ia mengutak-atik beberapa video yang diperlukan saja untuk dilihat. Ia memerhatikan waktu ketika mereka tiba di kedai, untuk memutar video agar tidak menghabiskan waktu.Saat menit di mana Naya sedang asyik menikmati makan, mengobrol, dan bersenda gurau bersama dirinya juga Jihan, tayangan video dipercepat sedikit sampai tersisa Adnan bersama putrinya. Tiba-tiba, Jihan membulatkan mata. Merasa apa yang dilihatnya samar, Ia mengerjapkan mata berkali-kali. Jihan menoleh ke lelaki di sampingnya untuk menjawab pertanyaan di benaknya, kemudian menatap ke Tina yang ikut bersama mereka. Tina pun merespon dengan terkejut. Sangat jelas bagaimana lelaki di dalam video itu mengambil perhiasan putrinya. Arka sudah menduga dari sebelumnya karena dia sudah mengecek di dalam mobilnya. Apalagi setelah melihat foto yang ada di ponselnya, keyakinannya semakin mantap bahwa pelakunya lelaki yang sedang mereka b
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi