"Mas Hisyam?" ujar Zahra kaget. Ia tak sanggup melanjutkan langkahnya karena Hisyam tak memberikannya akses masuk ke dalam rumah. Pandangan mata Hisyam yang tajam itu menjadikan nyali Zahra menciut dan tak sanggup berkata apapun."Apa yang barusan aku dengar itu? Kontrasepsi? Siapa yang suruh kamu pasang alat kontrasepsi? Lalu apa gunanya aku menikahi kamu kalau kamu tidak bisa memberikan aku keturunan seperti Aini?! Lalu itu teleponan sama siapa? Kamu punya pacar lain selain aku?" cecar Hisyam dengan kilatan amarah yang menutupi wajahnya.Wajah Zahra berubah pucat. Bibirnya mengatup rapat sedang tangannya yang menggenggam ponsel itu sudah mengeluarkan keringat dingin.Bayangan gagalnya honeymoon seketika menari-nari di kepala Zahra. Keinginan dan angannya tengah terancam gagal terjadi.Namun bukan Zahra namanya jika tidak bisa berpikir dengan cepat dan gesit."Jawab pertanyaanku! Kenapa kamu pasang alat kontrasepsi? Apa kamu sudah gila?" bentak Hisyam dengan keras. Urat leher Hisyam
"Aisha?? pekik Aini kaget. Matanya tak lepas dari wajah sahabatnya yang baru saja turun dari motor. Aisha mengusap perut buncit Aini yang sudah beberapa minggu tidak ia jumpai, hanya sebatas bicara melalui sambungan telepon saja."Hai Sayangnya Aunti," sapa Aisha sambil mengusap perut buncit Aini.Aini memeluk badan Aisha yang tanpa kabar tiba-tiba datang di depannya. "Kangen," ucap Aini sambil memeluk erat badan Aisha yang langsing."Sama. Aku juga kangen," balas Aisha."Lagi ngomongin apa sih? Ngomongin aku ya?" sambung Aisha lagi setelah mengurai pelukan Aini. "Dih, siapa yang ngomongin kamu. Eh tumben tiba-tiba ke sini? Kok semalem ngga bilang kalau mau datang." Aini berujar setelah kembali duduk."Kalau bilang jadi ngga surprise kali, Ai!""Ceileh pake surprise segala, gaya kamu! Tapi beneran loh, aku seneng banget kamu datang. Bisa pas banget ya, kamu datang pas jamnya aku pulang.""Iya tadi aku ke kosan kamu. Tapi mas-mas yang di kamar sebelah kamar kamu bilang kalau kamu be
"Seroyal itu loh, Ai," ujar Aisha takjub.Sementara Aini sedang mengamati sekitar. Ia merasa bahwa Khalid sedang berada di sekitarnya sebab baginya tidak mungkin bisa sekebetulan ini."Hei, ngapain sih?" Aisha menepuk lengan Aini yang seperti orang kebingungan seperti mencari sesuatu dengan menoleh ke sekitar."Kok aku merasa Mas Khalid sedang ada di sekitar sini ya? Kok bisa pas banget gitu, waktunya kita bayar dia transfer segini banyak." Aini menunjukkan ponselnya kepada Aisha."Kebetulan juga bisa kali, Ai. Sudahlah, kan kamu ngga minta. Dia yang kasih sendiri jadi jangan ngga enakan gitu. Lumayan kan, kita bisa jajan," ujar Aisha sambil menaik turunkan alisnya."Ya bukan ngga enak, Sha. Misal dia di sini kan kita bisa sekalian jalan bareng, juga milih baju bersama. Biar dia juga merasa memiliki andil akan apa yang dia beri ini.""Dia belum pede kali jalan sama perempuan yang gendut kayak kamu," oceh Aisha sambil terkekeh pelan."Ish! Enak aja!" gerutu Aini. "Gini-gini juga aku pe
"Ini sudah malam, Ai," elak Aisha. Ada keraguan dalam sorot matanya kala bersitatap dengan Aini."Ngga apa-apa malam, belum tengah malam banget," balas Aini setelah melihat jam dinding, jarum jam menunjukkan angka sepuluh malam dan untuk melakukan perjalanan pulang demi orang tua rasanya bukan hal yang berat. Toh jalan raya selalu ramai bahkan dini hari sekalipun.Aisha terdiam, lalu ia bangkit dari duduknya dan memakai jaket yang disimpan di dalam lemari Aini."Aku balik deh." Aisha berujar sambil memakai jaket. "Doain ibuku ngga apa-apa ya?" sambungnya sambil melirik Aini."Iya. Semoga ibumu ngga apa-apa ya? Semoga juga hubungan kalian kembali membaik." Aini berujar sambil mengulum senyum.Aisha membalas senyuman Aini tanpa berucap. Tangannya memakai sarung tangan, lalu memakai kembali kerudung dan tasnya.Tak butu waktu lama, AIsha sudah bersiap dengan kostumnya. Ia bersiap memacu kuda besinya setelah menyalakan mesin beberapa saat agar mesin motornya panas. Tak lupa ia juga memaka
"Kamu masih mual?" tanya Hisyam saat Zahra bangun tidur. Semalan dalam perjalanan kembali ke rumah, Zahra mabuk kendaraan."Ngga terlalu tapi masih pusing aja," jawab Zahra sambil menutup dadanya dengan selimut tebal. Satu tangannya memijit kepala yang masih terasa pusing."Ya sudah, tidur aja. Aku kerja dulu, nanti siang aku usahakan izin buat antar kamu periksa." Hisyam berujar sambil mematut diri di depan cermin."Ngga usah, Mas. nanti juga mendingan. Mas ngga usah panik.""Beneran? Nanti kalau kenapa-napa bagaimana?" "Ngga akan. Cuma mual sama pusing aja. Dipakai tidur juga nanti sembuh sendiri.""Ya sudah. Aku pergi dulu ya?" pamit Hisyam. Ia berjalan menuju ranjang lalui mencium pucuk kepala istrinya.Setelah Hisyam pergi, Zahra memaksa dirinya bangun dari tempat tidur dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya saat ini. Sayangnya ia tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain..."Telat berapa hari, Bu?" tanya seo
Zahra meringkuk di atas kasur karena perutnya yang terasa kram. Sakit dan tak lagi bisa ia tahan, hingga ia tak dapat tidur dengan nyenyak."Mas Hisyam," gumam Zahra sambil meremas ujung selimut. Ia berharap nyeri dan demam yang ia rasakan segera pergi dari badannya. Namun tetap saja. Makin lama, nyeri itu makin mencengkeram perut bagian bawah miliknya.Tak hanya nyeri, badan Zahra yang juga sedang demam dan menggigil. Ia memakai selimut tebal untuk melindungi dirinya."Mas Hisyam," lirih Zahra lagi sambil meremas perutnya. Ia membuka selimutnya dan merogoh ponsel yang ia letakkan di ujung bantal. Zahra tak lagi bisa berdiam diri di rumah. Ia membutuhkan pertolongan. Namun ketika Zahra hendak melakukan panggilan, ia teringat akan obat yang ia konsumsi sepulang dari apartemen Angga. "Apa ini efek samping dari obat itu? Atau obat ini sedang bereaksi?" gumam Zahra. Mendadak ia takut akan respon Hisyam jika saja ia menghubungi dan meminta bantuan suaminya.Tak lagi menghubungi Hisyam,
"Anak kamu cantik," bisik Zain setelah Aini keluar dari ruang persalinan. Ia berada di dalam ruang perawatan sambil menunggu Khalid datang. Entah apa yang menghambat perjalanan Khalid hingga tidak kunjung datang sampai bayi itu selesai dibersihkan.Aini tersenyum mendengar ucapan Zain. Ia bersyukur setidaknya ada yang bersedia menemaninya hingga anak yang selama ini ditunggunya keluar untuk menatap indahnya dunia.Seorang perawat datang sambil mendorong box bayi ke dalam ruangan. Ia meletakkan box itu ke sebelah bed tempat Aini terbaring."Silahkan diadzani ya, Pak." Perawat itu berujar, lalu pergi meninggalkan laki-laki dan perempuan yang sudah berada dalam satu ruangan itu."Apa boleh jika aku yang mengadzaninya?" tanya Zain sambil menatap Aini menunggu jawaban."Yang ada di sini cuma Mas. Nunggu siapa lagi memangnya?""Khalid mungkin?" Zain mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya.Aini terkekeh. Kemudian kembali terdiam dengan mulut mengatup rapat."Kenapa gitu?" tanya Zain yang
Sebuah rumah minimalis di pinggiran kota Surabaya telah dibeli oleh Khalid untuk tempat tinggalnya bersama Aini. Kini rumah itu telah dibersihkan dan siap dihuni. Seorang pembantu sudah standby di rumah untuk menyambut kedatangan Aini dan bayinya."Kita beneran pindah, Mas?" tanya Aini masih belum percaya bahwa Khalid telah menyiapkan sebuah rumah untuknya."Iya. Tadinya rumah itu hanya Mas sewa, tapi mengingat kerjaanku sudah pindah di sini jadi sekalian aku minta buat dibeli. Alhamdulillah boleh. Ini rejekimu dan bayi kita. Rasanya Allah memudahkan semuanya. Proses jual beli itu rasanya singkat dan tidak bertele-tele."Aini tersenyum lembut. Ia berusaha menekan hatinya yang sejak kemarin terasa tidak nyaman dengan Khalid. Mungkin karena hormon ibu hamil yang sensitif ditambah dengan ia yang seringkali sendiri dan tidak ada teman untuk berbagi keluh kesah.Apalagi setiap orang tahu bahwa menjadi ibu hamil adalah titik paling manja seorang wanita dan itu tidak bisa dilakukan oleh Ain
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag