"Ini sudah malam, Ai," elak Aisha. Ada keraguan dalam sorot matanya kala bersitatap dengan Aini."Ngga apa-apa malam, belum tengah malam banget," balas Aini setelah melihat jam dinding, jarum jam menunjukkan angka sepuluh malam dan untuk melakukan perjalanan pulang demi orang tua rasanya bukan hal yang berat. Toh jalan raya selalu ramai bahkan dini hari sekalipun.Aisha terdiam, lalu ia bangkit dari duduknya dan memakai jaket yang disimpan di dalam lemari Aini."Aku balik deh." Aisha berujar sambil memakai jaket. "Doain ibuku ngga apa-apa ya?" sambungnya sambil melirik Aini."Iya. Semoga ibumu ngga apa-apa ya? Semoga juga hubungan kalian kembali membaik." Aini berujar sambil mengulum senyum.Aisha membalas senyuman Aini tanpa berucap. Tangannya memakai sarung tangan, lalu memakai kembali kerudung dan tasnya.Tak butu waktu lama, AIsha sudah bersiap dengan kostumnya. Ia bersiap memacu kuda besinya setelah menyalakan mesin beberapa saat agar mesin motornya panas. Tak lupa ia juga memaka
"Kamu masih mual?" tanya Hisyam saat Zahra bangun tidur. Semalan dalam perjalanan kembali ke rumah, Zahra mabuk kendaraan."Ngga terlalu tapi masih pusing aja," jawab Zahra sambil menutup dadanya dengan selimut tebal. Satu tangannya memijit kepala yang masih terasa pusing."Ya sudah, tidur aja. Aku kerja dulu, nanti siang aku usahakan izin buat antar kamu periksa." Hisyam berujar sambil mematut diri di depan cermin."Ngga usah, Mas. nanti juga mendingan. Mas ngga usah panik.""Beneran? Nanti kalau kenapa-napa bagaimana?" "Ngga akan. Cuma mual sama pusing aja. Dipakai tidur juga nanti sembuh sendiri.""Ya sudah. Aku pergi dulu ya?" pamit Hisyam. Ia berjalan menuju ranjang lalui mencium pucuk kepala istrinya.Setelah Hisyam pergi, Zahra memaksa dirinya bangun dari tempat tidur dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya saat ini. Sayangnya ia tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain..."Telat berapa hari, Bu?" tanya seo
Zahra meringkuk di atas kasur karena perutnya yang terasa kram. Sakit dan tak lagi bisa ia tahan, hingga ia tak dapat tidur dengan nyenyak."Mas Hisyam," gumam Zahra sambil meremas ujung selimut. Ia berharap nyeri dan demam yang ia rasakan segera pergi dari badannya. Namun tetap saja. Makin lama, nyeri itu makin mencengkeram perut bagian bawah miliknya.Tak hanya nyeri, badan Zahra yang juga sedang demam dan menggigil. Ia memakai selimut tebal untuk melindungi dirinya."Mas Hisyam," lirih Zahra lagi sambil meremas perutnya. Ia membuka selimutnya dan merogoh ponsel yang ia letakkan di ujung bantal. Zahra tak lagi bisa berdiam diri di rumah. Ia membutuhkan pertolongan. Namun ketika Zahra hendak melakukan panggilan, ia teringat akan obat yang ia konsumsi sepulang dari apartemen Angga. "Apa ini efek samping dari obat itu? Atau obat ini sedang bereaksi?" gumam Zahra. Mendadak ia takut akan respon Hisyam jika saja ia menghubungi dan meminta bantuan suaminya.Tak lagi menghubungi Hisyam,
"Anak kamu cantik," bisik Zain setelah Aini keluar dari ruang persalinan. Ia berada di dalam ruang perawatan sambil menunggu Khalid datang. Entah apa yang menghambat perjalanan Khalid hingga tidak kunjung datang sampai bayi itu selesai dibersihkan.Aini tersenyum mendengar ucapan Zain. Ia bersyukur setidaknya ada yang bersedia menemaninya hingga anak yang selama ini ditunggunya keluar untuk menatap indahnya dunia.Seorang perawat datang sambil mendorong box bayi ke dalam ruangan. Ia meletakkan box itu ke sebelah bed tempat Aini terbaring."Silahkan diadzani ya, Pak." Perawat itu berujar, lalu pergi meninggalkan laki-laki dan perempuan yang sudah berada dalam satu ruangan itu."Apa boleh jika aku yang mengadzaninya?" tanya Zain sambil menatap Aini menunggu jawaban."Yang ada di sini cuma Mas. Nunggu siapa lagi memangnya?""Khalid mungkin?" Zain mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya.Aini terkekeh. Kemudian kembali terdiam dengan mulut mengatup rapat."Kenapa gitu?" tanya Zain yang
Sebuah rumah minimalis di pinggiran kota Surabaya telah dibeli oleh Khalid untuk tempat tinggalnya bersama Aini. Kini rumah itu telah dibersihkan dan siap dihuni. Seorang pembantu sudah standby di rumah untuk menyambut kedatangan Aini dan bayinya."Kita beneran pindah, Mas?" tanya Aini masih belum percaya bahwa Khalid telah menyiapkan sebuah rumah untuknya."Iya. Tadinya rumah itu hanya Mas sewa, tapi mengingat kerjaanku sudah pindah di sini jadi sekalian aku minta buat dibeli. Alhamdulillah boleh. Ini rejekimu dan bayi kita. Rasanya Allah memudahkan semuanya. Proses jual beli itu rasanya singkat dan tidak bertele-tele."Aini tersenyum lembut. Ia berusaha menekan hatinya yang sejak kemarin terasa tidak nyaman dengan Khalid. Mungkin karena hormon ibu hamil yang sensitif ditambah dengan ia yang seringkali sendiri dan tidak ada teman untuk berbagi keluh kesah.Apalagi setiap orang tahu bahwa menjadi ibu hamil adalah titik paling manja seorang wanita dan itu tidak bisa dilakukan oleh Ain
"Katakan padaku apa yang sudah kamu lakukan dengan bayiku? Katakan hah!!!" pekik Hisyam tertahan. Wajahnya penuh dengan api yang siap membakar Zahra karna apa yang telah ia lakukan."Ampun, Mas! Aku tidak sengaja!" ujar Zahra dengan suara lemah. Dadanya berdebar karena ucapan Hisyam terdengar mengerikan."Bagaimana aku akan mengampunimu kalau kamu dengan sadar dan sengaja membunuh anak yang sudah lama kuharapkan! Aku sudah menuruti semua yang kamu minta, mulai dari menceraikan Aini, membuat resepsi yang mewah juga pergi honeymoon ke tempat-tempat wisata yang sudah lama kamu dambakan yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan sekarang kamu membunuhnya! Dasar kamu pembunuh!" sengit Hisyam berapi-api. "Tidak, Mas! Aku tidak membunuh!" sergah Zahra cepat. Ia tak mau disalahkan atas hal ini. Hati yang belum menghendaki keturunan membuatnya meremehkan hal yang besar bagi Hisyam."Sangat jarang sekali manusia yang mau mengakui kesalahannya!" Hisyam mencebik. Wajahnya melengos d
Sebuah acara syukuran kelahiran sedang digelar di rumah yang baru saja dibeli oleh Khalid. Acara itu sekaligus ucapan syukur Khalid karena sudah mendapatkan banyak sekali rejeki di tahun ini. Diantaranya ia sudah bisa menikahi Aini setelah sekian lama menunggu jandanya."Le, apa ngga sekalian aja kamu nikahin Aini? Ngga apapalah secara agama dulu agar kalian bisa tinggal bersama dan halal untuk bersentuhan," ujar Bu Airin memberi usul. Ia yang sedang menyiapkan berkat untuk undangan acara nanti malam mencoba memberikan idenya."Kenapa mendadak begini, Bu?" sergah Khalid sedikit keberatan."Lah kemarin kamu habis melamar Aini, mengapa ngga sekalian aja kamu nikahin dia? Untuk sementara nikah secara agama dulu ngga apa-apa, yang penting kalian bisa tinggal serumah dan halal untuk bersentuhan. Ibu khawatir aja sama kamu.""Khalid sudah dewasa, Bu. Khalid bisa menja-""Justru karena kamu sudah dewasa makanya ibu makin khawatir sama kamu. Kalian bisa bersikap biasa saja di depan orang lai
"Mas Angga" Ngapain kamu ke sini? Nanti Mas Hisyam marah sama kamu. Sama aku juga." Zahra berujar setelah kesadarannya penuh. Wajah yang berbeda dengan sosok yang sejak kemarin pergi dan tak kunjung kembali."Ngga akan. Dia ngga akan marah sama aku, apalagi sama kamu." Anga terus saja membelai wajah Zahra.Zahra menepis tangan Angga perlahan. Ia khawatir jika sewaktu-waktu Hisyam datang dan melihat Angga ada di dalam ruangan ini, apalagi saat ini Angga sedang membelai wajahnya."Jangan begini, Mas. Nanti Mas Hisyam marah sama aku." Zahra berusaha menghindari tangan Angga yang menyentuh wajahnya."Enggak, Sayang. Ngga akan. Aku sudah beresin dia.""Beresin?" tanya Zahra yang keadaannya mulai membaik."Iya. Aku dari rumahnya semalam.""Ngapain, Mas? Ngapain Mas ke rumahnya?" Zahra menatap wajah Angga dengan dahi yang berkerut. Ia tak paham dengan apo yang diucapkan oleh Angga barusan."Aku hanya datang ke rumahnya.""Mau ngapain?" sahut Zahra cepat. Rasa was-was akan terjadinya perkelah
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag