Sebuah acara syukuran kelahiran sedang digelar di rumah yang baru saja dibeli oleh Khalid. Acara itu sekaligus ucapan syukur Khalid karena sudah mendapatkan banyak sekali rejeki di tahun ini. Diantaranya ia sudah bisa menikahi Aini setelah sekian lama menunggu jandanya."Le, apa ngga sekalian aja kamu nikahin Aini? Ngga apapalah secara agama dulu agar kalian bisa tinggal bersama dan halal untuk bersentuhan," ujar Bu Airin memberi usul. Ia yang sedang menyiapkan berkat untuk undangan acara nanti malam mencoba memberikan idenya."Kenapa mendadak begini, Bu?" sergah Khalid sedikit keberatan."Lah kemarin kamu habis melamar Aini, mengapa ngga sekalian aja kamu nikahin dia? Untuk sementara nikah secara agama dulu ngga apa-apa, yang penting kalian bisa tinggal serumah dan halal untuk bersentuhan. Ibu khawatir aja sama kamu.""Khalid sudah dewasa, Bu. Khalid bisa menja-""Justru karena kamu sudah dewasa makanya ibu makin khawatir sama kamu. Kalian bisa bersikap biasa saja di depan orang lai
"Mas Angga" Ngapain kamu ke sini? Nanti Mas Hisyam marah sama kamu. Sama aku juga." Zahra berujar setelah kesadarannya penuh. Wajah yang berbeda dengan sosok yang sejak kemarin pergi dan tak kunjung kembali."Ngga akan. Dia ngga akan marah sama aku, apalagi sama kamu." Anga terus saja membelai wajah Zahra.Zahra menepis tangan Angga perlahan. Ia khawatir jika sewaktu-waktu Hisyam datang dan melihat Angga ada di dalam ruangan ini, apalagi saat ini Angga sedang membelai wajahnya."Jangan begini, Mas. Nanti Mas Hisyam marah sama aku." Zahra berusaha menghindari tangan Angga yang menyentuh wajahnya."Enggak, Sayang. Ngga akan. Aku sudah beresin dia.""Beresin?" tanya Zahra yang keadaannya mulai membaik."Iya. Aku dari rumahnya semalam.""Ngapain, Mas? Ngapain Mas ke rumahnya?" Zahra menatap wajah Angga dengan dahi yang berkerut. Ia tak paham dengan apo yang diucapkan oleh Angga barusan."Aku hanya datang ke rumahnya.""Mau ngapain?" sahut Zahra cepat. Rasa was-was akan terjadinya perkelah
Hisyam mengendarai mobilnya dengan perlahan. Satu koper besar berisi pakaian sudah berada dalam bagasi mobilnya. Ia harus pergi mencari kehidupan yang baru setelah apa yang terjadi dalam hidupnya.Mobil yang dikendarai Hisyam menepi. dadanya seperti sedang tertohok saat kepalanya kembali mengingat apa yang semalam terjadi di dalam rumahnya."Laki-laki macam apa kamu? Perempuan yang sedang sakit kamu biarkan di rumah sakit sendirian tanpa siapapun sementara kamu di sini sibuk meratapi nasib!" pekik Angga yang masuk ke dalam rumah Hisyam tanpa permisi. Ia mencengkeram baju Hisyam sambil mendorongnya ke sandaran kursi. Kilatan emosi terpancar dari geraman Angga serta tatapannya yang penuh dengan kobaran api."Siapa kamu?" pekik Hisyam sambil berusaha menepis cengkeraman tangan Angga. Napasnya hampir tersengal karena tangan Angga yang membuat tenggorokan Hisyam sulit menghirup udara bebas."Aku orang yang mencintai Zahra tapi harus mengikhlaskan dia karena lebih memilihmu. Sekarang kamu b
Hisyam menatap nanar punggung gadis kecil yang membawa keranjang itu. Ketidakberuntungan itu membuat bahunya kuat dan tahan banting. Bukan lagi memikirkan gadget atau uang jajan, yang dipikir adalah bagaimana mendapatkan uang untuk makan esok hari.Helaan napas panjang keluar dari bibir Hisyam. Selalu mendapatkan apa yang ia minta membuat jiwa berjuangnya tidak setangguh gadis kecil itu.Kopi dalam gelas itu lalu segera diseruput oleh Hisyam hingga tandas. Ia harus melanjutkan perjalannya kembali untuk mencari tempat tinggal yang baru.Dalam perjalanannya, Hisyam teringat akan Aisha yang tempat kerjanya searah dengan jalan yang ia lintasi.Mobil itu melaju menuju minimarket tempat Aisha bekerja. Ia harus mencari informasi mengenai Aini dan bayinya pada Aisha. Tak peduli atas penolakan Aisha ketika di rumah sakit, ia harus datang untuk mencobanya kembali. Mata Aisha membelalak saat mendapati Hisyam tiba-tiba berada di hadapannya. "Mau apa kemari?" tanya Aisha ketus.Seorang rekan Aish
Hisyam benar-benar memulai hidup barunya dari nol. Ia merintis sebuah usaha toko sembako setelah sebelumnya melihat-lihat berbagai macam pekerjaan yang tersedia di sana.Sebagai mantan manager di sebuah perusahaan retail tentu bukan hal yang sulit untuk Hisyam bergelut dengan dunia perdagangan. Apalagi banyak kenalan sales distributor aneka produk kebutuhan rumah tangga.Sebuah toko sembako berbentuk minimarket menjadi model usaha Hisyam. Pelanggan bebas mengambil barang yang mereka butuhkan di dalam rak display. Model dan bentuknya mirip seperti indoalpa pada umumnya, hanya saja ini adalah usaha milik perorangan.Hari berganti hari hingga hitungan bulan, usaha Hisyam makin berkembang dan makin banyak memiliki pembeli. Tak selalu untung besar, bagi Hisyam sebagai pelaku usaha yang baru merintis, untung besar bukanlah prioritas utama. Yang penting adalah membangun kepercayaan konsumen pada produk yang ia sediakan dan menambah jenis barang dagangan.Tidak memiliki tanggungan berupa biay
Pagi itu, Aini mengajak bayinya untuk pergi ke toko. Ia harus membantu Aisha memeriksa barang datang sekaligus menyiapkan tagihan yang harus dibayar."Kalau capek jangan memaksakan diri, lihat kondisi Adza. Kasihan kalau anak seusia Adza tidak bisa istirahat dengan tenang hanya karena kamu mementingkan kerjaan." Khalid memberi wejangan saat dalam perjalanan. "Iya siap, Mas. Nanti aku minta antar Aisha kalau Adza rewel." Aini menjawab sambil mendekap erat Adza dalam gendongannya."Bener ya? Jangan maksain loh."Aini mengangguk yakin. Sejak memiliki bayi, perhatian Khalid makin meluber. Ia tidak lagi merasa kesepian seperti ketika hamil dahulu."Beli cemilan yang banyak, biar Adza anteng.""Sudah ada di tas. Mas jangan khawatir. Paling nanti sama Aisha juga diajak pergi jajan sendiri. Kalau ada Aisha aku ngga seberapa keteteran sih. Soalnya Adza anteng sama dia.""Bayi memang bisa merasakan mana yang tulus mana yang modus."Aini tersenyum mengiyakan. Sejak buka toko baju, Aini memang s
"Tunggu Ai, aku cuma ingin bicara baik-baik denganmu," ucap suara itu. Tangannya masih berada diantara pintu dan gawangnya yang membuat Aini kepayahan mempertahankan pintu itu.Suara tangis Adzania membuat Aini makin panik. Ditambah dengan suara ocehan laki-laki itu yang tak mau berhenti dan terus memaksa untuk masuk ke dalam toko."Pergi, Mas! Aku tidak mau melihat kamu lagi. Pergi dari sini!" teriak Aini lantang. Sekuat tenaga ia menahan pintu itu agar tidak terbuka."Tidak, Ai! Izinkan aku untuk bicara denganmu sebentar saja. Aku tidak akan mengambil anakmu. Aku hanya ingin bicara, itu saja!" ucap suara itu yang tak lain adalah Hisyam."Janji padaku, Mas! Kamu tidak akan mengambil anakku!""Aku janji. Aku hanya ingin bicara denganmu." Hisyam berujar dengan mimik wajah serius.Suara Hisyam yang tegas itu membuat Aini luluh. Ia pun akhirnya membiarkan pintu itu terbuka dan dengan cepat menolong Adzania yang sejak tadi terus saja menangis.Aini mendekap bayinya dengan erat. Ia mengayu
Bibir Hisyam menganga melihat apa yang ada di depannya. Ia tercengang mendengar teriakan Aini. Baru kali ini ia melihat Aini marah seperti itu hingga bayi dalam dekapannya kembali menangis."Baiklah aku pergi. Sebelumnya harus kamu tahu bahwa apapun perasaan kamu saat ini padaku, aku tetap bapak kandung dari Adzania." Hisyam mengalah. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya jika Aini sudah seperti itu."Terserah Mas mau bilang apa. Aku ngga peduli." Aini menyahut dengan suara keras. Bahunya naik turun kepayahan mengatur napas karena emosi yang sudah diubun-ubun.Hisyam mengambil kembali buku tabungan itu lalu menatap dalam bayi dalam dekapan Aini. Bagaimana pun bencinya Aini tidak akan membuat hubungan darah bapak dan anak itu luntur seketika."Jaga anakku baik-baik, Ai. Aku percaya kamu adalah ibu yang baik buat anakku. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk bilang padaku. Nomor ponselku tetap aktif tapi aku tidak lagi tinggal di rumah ibu. Aku hijrah, aku sudah berubah lebih baik.
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag