Melissa tertawa lirih. Bibir yang terbuka itu menampakkan deretan giginya yang putih lagi bersih. Tawa Melissa yang renyah itu sungguh menyita perhatian laki-laki yang sedang duduk di depannya.Untuk sesaat, Khalid terhipnotis oleh wajah ayu yang dulu pernah menjadi pemilik hatinya, kemudian ia tersenyum miring. Wajah itu sungguh berbeda dengan ketika masih menajdi kekasihnya, jika dulu hanya sekedar putih dan bersih maka kini tampak glowing dan bersinar. Jika dulu rambutnya hanya lurus, kini terdapat gelombang di ujungnya.Betapa wajah ayu yang menjadi kebanggaan kaum hawa itu tak menjadikannya spesial ketika yang ada dalam isi kepalanya hanya materi. Di mata Khalid, Melissa sudah cacat."Menyesal? Aku bahkan tidak pernah berpikir demikian. Wajar saja jika seseorang membandingkan apa yang pernah ia miliki dengan apa yang saat ini dimiliki. Aku pun pernah berpikir demikian, tapi kalau menyesal aku tidak merasakannya.""Bagus. Harus seperti itu memang. Penyesalan tidak akan membuahkan
Seorang bidan baru saja memeriksa kondisi Zahra. Ia harus memastikan keadaan pasiennya sebelum memberikan suntikan kontrasepsi.Alat pengukur tekanan darah baru saja diletakkan di atas nakas, lalu sang bidan menyiapkan satu spet cairan kontrasepsi yang akan dimasukkan ke dalam badan Zahra dan akan bekerja sampai tiga bulan ke depan."Permisi ya, Bu." Bidan perempuan itu meminta izin sebelum menyuntikkan cairan berisi hormon tersebut.Rasa nyeri bak digigit semut terasa saat bidan itu menekan ujung spet yang berisi cairan tersebut. Matanya memejam untuk menikmati sensasi nyeri yang sedang menyapanya demi sebuah tujuan."Sudah, silahkan bangun kembali." Bidan itu bersuara setelah berhasil melakukan tugasnya.Zahra yang baru saja diperiksa segera turun dari bed. Ia kembali ke tempat duduknya semula untuk kembali berbincang sebelum menyelesaikan administrasinya."Silahkan kembali tiga bulan lagi ya, Bu? Ada kartu yang harus ibu bawa untuk melakukan suntikan rutin setiap tiga bulan sekali.
"Sekali lagi maaf, Mas," ujar Khalid sungkan pada Angga.Ya, lelaki yang hampir menabrak Zahra adalah Khalid. Mereka menikmati makan siang di kafe yang sama."Santai, Bro. Yang mau kamu tabrak sudah lari." Angga menjawab dengan kekehan ringan. Ekor matanya mendapati pemilik tubuh langsing itu sedang bersiap hendak menancap gas motornya untuk menghindarinya."Kalau gitu saya permisi, saya juga buru-buru," balas Khalid seraya mengangguk untuk berpamitan.Angga mengangguk membalas sapaan Khalid. Ia mengikuti gerak badan tegap itu berlalu menuju mobilnya. Sebuah mobil yang tak asing dalam pikirannya.Sejenak, Angga menatap mobil itu dengan serius, kemudian matanya mendapati plat nomor yang dulu sempat ia hafalkan saat menjalankan misi dari Zahra.Ya, mobil itu yang harus ia ikuti kemanapun perginya hingga sebuah kesempatan ia dapatkan. Sebuah hotel yang menjadi tujuan Khalid bersama Aini saat memeriksakan kondisi Aini ke sebuah klinik."Bagaimana bisa ketemu di sini?" gumam Angga. Ia kemb
"Kamu gila ya? Sudah bagus dia perhatian sama kamu, malah kamu tolak! Aku yang jomblo aja pengen segera punya cowok, eh kamu malah buang berlian yang sudah nempel di badan kamu!" omel Aisha saat Aini menceritakan apa yang baru saja ia lakukan pada Khalid."Aku lagi hamil, Sha. Mana mungkin aku menerima laki-laki lainnya? Lagian aku masih trauma sama Mas Hisyam. Ditambah ketemu Mas Zain, astagaaa bikin aku sudah ngga mood lagi kenal sama yang namanya laki-laki.""Zain? Siapa dia?" tanya Aisha dengan dahi mengernyit. Sorot matanya tak lepas dari wajah Aini yang tampak sayu."Dia, emm diaa bukan siapa-siapa," elak Aini mencoba menutupi. Wajahnya celingukan saat mendapati tatapan Aisha tertuju padanya.Aisha yang sudah kenal lama dengan Aini tidak bisa diam saja melihat gerak-gerik Aini yang tak biasanya. Seperti ada yang sedang ditutupi. Mata Aisha memicing menatap wajah Aini yang menunduk sambil menautkan dua jemarinya.Melihat Aini yang tak biasa, Aisha segera duduk di samping Aini. Ia
"Makasih, Bu," ujar Aisha setelah menerima lembaran kembalian dari ibu penjual.Namun, setelah kaki Aisha melangkah hingga luar tenda, Aini masih mematung sambil memegang sesuatu di tangannya. Matanya terlihat serius menatap lembaran yang ia pegang."Ck! Kenapa lagi tuh ibu-ibu?!" gumam Aisha. Ia pun kembali menghampiri Aini yang masih berdiri."Woii, ayoo," pekik Aisha tertahan. Tangannya yang tak terlalu besar itu memukul pelan bahu Aini hingga membuatnya berjingkat.Lembaran kertas yang dipegang Aini pun terjatuh seketika."Apa, Sha? Berapa?" tanya Aini geragapan. Tangannya merogoh dompet yang ada di dalam tas di bahunya."Sudah dibayar dari tadi juga! Kamu kenapa sih?" Aisha memberondong Aini dengan cercaan. Matanya menelisik wajah sahabat rasa saudara itu, kemudian ia mengikuti gerak benda yang baru saja menempel di atas tanah.Aini menggeleng cepat. Ia lantas mengambil kembali foto yang terjatuh itu, kemudian langkahnya menyusul Aisha yang sudah memakai helm dan bersiap untuk ke
"Aini sudah memintanya untuk menjauhi Aini, Bu." Aini berujar dengan suara tertahan."Dia baik, Nak.""Tapi posisi Aini sedang tidak bisa menerimanya, Bu. Aini hamil, Aini seorang janda sementara dia, anak orang terpandang. Keluarganya punya bisnis yang bagus dan karirnya cemerlang. Apa Aini pantas mendapatkannya?"Strata sosial memang rawan membuat seseorang merasa insecure. Terlebih Aini berasal dari panti asuhan yang notabene tak tahu siapa ibunya. Aini tahu diri, sebelum banyak yang mencemoohnya soal ini. Bu Fatimah menghela napas panjang. Berat memang, tapi amanah tetaplah amanah yang harus disampaikan. Bagaimana pun respon Aini, ia tetap harus menyampaikan apa yang Khalid minta."Bagaimana dengan Zain?" tanya Bu Fatimah."Mas Zain sudah menikah, Bu. Aini merasa dunia ini tak berpihak pada Aini. Berat sepertinya untuk kebahagiaan itu datang menghampiri Aini," kesal Aini. Kepalanya menunduk, nelangsa merasai takdir yang selalu tak berpihak padanya. Hatinya nelangsa merasai ujian
"Aini dimana, Bu?" tanya Khalid ketika langkahnya baru saja terhenti di depan Bu Fatimah yang tengah membersihkan halaman bersama beberapa anak asuhannya.Khalid mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru halaman. Bahkan matanya mencari sosok yang ia cari di dalam ruang tamu yang pintunya sedang terbuka lebar.Nihil. Khalid tidak menemukan siapapun di dalam ruang tamu itu kecuali foto-foto kegiatan panti dan piagam yang lainnya."Baru saja naik ojek online. Mungkin sekarang masih dalam perjalanan menuju terminal." Bu Fatimah berujar pelan. Ia merasa bersalah karena tak bisa membantu Khalid akan permintaannya beberapa waktu lalu. Ia tak tega memaksa Aini untuk membuka hati setelah apa yang Aini saksikan."Baiklah, saya permisi," ujar Khalid yang setelahnya bergegas pergi meninggalkan halaman rumah Bu Fatimah yang luas.Bu Fatimah menatap punggung laki-laki yang sedang berjuang itu. Dalam hatinya, ada doa baik agar hubungan anaknya dan laki-laki itu kembali berjalan baik, bahkan lebih
Aini berlari meninggalkan Khalid yang sedang berdiri tercengang karena sikap kerasnya. Penjelasan laki-laki di depannya belum usai tapi Aini terlanjur marah dan pergi. Akhirnya, Khalid hanya bisa mematung sambil menatap punggung Aini yang kian menjauh dengan perasaan bersalah campur nelangsa."Aku belum selesai, Ai! Harusnya kamu dengarkan aku dulu," lirih Khalid dengan pandangan lurus kepada punggung Aini. Ia menyesali sikapnya yang membuat Aini mungkin merasa tak berarti.Khalid melemparkan tangannya kesembarang arah sebagai luapan rasa kesal dalam dirinya. Ia tak mungkin lagi mengejar Aini jika sudah dalam keadaan yang seperti ini, lebih baik memberi waktu sendiri dulu untuk menghargai Aini dengan segala keputusan yang telah dia ambil demi bisa bicara dengan baik dikemudian hari.Tak lagi mengejar Aini, Khalid pun akhirnya kembali ke mobilnya. Hatinya terus berdoa agar Aini tetap dalam keadaan baik dan tidak terjadi hal apapun sampai tiba saat yang tepat untuk Khalid menjelaskan s
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag