"Murung aja, Ai," sapa Rama saat melihat Aini diam sambil melamun. Matanya menatap bagian luar toko melalui dinding kaca yang tepat berada di dekat meja kasir."Saya, emm saya mau," ucap Aini terbata. Ia ragu untuk mengungkapkan kegelisahannya."Mau apa, Ai? Saya dapat pesan dari Khalid untuk selalu menjaga dan membantu kamu setiap kamu butuh sesuatu." Rama berujar dengan mantapnya. Ia merasa bertanggung jawab atas diri Aini karena berdasarkan yang Khalid bilang Aini adalah calon istrinya.Aini menatap wajah Rama sekilas, lalu menunduk. Betapa bayang-bayang Khalid ada di manapun dalam dirinya. Ingin ia hidup bebas tanpa orang-orang yang pernah hadir di masa lalu dalam hidupnya, terlebih yang pernah menggoreskan luka."Saya mau resign." Akhirnya kalimat itu lolos dari bibir Aini."Lalu? Kamu akan kerja apa?"Aini kembali menunduk. Akta cerai sudah ada di tangannya. Tabungan pun dirasa cukup untuk memulai hidup baru tanpa bantuan Khalid sedikit pun. Tapi Aini masih belum tahu kerjaan ap
"Baru pulang, Nak?" tanya Bu Airin saat mendapati wajah putra sulungnya baru masuk ke dalam rumah. Wajah yang terlihat kusut dan murung itu membuat Bu Airin mengernyitkan dahinya.Khalid menjawab pertanyaan ibunya hanya dengan anggukan. Kaki yang jenjang itu pun berlalu meninggalkan ibunya yang masih memperhatikannya menuju ruang kamar."Kenapa Mas Khalid, Bu?' tanya Reina, adik Khalid. Ia menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ruang tengah setelah melihat wajah sang kakak yang tak biasanya. Melihat sikap Khalid, Bu Airin urung duduk. Mata tua itu sibuk mengamati punggung putranya hingga menghilang di balik pintu kamar."Lagi patah hati mungkin." Bu Airin membalas tatapan Reina sekilas."Lagian nyari yang model gimana sih? Ngga nikah-nikah!" oceh Reina sambil menjatuhkan badannya ke atas sofa. Ia meraih remot televisi untuk mengganti chanel kesukaannya."Sudah, jangan ikut urus masalah Masmu. Nanti kamu kena omel." "Kebanyakan ngomel sih, sampai cewek-cewek pada takut buat deket
Aini sedang menikmati semangkuk cap cai pemberian Nanda. Perutnya lapar sehingga capcai itu langsung habis dalam sekali makan."Libur, Mbak?" tanya Aini saat ia melihat Nanda baru saja keluar kamar. Ia duduk di teras sejenak untuk melepas jenuh yang sejak tadi membuat kepalanya pusing."Iya libur, Mbak. Mari, Mbak. Saya mau ke rumah Mama dulu," pamit Nanda pada Aini. Ia mengangguk sopan sebelum badannya berbalik meninggalkan Aini di kursinya."Iya, hati-hati, Mbak," jawab Aini ramah. Matanya menatap punggung yang kian menjauh dari pandangannya.Ada sebuah rasa yang membuat Aini makin merasa tidak nyaman di tempat ini. Nanda, ya kebaikan Nanda padanya membuatnya khawatir akan Zain yang sewaktu-waktu bisa saja berbuat nekat pada Aini. Ajakannya untuk pulang kampung bersama waktu itu menjadikan peringatan pada Aini untuk terus mawas diri agar tidak terlena.Aini menyandarkan punggungnya di sandaran kursi rotan yang dipernis indah. Tempat yang kerap ia gunakan untuk melepas penat dan meng
Sebuah ball room hotel berbintang telah diubah menjadi sebuah venue pernikahan yang cantik. Aneka macam bunga hidup telah melekat di tiap sudut panggung pelaminan yang siap diduduki oleh kedua mempelai. Wangi bunga sedap malam menguar di seluruh ruangan karena berada di tiap sudut ruangan.Di depan pintu masuk, terdapat gapura pelaminan yang penuh dengan tatanan kembang melingkar dari ujung hinga ujung yang lainnya. Mulai dari gapura itu pula terdapat karpet merah yang digelar hingga tangga pernikahan. Karpet itu sebagai rute perjalanan pengantin hingga duduk di singgasana yang indah di atas panggung.Bibir Zahra merekah sempurna saat mendapati roncean melati telah melekat sempurna di atas kepala dan di bahunya hingga menjuntai ke depan dada. Wangi melati itu menguar di seluruh ruangan yang digunakan untuk merias kedua mempelai.Tak hanya itu, ada cunduk mentul berjumlah lima buah yang telah menancap tepat diujung sanggul yang memiliki arti khusus.Badan Zahra makin terlihat anggun de
Seseorang berlari dengan kencang dari seberang jalan lalu mendorong tubuh Aini ke tepi jalan. Badan orang tersebut oleng dan terserempet motor yang tengah melintas itu.Sayangnya, pengendara yang melintas itu tidak mau berhenti. Pengemudi motor itu makin menarik kencang tuas gasnya untuk menghindari kejadian naas itu.Sebuah benturan mendarat di dahi dan siku orang tersebut. Banyak warga yang berdatangan saat melihat tubuh tegap yang telah menyelamatkan Aini tergeletak di pinggir jalan raya. Laki-laki itu tak sadarkan diri."Bawa ke rumah sakit.""Bawa ke pinggir dulu, biar aman.""Ambilkan air putih, kasihan itu!"Teriakan beberapa orang yang tak sengaja melihat kejadian itu. Mereka berbondong-bondong mendekati tubuh yang tergeletak untuk menolongnya.Zain berlari mendekati Aini. Syok dan panik bercampur jadi satu memadati hatinya. Ia sedikit lebih tenang saat mendapati Aini tidak terluka sedikitpun. "Kamu ngga apa-apa?" tanya Zain khawatir. "Perutmu? Ada kram ngga?" Zain melihat p
Aini tercengang mendengar pertanyaan Khalid. Alasan yang beberapa waktu lalu diberi ternyata masih menyisakan tanya dalam kepala Khalid. Kini, setelah sudah seperti ini bagaimana Aini akan mengelak?"Ada hubungan spesial?" tanya Khalid lagi. "Kulihat dari cara kalian berbicara seperti bukan seseorang yang baru kenal. Apa ada sesuatu diantara kalian yang aku tidak ketahui?" Mata itu, tak peduli dirinya sedang berada di atas brankar rumah sakit dan masih sempat menatap Aini dengan pandangan penuh tuntutan.Aini menggigit bibir bawahnya. Sedikit rasa sakit di bibir itu seiring dengan hatinya yang berdebar karena rasa takut."Apa aku harus bertanya pada Zain secara langsung?" ucap Khalid yang bernada ancaman. Pandangan itu masih saja tertancap dalam pada wajah Aini yang sudah berubah pucat.Aini masih terdiam. Pikirannya menimbang kalimat yang pas untuk menjelaskan hubungannya dengan Zain."Ai," panggil Khalid lagi yang seketika membuat arah pandang mata Aini tertuju pada wajah di depan
Aini mendadak gelisah setelah mengucapkan kalimat permohonan maaf pada Bu Airin. Sebelum telinganya mendengar ucapan yang sedikit menyakitkan, ia lebih dulu waspada agar tidak syok bila Bu Airin berujar yang sedikit menyakiti hatinya.Namun, betapa kaget badan Aini saat tangan Bu Airin malah mendarat pelan di bahunya, lalu berubah menjadi usapan lembut."Tak mengapa. Itu adalah bukti dari dalamnya perasaan Khalid ke kamu," ucap Bu Airin yang seketika membuat Aini menoleh.Dahi Aini mengernyit. Ia tak menyangka jika ibunda Khalid akan berujar demikian padanya."Ibu tidak marah?" tanya Aini tiba-tiba. Pertanyaan yang konyol, yang lantas membuat Bu Airin malah terkekeh."Bukankah kamu ragu untuk menerima anak saya sebagai pendamping hidup kamu?"Aini menatap wajah Bu Airin dan Khalid bergantian. Rasa bersalah mendadak menyergap hatinya yang sejak tadi sudah waspada."Bukan saya ragu akan perasaan Mas Khalid, hanya saja saya takut akan keluarga Mas Khalid tidak bisa menerima kondisi saya
Aroma kembang mawar yang bertaburan di atas ranjang memenuhi seisi ruangan. Tidak hanya kelopak mawar yang bertaburan, beberapa hiasan dari handuk turut menjadi bagian dari kamar pengantin yang telah disiapkan oleh vendor untuk kedua mempelai.Di atas ranjang di kamar pengantinya, Hisyam sedang terbaring dengan rasa tak sabaran yang membungkus hatinya. Permintaan Zahra yang telah ditunaikan membuatnya mengharapkan imbalan yang telah dijanjikan oleh Zahra.Rindu akan suara bayi dalam rumahnya membuat Hisyam rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Yaitu sebuah pernikahan impian yang digelar di dalam hotel mewah yang berhiaskan hiasan bunga segar nan wangi.Bibir Hisyam terkembang sempurna manakala Zahra muncul dibalik pintu kamar mandi. Pakaian yang membungkus badan Zahra yang langsing itu membuat Hisyam tak kuasa menahan salivanya. Pandangan matanya tak lepas dari badan langsing yang sedang berlenggak-lenggok menuju ranjang tempatnya berbarin
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag