Seseorang berlari dengan kencang dari seberang jalan lalu mendorong tubuh Aini ke tepi jalan. Badan orang tersebut oleng dan terserempet motor yang tengah melintas itu.Sayangnya, pengendara yang melintas itu tidak mau berhenti. Pengemudi motor itu makin menarik kencang tuas gasnya untuk menghindari kejadian naas itu.Sebuah benturan mendarat di dahi dan siku orang tersebut. Banyak warga yang berdatangan saat melihat tubuh tegap yang telah menyelamatkan Aini tergeletak di pinggir jalan raya. Laki-laki itu tak sadarkan diri."Bawa ke rumah sakit.""Bawa ke pinggir dulu, biar aman.""Ambilkan air putih, kasihan itu!"Teriakan beberapa orang yang tak sengaja melihat kejadian itu. Mereka berbondong-bondong mendekati tubuh yang tergeletak untuk menolongnya.Zain berlari mendekati Aini. Syok dan panik bercampur jadi satu memadati hatinya. Ia sedikit lebih tenang saat mendapati Aini tidak terluka sedikitpun. "Kamu ngga apa-apa?" tanya Zain khawatir. "Perutmu? Ada kram ngga?" Zain melihat p
Aini tercengang mendengar pertanyaan Khalid. Alasan yang beberapa waktu lalu diberi ternyata masih menyisakan tanya dalam kepala Khalid. Kini, setelah sudah seperti ini bagaimana Aini akan mengelak?"Ada hubungan spesial?" tanya Khalid lagi. "Kulihat dari cara kalian berbicara seperti bukan seseorang yang baru kenal. Apa ada sesuatu diantara kalian yang aku tidak ketahui?" Mata itu, tak peduli dirinya sedang berada di atas brankar rumah sakit dan masih sempat menatap Aini dengan pandangan penuh tuntutan.Aini menggigit bibir bawahnya. Sedikit rasa sakit di bibir itu seiring dengan hatinya yang berdebar karena rasa takut."Apa aku harus bertanya pada Zain secara langsung?" ucap Khalid yang bernada ancaman. Pandangan itu masih saja tertancap dalam pada wajah Aini yang sudah berubah pucat.Aini masih terdiam. Pikirannya menimbang kalimat yang pas untuk menjelaskan hubungannya dengan Zain."Ai," panggil Khalid lagi yang seketika membuat arah pandang mata Aini tertuju pada wajah di depan
Aini mendadak gelisah setelah mengucapkan kalimat permohonan maaf pada Bu Airin. Sebelum telinganya mendengar ucapan yang sedikit menyakitkan, ia lebih dulu waspada agar tidak syok bila Bu Airin berujar yang sedikit menyakiti hatinya.Namun, betapa kaget badan Aini saat tangan Bu Airin malah mendarat pelan di bahunya, lalu berubah menjadi usapan lembut."Tak mengapa. Itu adalah bukti dari dalamnya perasaan Khalid ke kamu," ucap Bu Airin yang seketika membuat Aini menoleh.Dahi Aini mengernyit. Ia tak menyangka jika ibunda Khalid akan berujar demikian padanya."Ibu tidak marah?" tanya Aini tiba-tiba. Pertanyaan yang konyol, yang lantas membuat Bu Airin malah terkekeh."Bukankah kamu ragu untuk menerima anak saya sebagai pendamping hidup kamu?"Aini menatap wajah Bu Airin dan Khalid bergantian. Rasa bersalah mendadak menyergap hatinya yang sejak tadi sudah waspada."Bukan saya ragu akan perasaan Mas Khalid, hanya saja saya takut akan keluarga Mas Khalid tidak bisa menerima kondisi saya
Aroma kembang mawar yang bertaburan di atas ranjang memenuhi seisi ruangan. Tidak hanya kelopak mawar yang bertaburan, beberapa hiasan dari handuk turut menjadi bagian dari kamar pengantin yang telah disiapkan oleh vendor untuk kedua mempelai.Di atas ranjang di kamar pengantinya, Hisyam sedang terbaring dengan rasa tak sabaran yang membungkus hatinya. Permintaan Zahra yang telah ditunaikan membuatnya mengharapkan imbalan yang telah dijanjikan oleh Zahra.Rindu akan suara bayi dalam rumahnya membuat Hisyam rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Yaitu sebuah pernikahan impian yang digelar di dalam hotel mewah yang berhiaskan hiasan bunga segar nan wangi.Bibir Hisyam terkembang sempurna manakala Zahra muncul dibalik pintu kamar mandi. Pakaian yang membungkus badan Zahra yang langsing itu membuat Hisyam tak kuasa menahan salivanya. Pandangan matanya tak lepas dari badan langsing yang sedang berlenggak-lenggok menuju ranjang tempatnya berbarin
"Berapa, Bu?" tanya Zain pada penjual nas pecel lele dan ayam. Ia mengambil selembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya untuk diberikan kepada ibu pedagang."Ngga usah, Mas. Ini saja," sergah Aini sambil menepis tangan Zain agar tidak memberikan uangnya pada ibu pedagang."Bawa saja. Mumpung ada aku di sini, biar aku yang bayar. Kamu masih butuh uang itu untuk besok," sela Zain. Ia pun turut mendorong tangan Aini untuk tidak memberikan uangnya pada ibu pedagang."Tapi, Mas, ini bukan buat aku. Ini buat ibunya Mas Khalid." Aini masih mencari alasan untuk membiarkan dirinya saja yang membayar dua bungkus nasi."Buat kamu atau buat siapapun itu terserah yang penting aku ngasih buat kamu." Zain memasang seulas senyuman di wajahnya.Aini pun terpaksa menuruti apa yang diinginkan oleh Zain. Ia kembali memasukkan uangnya ke dalam dompet dan menerima plastik berisi dua bungkus nasi dengan ayam goreng dan lalap serta sambal.Tidak ada menu makanan yang dirasa pas untuk Bu Airin karena ya
Zain terkekeh mendengar ucapan Khalid yang sepertinya bernada ancaman. Ia memaklumi sikap Khalid karena setelah apa yang terjadi sebelum ini dengan hubungan mereka."Tenang, aku sudah mengetahuinya. Justru aku ke sini karena aku tahu soal ini dan aku harus bicara padamu." Zain mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius. Ia duduk di kursi dekat dengan nakas di sisi bed."Bicaralah, aku akan siap mendengarkan." Khalid berujar sambil memasang wajah serius."Aku harap, kamu akan memperlakukan Aini dengan baik, menerima keadaannya dan apa adanya diri Aini. Aku sudah seperti saudara buat Aini karena kami besar di lingkungan yang sama. Dia sudah kuanggap layaknya adikku sendiri dan aku harap kamu tidak menyia-nyiakannya seperti mantan suaminya.""Jangan khawatir. Setelah sekian lama menunggu bagaimana mungkin aku akan menyia-nyiakannya?"Zain menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya tak lepas dari wajah Khalid yang sedang berbicara."Baguslah. Aku tenang sekarang. Sayangnya kehamil
Aini merenung dalam kamarnya. Ia menimbang-nimbang keputusan yang akan dia ambil. Hingga kepalanya terasa berat.Tak lagi sanggup berpikir, Aini mengambil ponselnya. Ia menghubungi Aisha yang sudah lama tak memberinya kabar."Eeehh kenapa cemberut gitu? Bumil yang siap melahirkan, kenapa?" tanya Aisha saat panggilan videonya baru saja terhubung."Kamu jadi resign?" tanya Aini langsung. "Iya, tapi sama Pak Bos diundur-undur terus. Kayaknya doa secara ngga langsung ngga kasih izin aku resign. Soalnya pernah bilang kalau susah cari gantinya.""Nunggu open recruitmen kali?""Kayaknya gitu. Beda banget sama kamu dulu. Langsung aja berangkat tanpa nunggu. Kayaknya emang harus punya kenalan orang dalam deh!""Ish! Ngga gitu juga kali. Anggap aja belum waktunya," potong Aini."Ya habis, aku sudah nunggu dari sejak bilang ke kamu waktu itu tapi belum juga di kasih. Malah aku ditawari buat pindah store aja. Gila emang dia!""Ya ngga gila, Sha. Itu karena kinerja kamu bagus, makanya dia pertaha
Zahra sedang menyiapkan beberapa pakaian untuk dibawa pergi liburan ke Bali. Masa cuti keduanya masih ada sisa empat hari lagi. Senyum sumringah tak lepas dari wajahnya yang sudah segar sejak pagi. Pasalnya, sore nanti ia akan terbang menuju tempat yang sudah lama ia impikan."Aku bawa baju berapa helai ya, Mas? Kita akan kemana aja nanti?" tanya Zahra pada Hisyam yang sedang bermain ponsel di ujung ranjang.Di depan Hisyam itu terdapat beberapa tumpukan baju yang sudah dipilih Zahra untuk menjadi bahan pertimbangan baju apa yang akan ia bawa. Banyaknya baju dalam lemari menjadikannya pusing hendak memilih baju yang mana saja."Jangan bawa banyak-banyak lah. Nanti juga kamu di sama belanja lagi. Malah makin banyak bawaannya," jawab Hisyam tanpa menatap wajah Zahra yang kebingungan."Namanya juga perempuan, wajar aja kalau hobi belanja. Makanya, Mas cari penghasilan tambahan biar bisa ajakin aku shopping apa aja. Juga bisa ajak aku jalan-jalan ke kemanapun tempat yang aku suka. Pasti b
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag