"Mas Zain?" pekik Aini kaget. matanya sedikit membesar karena rasa terkejut."Apa kabar? Sehat?" ujar Zain. Sebuah kesempatan tak sengaja yang membuatnya merasa beruntung malam ini.Aini berusaha menetralkan ekspresinya kemudian tersenyum sedikit. Ia menoleh ke arah lain setelah melihat sosok yang mengagetkannya. Pandangannya tak boleh lama-lama bertemu, Aini belum sanggup."Alhamdulillah baik. Mas sendiri? Bahagia ya pasti, sudah punya pasangan hidup." Aini berujar tanpa menoleh ke aras Zain. Kelopak matanya berulang kali mengerjap untuk menghilangkan mendung yang mulai datang di wajah Aini."Alhamdulillah. Bahagia atau tidak, hidup harus terus berjalan. Meskipun sedang disapa oleh rasa penyesalan." Bibir Zain tersungging miring. Hatinya pun dihinggapi rasa yang menyesakkan dada."Kasihan sekali? Apa kabar gadis yang tiba-tiba Mas tinggalkan setelah memintanya untuk menyebut namamu dalam doanya?" Deg. Aini tak habis pikir, kenapa pertanyaan itu bisa lolos dengan mudahnya dari bibir
Sebuah gerakan tangan dari orang disebelahnya membuat tidur Hisyam terusik. Ia terbangun karena gerakan itu. Mimpi yang telah membuainya perlahan mengusik kesadarannya.Mata Hisyam terbuka. Ia sedang mengumpulkan puing-puing ingatan akan apa yang baru saja dimimpikannya. Dahi Hisyam berlipat-lipat seiring dengan ingatannya akan mimpi itu. "Apa benar Aini hamil? Apa benar itu anakku?" gumam Hisyam saat matanya terbuka. Kejadian dalam mimpi itu terasa nyata dan membuatnya tak lagi bisa membuatnya kembali larut dalam buaian mimpi.Laki-laki yang sedang dalam proses perceraian itu mengubah posisinya menjadi duduk bersandar head board ranjang. Tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas tepat di sebelah ranjang tempatnya tidur.Tangan kekar Hisyam mencari kontak milik Aini, sayangnya ia sudah lama menghapus nomor Aini dari dalam kotak penyimpanan nomor telepon yang ada di ponselnya."Ck! Masak aku yang harus tanya dia duluan?" gumam Hisyam. Pikirannya menimbang-nimbang langkah yang ak
Aini terduduk dengan kepala bertumpu di atas lutut. Dua bola indah di wajahnya memejam sambil bibirnya mengatup rapat karena menahan tangis. Apa yang baru saja dialaminya terasa nyata, tetapi ketika matanya terbuka semua hanyalah fatamorgana.Aini tergugu. Benteng pertahanan dalam dirinya tak sekuat baja. Wanita yang kuat diluar tapi lemah di dalam itu membiarkan mendung di wajahnya berubah menjadi hujan deras. Betapa hati yang sedang kacau itu masih saja diberi mimpi yang cukup membuat dadanya kian sesak. Tidak cukup dengan luka, Tuhan masih saja memberi sebuah mimpi yang manis tapi ternyata menyakitkan."Mengapa Allah mengujiku sedemikian hebatnya? Mengapa Ya Allah? Istri mana yang ketika hamil tidak ingin dibelai oleh suaminya, tapi apa daya jika laki-laki yang kucintai tak memperlakukanku seperti yang kuinginkan? Mengapa malah Kau beri mimpi yang sedemikian ini?" Aini meracau dalam tangisnya.Tak mau berlarut dalam tangis, Aini segera berdiri dan mengambil air wudhu.Sepertinya me
"Hai, Bos," sapa Rama pada Khalid yang sedang berkunjung di store tempatnya bekerja. Senyum sapa yang menjadi kewajiban setiap karyawan pun dilontarkannya kepada rekannya itu."Apa kabar? Sehat?" sapa Khalid. Tangannya terulur ke arah Rama yang sedang berdiri di depan komputer di meja kasir."Alhamdulillah sehat. Tumben nih? Lagi off ya?" jawab Rama setelah menerima uluran tangan Khalid. Selembar nota yang sedang direkap terpaksa ia letakkan untuk menyambut kedatangan Khalid di store ini."Iya, lagi mau ajak Aini jalan-jalan. Dimana dia?" Kepala Khalid celingukan. Ia mencari sosok yang sedang dicarinya diantara deretan rak yang berisi display-an barang-barang."Lagi di dalam gudang. Tadi aku minta tolong dia buat ambil barang, ada barang yang kosong," ujar Rama santai."Gila kamu! Dia lagi hamil kamu suruh angkat-angkat!" sungut Khalid tak terima. "Hamil? Mana tahu aku!" sahut Rama cepat."Ck! Kamu tega!" Khalid mendesis. "Ya mana aku tahu! Dia juga ngga bilang kalau lagi hamil!""B
Dunia seakan runtuh menimpa Khalid. Perjuangannya baru saja dimulai tapi sudah mendapatkan penolakan yang demikian tegasnya. Ucapan Aini tadi seakan cambuk yang dengan keras menghukum dirinya karena telah memulai usahanya. Bukan cinta yang ia dapatkan melainkan rasa kecewa yang menyesakkan.Khalid mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tak tahu harus bagaimana meluapkan apa yang sedang mengganjal di hatinya saat ini. Setelah sekian lama memendam cinta dan setia dengan perasaannya, kini Khalid bak di lepeh begitu saja. Setelah sekian lama berjuang untuk bisa bersabar dengan perasaannya, kini Khalid bak sedang di permainkan oleh takdir. Begitu sulit menggapai hati yang telah terluka untuk kembali merajut asa bersama-sama. Sementara ia menawarkan cinta dan kebahagiaan, nyatanya perempuan yang membuatnya mabuk kepayang itu tak mampu melihat dengan jelas apa yang ia miliki.Tangan kekar itu berulang kali memukul bundaran stir yang tak tahu apa-apa. Luapan amarah yang ia lampiask
Khalid bercerita banyak soal pertemuannya dengan Aini. Bagaimana ia jatuh hati pada Aini hingga cinta itu mengakar kuat di dalam relung hatinya sampai saat ini."Sayangnya, kemarin Aini meminta saya untuk pergi dan tak lagi menaruh harap padanya. Saya ngga bisa seperti ini, Bu. Saya cinta, saya ngga bisa jauh dari Aini. Bagaimana mungkin dia bisa meminta saya untuk tak lagi mencintainya? Padahal saya sudah berjanji akan menerima anaknya dengan segenap hati saya dan tidak akan menganggapnya sebagai anak tiri." Khalid berujar dengan serius. Bu Fatimah adalah harapan terakhirnya untuk bisa kembali menaruh harap pada Aini."Aini memang begitu. Dia keras kepala. Sama dengan ketika perkenalan bersama suaminya yang sekarang menceraikannya, Aini susah untuk percaya diri. Apalagi sekarang dia sedang terluka. Sebaiknya Nak Khalid bersabar untuk memberikan waktu pada Aini. Jika biasanya Nak Khalid begitu perhatian, maka untuk sementara Nak Khalid jangan hubungi dia dulu. Biarkan dia sendiri agar
Melissa tertawa lirih. Bibir yang terbuka itu menampakkan deretan giginya yang putih lagi bersih. Tawa Melissa yang renyah itu sungguh menyita perhatian laki-laki yang sedang duduk di depannya.Untuk sesaat, Khalid terhipnotis oleh wajah ayu yang dulu pernah menjadi pemilik hatinya, kemudian ia tersenyum miring. Wajah itu sungguh berbeda dengan ketika masih menajdi kekasihnya, jika dulu hanya sekedar putih dan bersih maka kini tampak glowing dan bersinar. Jika dulu rambutnya hanya lurus, kini terdapat gelombang di ujungnya.Betapa wajah ayu yang menjadi kebanggaan kaum hawa itu tak menjadikannya spesial ketika yang ada dalam isi kepalanya hanya materi. Di mata Khalid, Melissa sudah cacat."Menyesal? Aku bahkan tidak pernah berpikir demikian. Wajar saja jika seseorang membandingkan apa yang pernah ia miliki dengan apa yang saat ini dimiliki. Aku pun pernah berpikir demikian, tapi kalau menyesal aku tidak merasakannya.""Bagus. Harus seperti itu memang. Penyesalan tidak akan membuahkan
Seorang bidan baru saja memeriksa kondisi Zahra. Ia harus memastikan keadaan pasiennya sebelum memberikan suntikan kontrasepsi.Alat pengukur tekanan darah baru saja diletakkan di atas nakas, lalu sang bidan menyiapkan satu spet cairan kontrasepsi yang akan dimasukkan ke dalam badan Zahra dan akan bekerja sampai tiga bulan ke depan."Permisi ya, Bu." Bidan perempuan itu meminta izin sebelum menyuntikkan cairan berisi hormon tersebut.Rasa nyeri bak digigit semut terasa saat bidan itu menekan ujung spet yang berisi cairan tersebut. Matanya memejam untuk menikmati sensasi nyeri yang sedang menyapanya demi sebuah tujuan."Sudah, silahkan bangun kembali." Bidan itu bersuara setelah berhasil melakukan tugasnya.Zahra yang baru saja diperiksa segera turun dari bed. Ia kembali ke tempat duduknya semula untuk kembali berbincang sebelum menyelesaikan administrasinya."Silahkan kembali tiga bulan lagi ya, Bu? Ada kartu yang harus ibu bawa untuk melakukan suntikan rutin setiap tiga bulan sekali.
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag