Wajah Aini yang sedang terlelap sudah tersimpan rapi di dalam galeri ponsel Khalid. Ia merasa senang bisa mengambil gambar itu diam-diam tanpa sepengetahuan perempuan yang sedang membuat kembang-kembang dalam hatinya kembali bermekaran."Seandainya saja kamu tidak pernah menerima lamaran Hisyam, mungkin sekarang kamu sudah bahagia dalam pelukanku," gumam Khalid sambil tak membiarkan matanya beralih dari wajah Aini yang terlelap itu. Pipi yang bersih tanpa noda, mata yang hitam legam, hidung yang minimalis sederhana dan bibirnya yang tak terlalu tebal membuat Khalid tersenyum seketika.Dalam hati ingin sekali ia memeluk badan Aini atau minimal menggenggam tangannya sekali saja tapi Khalid tak punya nyali. Hatinya merasa harus menjaga Aini hingga benar-benar halal untuk dinikahi.Khalid tak mau mengalihkan pandangannya dari wajah Aini itu. Ia masih menikmatinya dalam diam dan senyum yang bebas. Tidak ada siapapun dalam mobil itu kecuali dirinya dan Aini yang terlelap, Khalid tak mau keh
Aini duduk termenung setelah memutus panggilannya sepihak. Kebahagiaan bersama pasangan yang diharapkan harus ia pupus. Demi anak yang ada di dalam rahimnya, Aini harus mengubur semua ingin dan harap itu. Ia tak mau membagi cintanya untuk orang lain selain anaknya kelak. Bagaimana pun caranya akan ia usahakan untuk memberikan kebahagiaan itu untuk anaknya.Bibir Aini membuang napas kasar. Tangannya mengusap perutnya yang seringkali terasa berbeda dari biasanya. Ada sebuah rasa dibagian bawah perutnya yang kadang terasa tak nyaman."Ngga apa-apa, Bu. Itu perut Ibu sedang beradaptasi dengan keberadaan janin dalam rahim. Minta tolong bapaknya untuk diusap-usap saja biar tenang dan nyaman," ujar Bu Bidan saat ia periksakan kandungannya beberapa waktu lalu.Aini pun menunduk menatap perutnya. Hatinya diliputi kesedihan mendapati janin yang setelah ini tidak akan merasakan kasih sayang seorang bapak. Bahkan diusap perutnya saat hamil pun rasanya tak mungkin. "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi
"Kenapa memangnya?" sengit Aisha. Ya, perempuan yang baru saja keluar dari ruangan itu adalah Aisha. Ia berpamitan pada Khalid yang sedang menjaga meja kasir sebelum pengganti Aini datang.Zahra tersenyum merendahkan. Senyum miring yang keluar dari bibirnya membuat hati Aisha mendidih."Bahagia ya, sekarang? Sayangnya kebahagiaan itu hasil rampasan," ucap Aisha dengan nada penuh penekanan. Raut wajah yang seolah mengejek itu membuat dada Aisha turut terpantik emosi."Kenapa memangnya? Yang penting aku berhasil merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Sejak dulu aku mengharapkan Mas Hisyam untuk jadi suamiku, sayangnya perempuan panti asuhan itu merebut dia dariku," ucap Zahra penuh rasa bangga."Wow, bagus. Dasar pe-la-kor," jelas Aisha penuh penekanan saat mengucapkan kata pelakor. Matanya menatap tajam wajah yang sedang berdiri di depan meja kasir itu bak mata elang, tajam dan dalam."Sha, sudah. Beliau ini pelanggan, jangan begitu." Khalid mulai bersuara. Matanya menatap Aisha
"Husss, asal aja kalau ngomong!" sembur Aini. Meskipun mengelak, ia tak bisa mengubah rona wajahnya yang kadung bersemu merah. Untungnya Aisha tidak melihatnya. Jika saja ia tahu, Aini pasti dibuat makin tak karuan dengan godaannya."Udahlah, Ai. Mau aja. Kan dia baik sama kamu. Manis lagi, kalau sama kamu, berarti kamu memperbaiki keturunan." Aisha sedikit memaksa sambil menggoda Aini."Eh ini kenapa tiba-tiba bilang seperti itu? Baru juga denger suaraku, tanya kabar kek, gimana keadaanku atau yang lainnya tentang diriku, malah bicara soal Pak Khalid," balas Aini dengan suara yang dibuat seolah-olah sedang marah tetapi bibirnya sekuat tenaga menahan agar tidak tertawa."Selow dong, Ai. Kalau soal kabar kamu, aku yakin kamu bahagia. Itu suara sudah ceria banget. Mana kedengarannya lagi happy gitu." Aisha berusaha membela diri. Ia sudah paham betul bagaimana sahabatnya itu saat bersedih, suaranya tidak seceria itu.Urung menggoda Aisha, Aini pun tertawa."Oh iya. Beda ya emang suaraku
Dua pasang mata itu saling memandangi dengan kepulan ingatan yang terberai. Untuk sesaat, keduanya saling diam dan terpaku satu sama lainnya."Kamu Aini?" tanya seorang yang baru saja membuka pintu. Tangannya merapikan kaos yang baru saja dikenakannya."Mas kok bisa ada di sini? Sedang apa di kamar ini?" balas Aini dengan pertanyaan sambil menutupi rasa kagetnya.Perlahan Aini salah tingkah. Secuil harap yang dulu pernah ia miliki untuk bisa hidup bersama dan sudah ia kubur dalam-dalam kini mulai terusik. Rasa itu kembali meletup mencari celah untuk kembali tumbuh diantara rasa yang telah mati.Namun, Aini tersadar dengan sebuah kemungkinan yang mulai merasuki pikirannya."Mas suaminya Mbak Nanda?" tanya Aini lagi saat Zain, lelaki yang ada di depannya itu hanya terdiam tanpa bergerak.Mendengar nama Nanda, Zain bak ditampar kenyataan. Matanya mengerjap meraih kesadaran yang hampir saja melambung tinggi di angkasa."Eeh emm anu, iya. Aku suaminya Nanda. Kamu sedang apa di sini? Sejak
"Alhamdulillah," ujar Khalid setelah semua makanan itu berpindah ke perutnya. Ia membersihkan kertas pembungkus itu dan memasukkannya kembali ke dalam plastik untuk dibuang ke tempat sampah.Aini berdiri untuk mengambil sebotol air mineral yang ada di atas nakas. Ia mengulurkannya ke tangan Khalid."Makasih ya?" ucap Khalid. Ia membuka penutup botol lalu meneguk separuh isinya.Aini tersenyum. Pikirannya teringat sesuatu yang kemarin ia temukan di dalam tasnya. Perempuan yang sedang hamil itu pun segera membuka lemari dan mengambil amplop itu yang masih ia simpan di dalam tas besar yang membawa baju-bajunya.Dahi Khalid mengerut saat melihat benda yang tak asing berada di tangan Aini. Ia tak bertanya. Laki-laki yang menaruh rasa pada Aini itu hanya diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh perempuan di depannya ini."Sebelumnya saya minta maaf, saya tidak bisa menerima ini," ujar Aini seraya meletakkan amplop tersebut di depan Khalid. "Mengapa? Saya hanya ingin membantu kamu. Tidak
Khalid dan Aini berjalan bersisihan sambil melihat rak display yang berisi aneka kebutuhan rumah tangga. Mulai dari hal kecil dalam rumah tangga, semua tersedia di toko yang besar ini. Tangan kekar Khalid itu mendorong troli belanja yang masih kosong sementara Aini merasa ragu hendak mengambil satu barang pun.Perbandingan harga yang mencolok membuat Aini keki. Ia tak berani mengambil satu barang pun hingga melewati dua lorong yang berisi display-an alat makan berbahan melamin."Ngga ada yang cocok?" tanya Khalid sebab troli yang didorongnya belum terisi apapun. Langkah Khalid terhenti, rupanya perempuan di sebelahnya itu merasa tidak nyaman dengan situasi di dalam supermarket ini.Aini yang semula sedang melihat-lihat barang di kanan dan kirinya, segera menoleh dan tersenyum kecil ke arah Khalid. Bibirnya kelu untuk mengungkapkan alasan aslinya. Ia hanya mampu diam dan terus berjalan hingga berhasil melalui dua lorong tanpa satu barang pun yang ia ambil."Ngga usah sungkan, Ai. Ambi
"Mas Zain?" pekik Aini kaget. matanya sedikit membesar karena rasa terkejut."Apa kabar? Sehat?" ujar Zain. Sebuah kesempatan tak sengaja yang membuatnya merasa beruntung malam ini.Aini berusaha menetralkan ekspresinya kemudian tersenyum sedikit. Ia menoleh ke arah lain setelah melihat sosok yang mengagetkannya. Pandangannya tak boleh lama-lama bertemu, Aini belum sanggup."Alhamdulillah baik. Mas sendiri? Bahagia ya pasti, sudah punya pasangan hidup." Aini berujar tanpa menoleh ke aras Zain. Kelopak matanya berulang kali mengerjap untuk menghilangkan mendung yang mulai datang di wajah Aini."Alhamdulillah. Bahagia atau tidak, hidup harus terus berjalan. Meskipun sedang disapa oleh rasa penyesalan." Bibir Zain tersungging miring. Hatinya pun dihinggapi rasa yang menyesakkan dada."Kasihan sekali? Apa kabar gadis yang tiba-tiba Mas tinggalkan setelah memintanya untuk menyebut namamu dalam doanya?" Deg. Aini tak habis pikir, kenapa pertanyaan itu bisa lolos dengan mudahnya dari bibir
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag