Bab 120Selama masa iddah, Siti menjalaninya dengan hikmat dan juga mencoba untuk memberikan sedikit jarak dengan sang majikan agar tak terlalu dekat.Tapi beberapa kali mereka sempat menjalin diskusi mengenai tentang novel yang tengah booming. Putri juga tak lagi menanyakan soal ayahnya karena gadis kecil itu sudah tahu tentang hubungan Siti dan Adi.Siang ini gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Putri terlihat cukup lucu karena anak kecil memang sering kali mengotori seragamnya sendiri."Assalamualaikum, Putri pulang!"Sumi yang baru saja keluar dari kamarnya itu tampak tersenyum tipis setelah melihat Putri."Waalaikumsalam ... Kayaknya lagi seneng, nih! Ada apaan, Put? Cerita dong!"Seperti biasanya hubungan mereka berdua memang dekat layaknya sahabat. Tak peduli seberapa jauh umur Putri dan Sumi, keduanya tetap menjadi teman karena Sumi memang pandai dalam ngemong anak kecil.Siti tersenyum tipis. "Put, ganti bajunya dulu baru cerita sama Mbak Sumi."Gadis kecil itu men
Bab 121Kening Handi terlihat berkerut setelah dia membuka pintu rumahnya. Tampak Siti dan Putri begitu antusias seolah ada sesuatu yang besar dan menyenangkan akan terjadi.Namun pria dingin itu tentu saja tak ingin bertanya lebih dulu. Handi memilih pura-pura tak tahu apapun."Assalamualaikum," ujarnya.Dua orang yang tengah asik itu kini menoleh. Pandangan Putri terlihat dihiasi dengan binar penuh kebahagiaan. Tapi tidak dengan Siti. Wanita itu justru menundukkan kepalanya seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Eh, Om Handi sudah pulang?"Handi mengangguk pelan. Pria itu tampak mengendurkan dasinya dan juga melipat lengan kemejanya.Putri mendekat dan gadis kecil itu tiba-tiba menyambar tangan Handi. Dengan lembut dia menyalaminya."Waalaikumsalam ... Ibu tadi masak kwetiau goreng buat makan malam lho, Om!"Handi mengangkat salah satu alisnya. Pandangan pria itu kini melirik ke Siti. Dan, Siti menganggukkan kepala pelan."Iya, Pak. Makan malam hari ini kwetiau goreng," ujarnya mem
Bab 122Putri mendekat ke arah ibunya sambil membawa nampan yang kini telah kosong. Gadis kecil itu terlihat begitu semangat dan jauh lebih ceria dari sebelumnya.Siti yang melihatnya, sontak merasa heran dan penasaran."Kok Putri senyum-senyum sendiri?"Putri terkekeh pelan. "Om Handi bilang mau ajarin baca puisi yang bener, Bu! Putri jadi makin nggak sabar buat pentas di panggung," ujarnya.Kening Siti terlihat berkerut. Apa benar majikannya bersedia untuk meluangkan waktu guna membantu Putri?Tapi, Siti tak ingin membuat senyum manis putrinya lenyap. Dia memilih untuk diam dan tetap memberi semangat. "Ya sudah, Putri sekarang belajar dan kerjakan PR. Nanti kalau udah selesai baru kita latihan baca puisinya," ujar Siti. Dielusnya pelan puncak kepala Putri.Gadis kecil itu lagi-lagi mengangguk."Siap, Bu! Putri belajar dulu," ujarnya antusias dan langsung berlalu masuk ke dalam kamar.Untungnya, Putri sudah bisa membaca cukup lancar dan gadis kecil itu juga mengerjakan PR sendiri. M
Bab 123Putri makin bersemangat untuk belajar membaca puisi. Sudah tiga hari lamanya gadis kecil itu begitu tekun dan kini kian mahir. Bukan Siti saja yang merasa bangga, Handi juga sama."Sekian penampilan saya, terima kasih!"Siti bertepuk tangan sambil tersenyum. Gadis kecil yang tengah berdiri di tengah-tengah itu terkekeh pelan dan berlari mendekati Siti."Putri udah bagus bacanya, Bu?"Siti mengangguk dengan cepat. Dia tak bohong sama sekali karena putrinya barusan memang membacakan puisi dengan bagus. Bahkan bisa dibilang kemampuannya bisa disandingkan dengan anak yang umurnya jauh lebih besar darinya."Putri makin mahir, lho. Ibu nggak bohong! Putri pasti akan dapat banyak penggemar nanti setelah naik ke atas panggung," ujarnya.Handi yang duduk di sofa juga ikut tersenyum tipis. Meski memang senyumannya itu hampir tak terlihat. Tapi pria itu merasa senang karena dia telah berhasil mengajari Putri dan membuat gadis kecil itu semakin mahir dalam hal membaca puisi.Putri melirik
Bab 124Siti melirik ke arah gadis kecilnya yang kini telah terlelap. Pandangan wanita itu beralih menatap ponsel yang tergeletak tepat di atas meja samping kasurnya."Aku harus menghubungi Mas Adi," lirihnya.Tangan Siti terulur pelan dan meraih ponselnya. Siti memilih untuk keluar dari kamar karena tak ingin mengganggu ketenangan tidur anaknya. Wanita itu pergi ke taman belakang rumah.Suasana malam ini cukup dingin. Angin malam yang berhembus terasa begitu syahdu dengan cahaya rembulan yang menerangi jalanan. Perlahan tangannya mulai menekan nomor mantan suaminya yang masih dia hafal. Tapi wanita itu berhenti sesaat sambil memikirkan tentang konsekuensi yang harus dihadapinya karena menghubungi Adi. "Entah apa yang akan dipikirkan oleh Mas Adi. Tapi firasat ku mengatakan sesuatu yang buruk," lirihnya.Siti menghela napas berat. Bagaimanapun juga dia melakukan ini semua hanya karena memikirkan tentang perasaan Putri.Andai saja bukan karena kepepet, Siti juga tak ingin menghubungi
Bab 125Siti mengepalkan tangannya dengan erat. Tak bisa dipungkiri kini dia tengah merasa marah. Perkataan Adi makin melantur dan juga menyakitkan. Dia hanya ingin meminta pria itu sedikit berbelas kasih. Tapi negosiasi mungkin tak akan berjalan lancar. Buktinya, Adi juga makin sulit diajak bicara secara baik-baik"Terserah apa katamu, Mas. Tapi ingat satu hal ... Putri itu anakmu sendiri. Walau kita sudah bercerai sekalipun, Putri tetap darah dagingmu. Dia hanya ingin kita hadir sama-sama layaknya orang tua, bukan suami istri."Adi terkekeh pelan. Suara tawanya terdengar cukup menyebalkan."Seperti pernikahan kita yang sudah usai, dia juga bukan anakku lagi. Aku nggak perlu buang waktu untukmu ataupun Putri. Ingat itu!""Kamu keterlaluan, Mas!""Masa bodoh! Toh sejak awal aku sudah memberi peringatan kalau bercerai bukan solusi yang baik. Kamu yang ngotot buat pisah, Ti. Jadi jangan merengek kayak wanita murahan," sinisnya lagi.Siti tersentak kaget. Perkataan Adi telah membuat hati
Bab 126Siti mengikat rambut anaknya dan menghiasnya dengan pita berwarna merah. Gadis kecil itu tampak senang saat melihat penampilannya."Nah, Putri sekarang kelihatannya makin cantik!""Beneran, Bu?"Siti mengangguk pelan. Dia tak bohong sama sekali. Putri memang terlihat cantik di matanya. Bahkan bagi Siti, anaknya merupakan sosok yang paling cantik."Yuk kita sarapan dulu, Put. Terus berangkat deh ke sekolah," ajaknya.Gadis kecil itu kembali mengangguk dan keluar dari kamarnya sambil menggandeng tangan Siti. Pandangan mereka kini beralih menatap sosok pria yang tengah fokus menyantap sarapannya. Handi kini lebih sering makan di ruang makan. Sepertinya pria itu mulai merubah kebiasaan makan di ruang kerja. Handi juga merasa tak ada salahnya merubah suasana. Dia cukup bosan jika makan sendirian. Bahkan makanan enak terasa hambar karena tak ada teman makan."Pagi Om Handi, Mbak Sum dan Bi Yati!" Handi melirik sekilas ke arah gadis kecil yang baru saja keluar dari kamar. Dia mera
Bab 127Handi telah pergi beberapa menit yang lalu. Pria itu beralasan ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Siti juga tak berniat untuk terus membebani Handi. Setelah Siti selesai mencuci piring, wanita itu beralih melepas celemek dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Bi, aku berangkat dulu, ya?"Bi Yati mengangguk pelan. Siti melirik ke arah Sumi dan memberi kode seolah dia berpamitan. Putri tanpa diminta langsung berpamitan. Gadis kecil itu bahkan mencium tangan Bi Yati dan Sumi secara bergantian."Semoga acaranya sukses ya, Nduk."Putri mengangguk pelan. Dia kini berlalu pergi dan menggandeng tangan Siti. Untungnya, Siti berhasil menemukan taksi dengan cepat. Kini mereka berdua langsung melaju ke sekolah."Bu, Putri takut salah nanti," lirih gadis kecil itu. Siti tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok. Ibu yakin akan berjalan lancar. Putri hanya perlu membacanya seperti saat latihan," jelasnya.Putri mengangguk pelan. Dia mendongak dan menatap lekat wajah ibunya."Ayah