Bab 106Pandangan Handi beralih kembali pada Siti. "Kenapa diam saja? Ayo sarapan," ujarnya tegas dan serius.Siti terkejut setelah mendapat tawaran untuk sarapan bersama sang majikan. Wanita itu langsung menggeleng cepat untuk menolak secara halus."Nggak perlu, Pak. Saya bisa sarapan nanti saja," kilahnya."Duduk saja, Ti. Sumi, Bi Yati, kalian juga duduk dan sarapan."Tawaran Handi tentu saja membuat kedua asisten rumah tangga itu merasa sangat sungkan. Handi memang baik, tapi untuk makan satu meja dengan majikan rasanya tak sopan.Baik Siti, Sumi atau Bi Yati juga merasakan hal yang sama."Nggak usah, Pak. Kami bisa sarapan nanti saja. Bapak nikmati saja sarapannya. Kami permisi mau bersih-bersih dulu," kilah Bi Yati, wanita paruh baya itu juga menarik tangan Sumi.Handi menghela napas pelan. Sebenarnya dia tak memiliki tujuan lain kecuali agar bisa jadi lebih dekat dengan para pekerjanya. Semalam, Handi membaca sebuah buku yang berisi cara agar bisa menjadi pria idaman wanita. Sa
Bab 107Kau Buang Aku Kunikahi Bosmu Setelah Siti, Handi dan Putri sampai di taman yang berada di dekat sebuah mall, mereka bertiga bisa melihat dengan jelas keadaan taman yang tak terlalu ramai tapi ada beberapa anak kecil yang tengah bermain. Putri tampak begitu senang karena melihat ada banyak orang dan mereka semua terlihat bersenang-senang."Uwahhh! Tamannya bagus banget!"Siti tersenyum tipis saat melihat anaknya bahagia. Gadis kecil itu berlari menuju ke dalam taman."Put! Jangan lari-lari, ya? Tunggu Ibu dulu," ujarnya memperingatkan.Tiba-tiba Handi meraih tas berisi bekal serta peralatan untuk piknik dan pria itu memberikan kode pada Siti."Pergilah, saya yang akan menyiapkannya."Kening city terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena wanita itu sejujurnya merasa tak enak hati jika harus merepotkan Handi. Tapi situ juga tak memiliki pilihan lain karena putrinya kini telah masuk ke dalam taman dan mulai berlarian."Tapi Pak--""Nggak apa-apa. Jaga saja Put
Bab 108"Apa masakan saya enak, Pak?"Handi yang tengah asyik menyantap makanannya itu kini tampak terkejut. Pria itu hampir saja tersedak, tapi untungnya langsung diberikan minuman oleh Siti."Ma-maaf, Pak Handi. Saya nggak bermaksud buat anda jadi kaget," lirihnya penuh penyesalan.Handi menggeleng pelan. Tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, tapi sikapnya itu sudah menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.Meskipun begitu, Siti tetap saja merasa bersalah. "Pasti enak 'kan, Om? Ibu memang pinter masak, Putri suka semua makanan yang dimasak sama Ibu."Wajah Siti kini terlihat merah merona. Dia merasa tersanjung dengan pujian anaknya. Bahkan, Handi juga merasakan hal yang sama. Hanya saja pria itu memang tak tahu bagaimana caranya agar bisa mengatakan yang sebenarnya."Ibu harap Putri selalu bahagia. Lain kali Ibu bakal ajak ke taman lagi. Putri mau 'kan?"Putri mengangguk cepat. "Iya, Bu! Putri juga senang main sama Om Handi. Putri 'kan nggak pernah main ke taman sebelumnya, Ayah s
Bab 109"Kamu pasti akan menyesal Siti!""Menyesal?" Ucapannya terjeda sesaat, Siti hampir saja tertawa. Untuk apa dia menyesali keputusannya bercerai dengan Adi?Justru dia kini merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Tak ada lagi beban yang membuat punggungnya membungkuk. Siti kembali melirik ke arah sepupunya, "Nggak ada yang perlu disesali, Mbak. Jangan terlalu banyak ikut campur dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui," desisnya dengan nada bicara yang sinis.Wajah Eva terlihat semakin merah. Jelas wanita itu merasa marah. Namun Siti justru menarik sudut bibirnya kembali saat melihat kemarahan semakin membara di wajah Eva. Dia tak ingin membuang waktu sedikitpun hanya untuk meladeni tingkah kekanakkan sepupunya."Kurang ajar kamu, Ti! Aku ngomong kayak gini biar kamu itu sadar dan nggak jadi manusia berhati batu. Memangnya kamu pikir menghidupi seorang anak sendirian itu mudah?" Eva berkata sok pahlawan."Terserah apa yang mau kamu katakan, Mbak. Tapi, aku yakin bisa membesarkan an
Bab 110Dirga menghentikan mobilnya setelah dia melihat keberadaan Eva. Pria itu bergegas turun dari mobil untuk menghampiri istrinya."Sayang, maaf tadi agak macet. Kamu nggak nunggu--"Namun dalam sekejap mata, langkahnya melambat saat melihat ekspresi istrinya yang terlihat membara seolah tengah diselimuti dengan kemarahan."Eva? Ada apa?"Pandangan Eva beralih menatap suaminya. Tapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Eva. Wanita itu justru melemparkan tas belanja pada sang suami dan bergegas masuk ke dalam mobil.Untungnya Dirga dengan sikap menangkapnya. Tapi tetap saja dia merasa heran dengan sikap istrinya yang tiba-tiba marah."Apa aku membuat kesalahan, ya?"Dirga menghela napas berat. Tanpa membuang waktu sedikitpun pria itu langsung memasukkan tas-tas belanjaan ke dalam bagasi dan masuk ke dalam mobil. Diliriknya sang istri yang kini tampak melipat kedua tangan di depan dada. "Eva, Kenapa kamu tiba-tiba marah seperti ini? Apa kamu marah karena aku datang terla
Bab 111Siti menatap lekat sosok putrinya yang tampak rapi mengenakan seragam sekolah. Wanita itu tersenyum tipis sambil mengelus pelan puncak kepala gadis kecilnya dengan lembut."Putri senang nggak karena bisa berangkat sekolah lagi?" tanyanya pelan.Putri menganggukan kepalanya dengan cepat karena gadis kecil itu memang sudah merindukan masa-masa pergi ke sekolah dan bertemu dengan teman-temannya."Senang banget dong, Bu! Putri juga kangen sama Selly dan teman yang lain," cicitnya antusias."Ya sudah, ayo berangkat sekarang!" ujarnya seraya menggandeng tangan putrinya.Putri mengangguk lagi dan mereka berdua kini keluar dari kamar. Siti melirik ke arah Sumi dan Bi Yati. "Sum, Bibi ... aku keluar dulu buat antar Putri, ya?"Sumi mengangguk cepat. Begitu juga dengan Bi Yati. "Pergilah, Mbak. Hati-hati di jalan," ujar Sumi.Siti tersenyum tipis dan langsung menggandeng anaknya. Kali ini mereka berdua memutuskan untuk berangkat lebih pagi agar tak merepotkan Handi. Siti juga berniat
Bab 112"Dokumen tentang perencanaan rapat sudah selesai, Pak. Silahkan anda cek," ujar Rosa. Tangan wanita itu terulur pelan dan memberikan dokumen bersampul biru tua pada Handi.Handi mengangguk pelan dan menerima dokumen tersebut tanpa banyak bertanya. Pria itu mengeceknya perlahan agar bisa memastikan tak ada kesalahan sedikitpun sebelum rapat besok hari dilaksanakan."Oke, saya rasa ini sudah cukup, Rosa. Saya akan tandatangani nanti setelah membaca keseluruhannya. Kamu silahkan duduk kembali," ujarnya."Baik, Pak." Sejurus dengan perkataannya barusan, Rosa menundukkan kepala sejenak dan kembali duduk di kursi kerjanya.Handi menutup dokumen yang baru saja dibacanya beberapa menit lalu. Entah mengapa sejak tadi dia terus saja memikirkan Siti. Wanita itu terus hadir di dalam kepala dan membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih."Dia membuatku pusing," lirihnya.Rosa yang tengah mengecek dokumen kini melirik ke arah sang atasan yang baru saja bergumam lirih. Wanita itu yakin sempa
Bab 113Mata Siti berbinar senang saat melihat nominal yang baru saja masuk ke dalam rekeningnya."Masya Allah, ini banyak banget," lirihnya tak percaya.Uang lima puluh juta merupakan nominal yang sangat besar bagi Siti karena selama ini wanita itu hampir tak pernah memegang uang lebih dari 10 juta rupiah.Tak pernah sekalipun terbayangkan bahwa dia akan bisa menghasilkan uang dari memanfaatkan hobi serta meluangkan waktu sejenak seusai bekerja."Uang ini akan aku simpan sebagai tabungan Putri," lirihnya lagi sembari melihat putri kecilnya yang masih tertidur.Ada banyak hal yang harus dipikirkannya mulai sekarang karena Siti menjadi orang tua tunggal. Membesarkan seorang anak sendiri yang tentu saja membutuhkan biaya yang besar apalagi saat anak tersebut mulai beranjak tumbuh karena kebutuhan tentunya akan bertambah setiap harinya.Saat ini uang gajinya menjadi seorang asisten rumah tangga lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Putri. Baik pokok maupun sekunder telah terpenuhi.T