Bab 103"Sialan!"Adi memukul setir mobilnya dengan kasar. Napasnya kian memburu naik turun karena emosi. Perkataan Siti telah membuatnya terhina. Bagaimana tidak?Siti bahkan bersikap sangat arogan padahal seharusnya wanita itu menyesali keputusannya karena memilih untuk bercerai."Berani sekali wanita sialan itu menghinaku habis-habisan! Padahal seharusnya dia berlutut dan meminta untuk kembali. Tapi apa ini?"Adi pikir dia hanya diancam saja. Namun Siti benar-benar berniat untuk lepas darinya."Ha ... sialan! Awas saja, dia pasti akan kembali lagi. Aku yakin!"Usai mengontrol emosinya kembali, Adi menyalakan mesin mobil dan melajukannya hingga keluar dari area pengadilan agama. Besok, dia juga berencana untuk kembali ke kota tempatnya bekerja. Tak mungkin jika dia terus mengambil cuti karena Adi tahu ada banyak tikus licik yang berani untuk berbuat curang di belakangnya.Sepanjang perjalanan menuju rumah, Adi seringkali tersulut emosi karena dia masih ingat jelas ekspresi wajah ma
Bab 104"Kamu rindu padaku atau tubuhku?"Wajah Adi kini terlihat dihiasi dengan semburat merah merona. Tebakan Yayuk barusan tidaklah salah.Tangan pria itu kemudian terulur dan langsung mencengkram erat jemari Yayuk. Keduanya kembali bertatapan dengan mesra seperti kekasih yang baru saja bertemu setelah sekian lama."Dua-duanya," bisiknya pelan.Yayuk memutar bola matanya dengan malas. Dia sudah menebaknya sejak awal. Yayuk menarik tangannya kembali karena wanita itu enggan bicara omong kosong dengan Adi. Sudah cukup dia bermain-main dengan pria yang telah berani meremehkannya."Itu masalahmu sendiri, Adi. Jadi jangan mencariku hanya karena kamu butuh kepuasan," desisnya.Mata Adi kini terlihat membulat dengan sempurna setelah mendengar penolakan yang begitu menyakitkan terlontar dengan mudahnya dari bibir ranum Yayuk."A-apa? Kamu jangan bercanda, Yuk! Kenapa kamu malah--""Nggak usah marah, Di. Memangnya kamu sudah lupa perlakuanmu terakhir kali padaku, huh? Kamu bahkan tidak mau
Bab 105"Put, bangun. Udah pagi," lirih Siti.Gadis kecil itu mengerjapkan matanya perlahan sambil menguap. Kening Putri terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena Siti tiba-tiba membangunkannya."Ini 'kan hari minggu, Bu. Putri sekolahnya libur," lirihnya.Siti menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyum tipis dan mengelus pelan puncak kepala putrinya dengan lembut."Iya, Put. Ini memang hari Minggu, tapi sebaiknya kamu bangun karena kita akan pergi.""Kemana, Bu?""Putri pasti bosan karena di rumah saja, 'kan? Pak Handi ngajakin kita buat piknik ke taman," jelasnya.Seketika pula mata gadis kecil itu membulat dengan sempurna. Ada binar penuh kebahagiaan yang mulai muncul di bola matanya."Om Handi ngajak kita jalan-jalan, Bu?!"Siti mengangguk perlahan. Dia merasa senang saat melihat putrinya begitu bersemangat."Iya, Put. Makanya Putri bangun dan siap-siap, ya. Takutnya Pak Handi udah nungguin."Tanpa banyak bicara lagi gadis kecil itu langsung bangkit dari kas
Bab 106Pandangan Handi beralih kembali pada Siti. "Kenapa diam saja? Ayo sarapan," ujarnya tegas dan serius.Siti terkejut setelah mendapat tawaran untuk sarapan bersama sang majikan. Wanita itu langsung menggeleng cepat untuk menolak secara halus."Nggak perlu, Pak. Saya bisa sarapan nanti saja," kilahnya."Duduk saja, Ti. Sumi, Bi Yati, kalian juga duduk dan sarapan."Tawaran Handi tentu saja membuat kedua asisten rumah tangga itu merasa sangat sungkan. Handi memang baik, tapi untuk makan satu meja dengan majikan rasanya tak sopan.Baik Siti, Sumi atau Bi Yati juga merasakan hal yang sama."Nggak usah, Pak. Kami bisa sarapan nanti saja. Bapak nikmati saja sarapannya. Kami permisi mau bersih-bersih dulu," kilah Bi Yati, wanita paruh baya itu juga menarik tangan Sumi.Handi menghela napas pelan. Sebenarnya dia tak memiliki tujuan lain kecuali agar bisa jadi lebih dekat dengan para pekerjanya. Semalam, Handi membaca sebuah buku yang berisi cara agar bisa menjadi pria idaman wanita. Sa
Bab 107Kau Buang Aku Kunikahi Bosmu Setelah Siti, Handi dan Putri sampai di taman yang berada di dekat sebuah mall, mereka bertiga bisa melihat dengan jelas keadaan taman yang tak terlalu ramai tapi ada beberapa anak kecil yang tengah bermain. Putri tampak begitu senang karena melihat ada banyak orang dan mereka semua terlihat bersenang-senang."Uwahhh! Tamannya bagus banget!"Siti tersenyum tipis saat melihat anaknya bahagia. Gadis kecil itu berlari menuju ke dalam taman."Put! Jangan lari-lari, ya? Tunggu Ibu dulu," ujarnya memperingatkan.Tiba-tiba Handi meraih tas berisi bekal serta peralatan untuk piknik dan pria itu memberikan kode pada Siti."Pergilah, saya yang akan menyiapkannya."Kening city terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena wanita itu sejujurnya merasa tak enak hati jika harus merepotkan Handi. Tapi situ juga tak memiliki pilihan lain karena putrinya kini telah masuk ke dalam taman dan mulai berlarian."Tapi Pak--""Nggak apa-apa. Jaga saja Put
Bab 108"Apa masakan saya enak, Pak?"Handi yang tengah asyik menyantap makanannya itu kini tampak terkejut. Pria itu hampir saja tersedak, tapi untungnya langsung diberikan minuman oleh Siti."Ma-maaf, Pak Handi. Saya nggak bermaksud buat anda jadi kaget," lirihnya penuh penyesalan.Handi menggeleng pelan. Tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, tapi sikapnya itu sudah menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.Meskipun begitu, Siti tetap saja merasa bersalah. "Pasti enak 'kan, Om? Ibu memang pinter masak, Putri suka semua makanan yang dimasak sama Ibu."Wajah Siti kini terlihat merah merona. Dia merasa tersanjung dengan pujian anaknya. Bahkan, Handi juga merasakan hal yang sama. Hanya saja pria itu memang tak tahu bagaimana caranya agar bisa mengatakan yang sebenarnya."Ibu harap Putri selalu bahagia. Lain kali Ibu bakal ajak ke taman lagi. Putri mau 'kan?"Putri mengangguk cepat. "Iya, Bu! Putri juga senang main sama Om Handi. Putri 'kan nggak pernah main ke taman sebelumnya, Ayah s
Bab 109"Kamu pasti akan menyesal Siti!""Menyesal?" Ucapannya terjeda sesaat, Siti hampir saja tertawa. Untuk apa dia menyesali keputusannya bercerai dengan Adi?Justru dia kini merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Tak ada lagi beban yang membuat punggungnya membungkuk. Siti kembali melirik ke arah sepupunya, "Nggak ada yang perlu disesali, Mbak. Jangan terlalu banyak ikut campur dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui," desisnya dengan nada bicara yang sinis.Wajah Eva terlihat semakin merah. Jelas wanita itu merasa marah. Namun Siti justru menarik sudut bibirnya kembali saat melihat kemarahan semakin membara di wajah Eva. Dia tak ingin membuang waktu sedikitpun hanya untuk meladeni tingkah kekanakkan sepupunya."Kurang ajar kamu, Ti! Aku ngomong kayak gini biar kamu itu sadar dan nggak jadi manusia berhati batu. Memangnya kamu pikir menghidupi seorang anak sendirian itu mudah?" Eva berkata sok pahlawan."Terserah apa yang mau kamu katakan, Mbak. Tapi, aku yakin bisa membesarkan an
Bab 110Dirga menghentikan mobilnya setelah dia melihat keberadaan Eva. Pria itu bergegas turun dari mobil untuk menghampiri istrinya."Sayang, maaf tadi agak macet. Kamu nggak nunggu--"Namun dalam sekejap mata, langkahnya melambat saat melihat ekspresi istrinya yang terlihat membara seolah tengah diselimuti dengan kemarahan."Eva? Ada apa?"Pandangan Eva beralih menatap suaminya. Tapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Eva. Wanita itu justru melemparkan tas belanja pada sang suami dan bergegas masuk ke dalam mobil.Untungnya Dirga dengan sikap menangkapnya. Tapi tetap saja dia merasa heran dengan sikap istrinya yang tiba-tiba marah."Apa aku membuat kesalahan, ya?"Dirga menghela napas berat. Tanpa membuang waktu sedikitpun pria itu langsung memasukkan tas-tas belanjaan ke dalam bagasi dan masuk ke dalam mobil. Diliriknya sang istri yang kini tampak melipat kedua tangan di depan dada. "Eva, Kenapa kamu tiba-tiba marah seperti ini? Apa kamu marah karena aku datang terla