Hidup bergelimbang harta, pasangan hidup tampan tiada duanya, apalagi yang masih dibutuhkan Zara.
Cinta, cinta dari suaminya.Zara Sefani Brafesta, istri dari Vee Kanesh Bellamy, wanita yang tengah menjadi nyonya besar di rumah bak istana modern itu tangah disibukkan dengan suasana hati yang begitu kosong."Ma, bagus tidak?"Mengulas sedikit senyuman, Zara mengangguk saat putri satu-satunya yang ia miliki melontarkan sebuah pertanyaan yang alhasil mampu membuyarkan lamunan."Sini, Mama bantu."Gadis kecil berumur hampir delapan tahun itu menggeleng. "Rachel bisa sendiri, Ma." jawabnya.Bahkan sekeras apapun Zara ingin membantu atau juga bisa ia memanggil sang ahli untuk membuat kuku-kuku cantik anaknya maka, dengan keras pula gadis bernama Rachel Sivania Bellamy itu menolak."Rachel bisa sendiri Mama, Rachel akan memperlihatkan pada Papa hasil kerja keras ini," tolaknya hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu dihadapan ayahnya.Bahkan gadis berkulit cerah bening itu mampu membuat kerajinan tangan yang indah dan sudah mampu masuk di berbagai pameran yang tentu saja atas ikut campur tangan ayahnya.Vee Kanesh Bellamy; termasuk dalam jajaran pembianis kaya dan sukses di Indonesia, ia juga punya peran penting dalam perusahaan kerajinan tangan peninggalan kakeknya.Rachel selalu ingin tampil sempurna dan meniru apapun yang dilakukan oleh ayahnya, termasuk dalam bidang seni. Seni sudah melekat pada diri Vee, tak ayak sang anak ingin sekali menjadi duplikatnya. Rachel sangat mengagumi dan mengatakan bahwa inspirasi terbesarnya adalah ayahnya sendiri."Sebentar lagi Papa pulang, Rachel tidak mau mandi dulu?" tawar Zara."Baiklah Mama, nanti panggil Rachel kalau Papa sudah pulang," jawab antusias Rachel menuruti, diiringi dengan larian kecil memasuki kamar mandi.Zara sangat bahagia dan bangga memiliki putri penurut dan baik hati, dialah satu satunya harapan Zara untuk tetap mempertahankan semuanya."Kau pulang Vee," sapanya setelah suara knop pintu terdengar membuka dan netranya menangkap pria yang sejak delapan tahun lalu menjadi suaminya.Vee tidak menjawab, memilih berlalu, namun sedetik kemudian berhenti. "Dimana Rachel?" tanyanya meski enggan membalik badan, alhasil Zara hanya melihat punggung pria itu saja.Zara tersinggung karena diabaikan. Mungkin ini memang bukan pertama kalinya bahkan, Vee setiap hari tidak memperdulikannya. Tapi, rasanya tetap sama-sakit."Kamu tidak penasaran dengan keaadaanku, Vee? Apa kamu tidak bisa mencintaiku walau barang sedikitpun?"Vee tak bergeming dan hanya memilih diam. Muak dengan adegan drama cinta dari Zara yang sama sekali tidak diminatinya."Demi Rachel, lakukan demi Rachel, Vee?" pintanya parau dan pilu karena Vee tak kunjung menjawab.Vee mengepalkan tangannya. "Zara," suara berat itu terdengar menyeramkan. "Bukankah kita pernah membahasnya. Seribu kali kau menginginkan cintaku, seribu pula aku akan menolak. Hatiku sudah mati untuk dimasuki orang lain.""Vee, apakah itu artinya jika dia kembali kau akan bersamanya?" tanyanya lagi dengan kaki yang melemas, perlahan Zara mendudukkan tubuhnya di lantai yang teramat dingin tapi tidak melebihi hatinya yang telah membeku karena tak ada kehangatan yang mampu menyelimuti, dan selimut yang diinginkan Zara hanyalah seorang Vee, hanya pria itu satu-satunya.Vee menajamkan matanya, kilatan marah membobol pertahannannya. Pria itu muak sekali mendengar Zara mengungkit wanita masa lalunya, yang bahkan sangat dibencinya."Aku tidak akan pernah kembali pada wanita murahan itu, alasan aku disini karena Rachel, tolong hentikan ini Zara, aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh." Vee melirihkan suaranya, walaupun dia tidak bisa mencintai Zara, namun Vee sadar bahwa sikapnya selama ini sangatlah tidak benar.Tidak bisa dipungkiri, dengan jawaban yang diberikan Vee barusan, tengah berhasil memberi efek berbunga di hati Zara, ada perasaan lega bahwa pria itu tidak akan kembali pada wanitanya dulu."Apa kau bisa berjanji tidak akan meninggalkan aku dan Rachel, Vee?""Selama kau tidak mengecewakanku.""PAPA," teriak Rachel.Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membungkus badan mungilnya, dia berlari kecil menghapiri ayahnya. Vee membungkuk dengan tangan merentang siap untuk menangkap Rachel kemudian dibawa ke gendongannya.Zara bergegas untuk berdiri, mengusap air matanya, seolah baik-baik saja dan sedang tidak terjadi apa-apa. Keberuntungan memang sedang berpihak pada Zara, anak semata wayangnya tidak melihat kondisi mengenaskan ibunya."Anak Papa sudah mandi." Vee membubuhkan beberapa ciuman di pipi mulus Rachel."Papa lihat ini." Rachel memperlihatkan kuku lentiknya yang sudah dihiasi dengan indah yang tentu saja hasil polesannya sendiri."Cantik 'kan, Papa?" tanyanya melanjutkan.Mata gadis itu menggantung berharap jika ayahnya akan suka bahkan memujinya juga."Cantik sekali princess," jawabnya dengan senyum tanpa henti.Rachel memunculkan binaran dari dua bola matanya, pun Vee membawa gadis mungil itu masuk dalam kamar.***
Mungkin, hari Senin adalah hari yang menyebalkan untuk memulai aktivitas lagi setelah di timang-timang kesenangan tempo hari, baik itu untuk anak-anak yang akan terkuras otaknya oleh sebab bergumbul dengan guru dan buku pelajaran, ataupun para orang dewasa yang sibuk akan pekerjaan.
Tapi tidak untuk Lily, gadis itu sangat menantikan hari di mana dia akan menempuh pendidikan di sekolah barunya. Karena terlalu semangatnya, gadis itu sampai rela bangun pagi.Menyiapkan segala keperluannya sendiri tanpa merepotkan Rose sama sekali.Bagai menanam buah jeruk di padang pasir, tidak akan tumbuh. Biarlah ibarat itu mengisi otak Lily, bagaimana tidak, perkiraan gadis itu sangatlah jauh dari ekspektasi; benar saja dia sudah siap tapi, sesiap apa pun akan percuma apabila dia harus menunggu sang ibu tercinta yang belum bangun dari alam mimpinya."Huh. Semangat membaraku hilang ditelan ikan paus." Lily menggerutu sendiri.Baiklah. Untuk mengisi waktu kosongnya, Lily bergegas membuka laptop untuk sekedar mengirim sure kepada sahabat laki-laki yang dikenalnya sejak tiga tahun yang lalu.lilybernasamanta@g***l.com📧
Hello Sean, kau akan mendapatkan kejutan.***
Nuansa ini begitu asing, itu pikir Lily juga. Jika di Australia sana ia akan sampai sekolah pukul sembilan, maka, setelah informasi yang ia dapat, berselolah di sekolah dasar Indonesia mempunyai jam belajar yang jauh berbeda, lebih pagi.Hilir mudik sepasang kaki panjang dengan tangan berpegangan erat saling menuntun sama lain antara orang tua dan anak-anaknya yang mengantar untuk menempuh pendidikan.Berbeda juga dengan yang Lily alami dulunya. Gadis itu terbiasa dijemput bus sekolah, makanya ibunya itu sangat jarang mengantarnya langsung.Lily tidak ingin melewatkan kesempatan, ia juga tak kalah, masing-masing tangannya digantung oleh Jeffry dan Rose sampai masuk halaman sekolahan, sangat menyenangkan."Mom, Dad stop." Jeffry dan Rose pun ikut berhenti sesuai arahan Lily."Cukup sampai sini, Lily bisa masuk sendiri," pintanya tegas sekaligus menggemaskan-membuat kedua orang tuanya tersenyum memgembang."Have a good day at school, sweetheart." Rose tak lupa memberikan kecupan pada pucuk kepala Lily, lalu diikuti oleh Jeffry."Bye, Mommy, Daddy," pamit Lily seraya melangkahkan kaki masuk ke area sekolah, tak lupa juga dengan melambaikan tangannya keudara.Setelah beberapa hari menetap di Indonesia, memang hari inilah yang paling ditunggu oleh gadis berkuncir kuda itu. Lily bisa dikatakan sedikit tomboy, sama sekali tidak ada anggun-anggunnya, jika gadis kecil lainnya berdandan rapi, tidak untuk Lily, kemeja putih tepat di lengan digulung ke atas, jika nanti ada teguran, barulah ia akan merapikan, itu rencananya.Lily memiliki kulit dengan warna tan, meskipun ia baik-baik saja, tapi ada satu fakta yang tidak dapat ia cerna; ibu dan ayahnya memiliki kulit putih bersih, kenapa Lily tidak seperti orang tuanya. Apa mungkin karena Lily yang sering keluar berjemur matahari untuk bermain basket dan skeatboard?Entahlah."Sean," teriak Lily setelah mendapati anak laki-laki diujung sana, sedang bercengkrama dengan gadis yang berada disampingnya.Lily berlari kecil ke arah Sean yang baru saja dipanggilnya. Laki-laki bergigi kelinci itu tidak sendirian, disamping Sean ada gadis kecil yang terlihat seumuran dengannya."Apa aku tidak salah lihat? Apa ini maksud dari email-mu tadi pagi?" Sean masih meninggalkan keterjutannya meskipun sudah diyakini bahwa di depannya ini adalah Lily, gadis yang sudah menjadi temannya sejak tiga tahun tang lalu."Ayolah Sean, ini aku Lily Berna Samanta," ucap Lily meyakinkan.Lily menunjukkan muka datarnya tidak lupa merotasikan bola matanya, gadis itu sedikit melirik kearah seoseorang yang sedari tadi hanya diam disamping Sean sembari memandangnya.Sean yang merasa yakin pun akirnya memegang pipi gembul milik Lily serta mencubitnya dengan gemas. "Harusnya kamu bilang saja terus terang, tidak perlu memberi kode-kode aneh.""Sean lepas," pinta Lily menggerutu.Lily tidak berani membentak seperti kebiasaannya bersama Sean. Lily cukup tahu malu akarena ada gadis cantik disebelah Sean-tidak ingin memberi kesan urakan pada teman baru yang belum dikenalnya itu.Sean pun akhirnya melepaskan cubitannya dari pipi gembul milik Lily, tersenyum sejenak lalu menarik tangan Lily yang sontak membawa tubuh gadis itu kedalam pelukannya."Dasar gadis gembul, aku sangat merindukanmu, aku tidak sabar menunggu liburan selanjutnya untuk datang menemuimu."Lily sangat terkejut atas perlakuan yang diberikan oleh Sean. "Oke, aku sudah disini, jadi, cepat lepaskan." Lily masih dipelukan Sean tanpa memberontak; dalam hal ini, mereka memang sering melakukannya saat bertemu."Why hold on to someone when you know you must let them go?" ucap Sean penuh godaan.Ekspresi Lily bertambah suram, astaga, Sean memang keterlaluan, bagiamana bisa dia berbicara dengan lantang kalimat rayuan."Stup up, teman-temanmu terus melihatku, Se," bisik Lily lirih agar teman yang sebenarnya dimaksud oleh Lily tidak mendengarkannya. Alhasil, Sean melepas pelukan eratnya, tersenyum kikuk ala-ala remaja-dasar bocah piyik memaksa dewasa sebelum waktunya."Rachel, ini Lily temanku dari Australia." Sean mengenalkan Lily pada temannya yang memang sedari tadi tak berkutik melihat interaksi antara ia dan Lily."Hai aku Rachel, kita bisa berteman mulai sekarang," ucapnya dengan senyum mengembang yang mengarah kepada Lily dengan jabatan tangan.Lily tidak bodoh untuk melihat bahwa gadis bernama Rachel itu menunjukkan ekspresi tidak suka yang sengaja ditutipinya. Namun Lily mencoba untuk bersikap biasa saja. Ia hanya enggan memikirkan hal yang tidak tidak."Hai, Rachel, tentu saja, mari berteman."Lily dan Rachel berjabat tangan saling berkenalan, sungguh interaksi yang manis mengesampingkan perasaan aneh didalamnya, entah Rachel yang cemburu atau hanya perasaan anak-anak yang merasa jengkel apabila teman dekatnya berusaha diambil oleh orang lain.***
Suara pantulan bola basket menggema di salah satu taman belakang sekolah elit ini. Seorang gadis dan anak laki-laki saling beradu dan memperebutkan bola bak pemain profesional. Peluh-peluh keringat hasil pekerjaan mereka pun menetes deras dari dahi hingga menyentuh tanah.
Setelah menghabiskan waktu untuk belajar, Sean dan Lily memutuskan untuk bermain basket di lapangan yang memang sudah disediakan. Lily memang sudah mengetahui akan fasilitas basket untuk anak-anak yang ada di sekolah ini. Lapangan dan ring bola pun di sesuaikan untuk ukuran anak-anak. Hal ini juga yang menjadi daya tarik Lily untuk memantapkan hati memilih bersekolah di tempat ini."20-19, yaas, aku menang. Wleee," ledek Sean yang ternyata memenangkan pertandingan one by one dan di akhiri dengan menjulurkan lidahnya yang praktis membuat Lily super jengkel.Sangat menjengkelkan. Lily ingin berteriak tapi gengsi menolak, alhasil kumpulan emosi hanya teredam di dalam kepala saja."Jangan sombong dulu Sean, lain kali aku akan mengalahkanmu, tunggu saja." Kali ini Lily mengatakan dengan lantang.Lily jelas tidak terima diremehkan, gadis itu berbalik diiringin pantulan bola yang dilemparkannya ke sembarang arah. Marah. Gadis itu marah. Lihat saja, sorot matanya yang menatap tajam kearah Sean, menakutkan hingga membuat bulu kuduk anak laki-laki itu berdiri.Lily tidak suka kekalahan, sangat tidak suka.Sean agak bergidik ngeri, namun bukan Sean namanya jika tidak bisa membuat Lily luluh kembali. Berteman dengan Lily sejak umur lima tahun membuat Sean mengetahui segala apapun tentang gadis itu.Setelah sepuluh menit saling berdiam diri, akhirnya Sean menyerukan sebuah perdamaian, namun gagal karena sebelum ia melakukannya ada pria dewasa yang megintrupsi keduanya."Hai Boy, Girl, apa kalian tidak akan pulang kerumah?""Oh, hai Om," sapa Sean mendapati pria yang bertanya sembari mendekat kaearah mereka.Sign, Pee🍂
"Jaeko, apa perlumu memanggilku kesini?" protes Vee yang saat ini sudah berdiri di depan Jaeko yang sedang duduk santai memandang ke arah luar jendela-tepatnya di taman belakang sekolah milikknya. Jakarta Revolution Elementary School; adalah sekolah berbasis Internasional yang dikelola oleh John Jaeko Aditama. Pria yang hanya berjeda satu tahun lebih muda dari Vee itu adalah anak tunggal dari keluarga Aditama; yang terkenal dengan usahanya dalam membangun tren bisnis dalam bidang pendidikan. "Vee lihatlah," Jaeko menunjuk arah luar dari jendela yang terbuka dengan isyarat dagu dinaikkan keatas. "Masa anak-anak memang sangat menyenangkan ya, semangat yang membara dan pantang menyerah," ungkapnya melanjutkan tanpa memadang lawan bicara. Vee yang penasaran akan arah pembicaraan yng Jaeko berikan, lantas langsung saja mendekat ke arah pria itu, lalu memfokuskan pandangannya ke arah yang dimaksudkan. Vee mngerutkan kening. "Itu Sean 'kan?"
Vee sekarang sudah persis seperti pemandu wisata anak TK. Bagaiaman tidak, pria yang masih menggunakan setelan jas kantor itu sangat pusing sebelum sampai di tempat ini. Untuk menentukan tempat makan es krim saja membutuhkan waktu begitu lama, harus melewati sidang meja bundar dengan peserta tiga orang, minus Lily karena gadis itu tidak tahu apa-apa tentang Jakarta. Alhasil, keputusan ditangan Vee, mutlak sampai ke empat bokong mereka duduk saling berhadapan di meja kedai es krim di tengah kota ini. Meski sedikit pening, Vee tidak berbohong jika ia sangat senang. Keinginan Vee dari dulu memang ingin punya anak banyak. Bahkan, dia pernah sangat lantang membicarakan keinginannya ini pada kekasihnya waktu dulu. Sayang, aku ingin punya anak lima. Bak memori terulang kembali yang berhasil menoreh luka lama, Vee akhirnya segera menghapus bayangan masa lalunya, diganti dengan menatap satu persatu para kurcaci yang berada di depannya. V
Suhu dingin di pagi hari menyeruak menelungsupi ruang bernuansa merah maroon yang selama sebulan ini telah dihuninya. Bahkan, matahari pun juga belum mau memunculkan sinarnya sebagai penghangat, Rose merasa sangat dingin sampai lapisan tulangnya. Rose meremat baju bagian depan dada. "Kenapa dadaku sakit sekali." "Ya Tuhan kenapa kau menyiksaku, kenapa aku sangat merindukan dia," ucapnya lirih sembari mengelus dan menepuk-nepuk pelan dadanya yang menyesakkan. Semakin hari wanita berparas cantik ini tidak merasa lebih baik, justru ia semakin tersiksa walau harus rapat-rapat untuk menyembunyikan agar tidak muncul ke permukaan. Sebulan lamanya setelah pindah dari Australia ke Negara ini. Suasana Jakarta seakan membawanya kembali ke kenangan menyakitkan yang pernah di alaminya waktu dulu; sebuah penghianatan terbuka lebar dimatanya, penghancur kepercayaan yang sangat handal talak membuat hidupnya berantakan. Jiwa itu telah mati, tid
Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya. Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar. "Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan." "Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu. Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari
Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya. Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit. "Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya. "Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya. Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu me
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m