Vee sekarang sudah persis seperti pemandu wisata anak TK. Bagaiaman tidak, pria yang masih menggunakan setelan jas kantor itu sangat pusing sebelum sampai di tempat ini. Untuk menentukan tempat makan es krim saja membutuhkan waktu begitu lama, harus melewati sidang meja bundar dengan peserta tiga orang, minus Lily karena gadis itu tidak tahu apa-apa tentang Jakarta.
Alhasil, keputusan ditangan Vee, mutlak sampai ke empat bokong mereka duduk saling berhadapan di meja kedai es krim di tengah kota ini.
Meski sedikit pening, Vee tidak berbohong jika ia sangat senang. Keinginan Vee dari dulu memang ingin punya anak banyak. Bahkan, dia pernah sangat lantang membicarakan keinginannya ini pada kekasihnya waktu dulu.Sayang, aku ingin punya anak lima. Bak memori terulang kembali yang berhasil menoreh luka lama, Vee akhirnya segera menghapus bayangan masa lalunya, diganti dengan menatap satu persatu para kurcaci yang berada di depannya.
Vee hanya berandai-andai setiap harinya diisi oleh para malaikat kecil seperti ini di istana megah miliknya. Tapi nyatanya Vee sekarang hanya punya satu anak, dan sama sekali tidak ingin memberikan adik untuk putri semata wayangnya."Papa, Rachel mau ice cream rasa strawberry dengan bentuk bunga mawar.""Om, Sean pesan rasa green tea ya.""Uncle, Lily mau rasa original chocolate.""Sudah cukup, itu saja yang kalian pesan?" tanya Vee sembari memberi tawaran, ketiganya mengangguk serempak tanda menolak, sudah cukup.Vee terkekeh, sudah tidak bisa dihitung lagi bagaimana bibir pria itu melengkung ke atas. Lagi-lagi Vee hanya menghela napas bahagia. Seandainya di dalam hidupnya memiliki kebahagiaan yang sempurna. Tapi sayangnya rasa lelah akan memiliki kebahagiaan itu merenggutnya secara perlahan, hanya menyisakan sakit yang hanya perlu ditahan.Vee bergegas memesan dan tidak lama kemudian membawa berbagai es krim sesuai pesanan."Tara, ini pesanan kalian."Mata ketiga anak-anak itu berbinar secara bersamaan, dengan tidak sabarnya satu persatu tangan mungil mereka mulai mengambil es krim masing-masing. Sangat aneh, hari ini Jakarta cukup dingin dan mereka memilih mengguyur lambungnya dengan es krim.Suara dentingan telepon mengusik indra rungu, si empu yang merasa terpanggil pun segera mengambil ponsel dari saku coat warna hitam miliknya."Hei!" Sean terpekik melihat nama pemanggil dari pinselnya. "Ini maksudmu meminjam ponsel milikku tadi siang?" tanyanya kemudian pada Lily dengan menunjukkan screen ponselnya, terlihat jelas siapa yang menelfon disana.Tanggapan Lily hanya sebatas anggukan, cuek, datar, lalu mengisyaratkan Sean untuk cepat mengangkat telfonnya."Hello, Mommy Auntie," jawab Sean setelah menggeser tanda hijau di ponselnya lalu menempelkan benda itu di daun telinganya.📞"Sekarang aunty sangat yakin ini kau, Sean."Sean terkekeh menanggapi. "Iya Mommy Auntie, ini Sean," jelasnya.📞"Tadi Lily mengirim mengirim pesan, katanya kalian bermain basket sebentar, apa sekarang sudah selesai, dimana Lily sekarang?"Sean menangkap kekawatiran ibu Lily dari seberang sana, anak itu sedikit melirik ke arah Lily yang sedari tadi penasaran yang hanya menunjukan kedipan matanya berkali-kali."Lily sekarang bersamaku Mommy Auntie, kami sedang makan es kr,"Sreeeet.Lily tiba-tiba merebut ponsel milik Sean. "Hot chocolate Mommy, Lily sedang minum hot chocolate," ucapnya saat ponsel Sean sudah berada dikuasanya.Ketiga orang saksi bisu di radar yang sama dengan Lily pun mengerutkan dahi secara kompak atas seuntaian kalimat kebohongan yang mengurai dari bibir imut milik gadis cilik berkepang kuda itu.📞"Dek, Mommy tau kamu sedang berbohong."Lily pun segera turun dari kursi, beranjak menuju tempat pemesanan ice cream. "Auntie, can i order one hot chocolate?""Tentu saja bisa sweety, tunggu di mejamu ya." Lily pun berlari kembali ke kursinya, gerakan kecilnya mampu membuat Vee untuk memberikan sedikit uluran bantuan kepada Lily untuk naik lagi di kursi yang nyatanya memang sedikit tinggi dari pinggangnya."Thank you Uncle." bisik Lily beserta menjauhkan ponsel dari telinganya.Vee kembali ke tempatnya dengan senyum terpatri di wajahnya, tak ayak membuat putrinya Rachel sedikit cemburu—hal yang wajar bukan bila seorang ayah dekat dengan gadis kecil lain maka ia pasti akan sedikit tidak suka.Lily berlanjut dengan ponsel yang harus ditempelkan lagi ditelinganya. "See, Mommy dengar 'kan, Lily minum hot chocolate." Sedikit terdengar kekehan dari Rose akan kelakuan gadis nakalnya itu—pintar berbohong.📞"Baiklah, mau Mommy jemput kapan, dek?"
"Jangan," tolak Lily begitu cepat. "Suruh Pak Sam saja yang menyusul Lily kesini," pintanya melanjutkan.📞"Kenapa tidak minta Daddy yang menyusul?"Lily merasa tertohok akan pertanyaan yang di berikan ibunya, arah matanya mengedar kemana-mana, melihat Vee dan Rachel secara bergantian."Lily yakin sekali, Daddy pasti sangat sibuk, tadi pagi Lily denger Daddy telepon dengan Uncle Jack, mereka ada rapat sampai malam, maaf Mommy, Lily sedikit menguping tadi."Lily selalu merasa bersalah apabila tidak sengaja mendengar pembicaraan orang yang lebih tua, Lily bisa saja bungkam, hanya saja Lily terpaksa untuk mengatakannya. Ada sedikit sesal di raut wajahnya.📞"Baiklah, sebenarnya Mommy juga mau bilang, Mommy tidak bisa jemput Adek, ada operasi dadakan.""Oke Mommy, semoga berhasil operasinya, Lily akan berdoa untuk keselamatan pasien, i love you more than i can release, Mom. Lily akan segera share locatoin."Pip."Huuft!! Sean, ice cream musuh Mommy, apalagi hari ini dingin," marah Lily pada Sean hingga matanya melotot.Sean hanya terkekeh, melihat Lily yang sedang ber api-api seperti ini sangat menyenangkan baginya, sama sekali tidak merasa bersalah, memang sejatinya dia lupa jika hari ini sangat dingin."Maaf, tidak sengaja.""Kau ini selalu membuatku marah, untung aku masih memakannya sedikit, aku tidak membayangkan membohongi Mommy sebanyak tadi."Lily sedikit menyesal telah membohongi ibunya, meskipun hanya makan sedikit, sama saja berbohong. Lily tidak mau mendustai ibunya lebih banyak, takut dosa katanya."Lily sangat takut pada ibunya, ya?" pertanyaan Rachel yang tiba-tiba mendarat.Lily menoleh pada Rachel dan menetralkan amarahnya sebelum menjawab, "Sedikit, hanya saja tubuhku sedikit tidak bersahabat dengan cuaca dingin, Mommy selalu melarangku makan-makanan dingin di cuaca seperti ini," jelasnya.Seperti sedang menyesal sembari menunggu pesanan hot chocolate datang, Lily menaruh kepalanya di kedua telapak tangan dengan siku yang menyandar di meja lalu bibirnya pun mengatup-ngatup lucu.Lily merasa bosan dan menyesal tidak bisa menghabiskan ice cream yang sayangnya sudah ketahuan oleh ibunya, sekali lagi Lily melirik Sean dengan pelototan. "Apa?" Sean bertanya.Lily mengabaikan Sean, sangat jengkel sekali dengan laki-laki itu. Sebenarnya Lily bisa saja menghabiskan es krimnya sekarang juga, toh ibunya tidak ada didepannya. Namun, Lily bukanlah gadis yang seperti itu, selagi belum ketahuan tidak apa-apa diteruskan.Sean tidak terima di abaikan, lantas laki-laki itu menepuk kepala Lily. "Maaf. Tapi jangan diulangi lagi.""Kamu yang salah, kenapa aku yang tidak boleh mengulangi lagi."Sabar. Sean mengelus dada. "Maksudnya, saat cuaca dingin jangan sekali-kali makan es krim. Aku tidak mau mengaku salah, karena aku benar."Lily menghela napas panjang. Menarik tipis kedua sudut bibirnya, lalu mengangguk. Gadis itu tidak cukup keras kepala. Ia tahu salah dan tak seharusnya marah kepada Sean. "Sorry." ungkapnya.Sean tak pernah dibikin pusing oleh Lily. Gadis itu cukup bisa menempatkan diri. Tidak manja juga seperti anak perempuan lainnya. "It's ok."Vee melihat interaksi dua teman yang baru di pertemukan oleh sebab jarak yang jauh itu dibuat kagum. Sean dan Lily, meskipun sering adu gontok, keduanya saling sayang, sangat jelas terlihat.
Tiba-tiba Vee punya ide. Sebagai orang tua dan ayah yang baik, Vee merasakan segelintir rasa bersalah pada Lily yang baru saja membohongi ibunya. Sangat benar sekali, hari ini sangat dingin, tidak seharusnya Vee membawa mereka ke tempat surganya pecinta es yang kelewat manis dan menggiyurkan ini."Anak bandel ya kamu." Vee sedikit bercanda pada Lily dengan mencubit pelan hidung gadis itu."Hihihihi, maaf Uncle." Lily tersenyum lebar sembari menegakkan tubuhnya, senyum inilah yang paling menyiratkan kebahagiaan di hari ini. Senyuman itu. Vee membatin sembari menahan jantungnya yang mendadak ingin meledak yang praktis membuat kepalanya berpaling kesamping, ia mencoba menggeleng-gelengkan kepala, yang kiranya bisa menepis bayangan menyakitkan yang tiba-tiba ikut datang. Vee berdehem sejenak sebelum menatap Lily lagi. "Karena Lily tidak boleh makan ice cream, punya Lily biar Uncle yang makan, ya?""Tapi itu bekasku Uncle, sedikit aku makan tadi."Vee menggeleng. "Tidak masalah" jawabnya singkat sembari menggeser ice cream milik Lily untuk ditempatkan tepat di depannya.Lily seperti melupakan sesuatu. "Sean aku pinjam ponselmu lagi, lupa kirim lokasi pada Mommy."Sean pun mengulurkan ponsel miliknya, namun ditariknya lagi, Sean menunjukkan ekspresi yang sangat sulit ditebak, mungkin hanya Lily yang tahu maksudnya."What do you want, Se?" tanya Lily dengan tatapan datarnya."Marry me?" goda Sean sembari menaik-naikkan alisnya."Shut up, Sean!!" Lily melotot pada Sean. Baru saja berbaikan, Sean berulah lagi dan membuatnya geram.Vee yang menyaksikan pertikaian kecil di depannya itu diam-diam menahan tawa, sangat menggemaskan. Bagaimana mungkin Sean yang dikenalnya acuh bisa bertingkah berbalik 360 derajat dengan menggoda seorang gadis. Jaeko telah membuatnya tumbuh dengan baik sepertinya.Dibalik itu semua, tak ada yang menyadari mata Rachel berkaca-kaca dengan tangan mengepal mengakibatkan buku-buku jarinya memutih, entah apa yang di rasakan gadis cantik itu. Mungkin merasa posisinya telah direbut oleh Lily, baik di hadapan Sean maupun dihadapan ayahnya sendiri.Lily pun segera merebut ponsel dari tangan Sean, segeralah dia mengirim lokasinya pada ibunya."Uncle bisa mengantar Lily sebenarnya," tawar Vee."No Uncle, tidak boleh," tolak Lily spontan dengan jari telunjuk bergoyang ke kanan dan ke kiri bergantian."Kenapa?" Sean pun ikut penasaran."Lily baru ingat, beberapa hari yang lalu, saat Mommy dan Daddy menonton berita, Lily seperti melihat Uncle dan Rachel berada di dalammya. Lalu Lily menghampiri Mommy dan Daddy, tapi Mommy segera mematikan saluran TV. Saat Lily bertanya 'kenapa tv-nya dimatikan' Daddy menjawab, 'orang yang baru saja ada di tv itu terlalu tampan, takut kalau Mommy jatuh cinta, terkadang Daddy dan Mommy itu terlalu konyol Uncle."Lily menceritakan panjang kali lebar kali tinggi, Vee pun sempat tertawa agak terbahak mendengar kekonyolan keluarga gadis itu."Tadi 'kan Lily bilang sendiri, Mommy Lily sedang operasi dan Daddy Lily sedang rapat." Vee masih berusaha membujuk Lily dengan sisa tawanya."Tidak Uncle. Uncle itu terlalu terkenal, siapa tau Pak Sam bilang pada Mommy dan Daddy, bisa gawat, Daddy takut Mommy diculik orang tampan nantinya," lagi-lagi penjelasan Lily membuat Vee terbahak.Yasudahlah, padahal Vee tidak ada niat sedikitpun menculik orang, apalagi menculik ibu Lily ini, Vee akhirnya menyerah untuk membujuk Lily, toh gadis itu juga sudah mengirim lokasi kepada ibunya.Tapi tetap saja, Vee merasa bertanggung jawab untuk mengantar Lily pulang berkat janji dengan Jaeko yang sudah dibuat."Bagaimana kalau Lily batalkan saja, biar uncle yang mengantar pulang. Uncle sedikit memaksa. Bolehkah?"
Suhu dingin di pagi hari menyeruak menelungsupi ruang bernuansa merah maroon yang selama sebulan ini telah dihuninya. Bahkan, matahari pun juga belum mau memunculkan sinarnya sebagai penghangat, Rose merasa sangat dingin sampai lapisan tulangnya. Rose meremat baju bagian depan dada. "Kenapa dadaku sakit sekali." "Ya Tuhan kenapa kau menyiksaku, kenapa aku sangat merindukan dia," ucapnya lirih sembari mengelus dan menepuk-nepuk pelan dadanya yang menyesakkan. Semakin hari wanita berparas cantik ini tidak merasa lebih baik, justru ia semakin tersiksa walau harus rapat-rapat untuk menyembunyikan agar tidak muncul ke permukaan. Sebulan lamanya setelah pindah dari Australia ke Negara ini. Suasana Jakarta seakan membawanya kembali ke kenangan menyakitkan yang pernah di alaminya waktu dulu; sebuah penghianatan terbuka lebar dimatanya, penghancur kepercayaan yang sangat handal talak membuat hidupnya berantakan. Jiwa itu telah mati, tid
Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya. Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar. "Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan." "Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu. Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari
Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya. Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit. "Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya. "Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya. Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu me
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai
Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa. Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara. Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel. Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m