Suhu dingin di pagi hari menyeruak menelungsupi ruang bernuansa merah maroon yang selama sebulan ini telah dihuninya. Bahkan, matahari pun juga belum mau memunculkan sinarnya sebagai penghangat, Rose merasa sangat dingin sampai lapisan tulangnya.
Rose meremat baju bagian depan dada. "Kenapa dadaku sakit sekali.""Ya Tuhan kenapa kau menyiksaku, kenapa aku sangat merindukan dia," ucapnya lirih sembari mengelus dan menepuk-nepuk pelan dadanya yang menyesakkan.
Semakin hari wanita berparas cantik ini tidak merasa lebih baik, justru ia semakin tersiksa walau harus rapat-rapat untuk menyembunyikan agar tidak muncul ke permukaan.Sebulan lamanya setelah pindah dari Australia ke Negara ini. Suasana Jakarta seakan membawanya kembali ke kenangan menyakitkan yang pernah di alaminya waktu dulu; sebuah penghianatan terbuka lebar dimatanya, penghancur kepercayaan yang sangat handal talak membuat hidupnya berantakan.Jiwa itu telah mati, tidak bisa merasakan cinta dari siapapun yang mencoba memasukinya. Sebenarnya, kebaikan hatinya membuat orang tidak mampu untuk menyakitinya, paras cantikknya membuat orang selalu ingin mendekatinya, namun cinta yang dijaganya dulu justru mampu membuatnya menutup hati saat itu juga.Rose meringkuk pilu dibawah selimut, tak habis-habisnya membayangkan wajah tampan tambatan hati yang beribu-ribu kali ingin dimusnakan dari bumi. Namun Tuhan sangat kejam padanya, sampai tak mengijinkan walau sedetikpun memburamkan ingatan.Rose menyibak selimut, berdiri dan berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Tubuh dengan buntelan piyama hitam itu bersandar pada tembok dalam bilik, tangan kanannya memutar kran hingga air dingin berjatuhan dari shower. Rose bersimpuh bersamaan dengan memeluk lutut, tubuhnya basah kuyup, ia mencoba untuk melupakannya, tentang dia.Sayang, aku ingin punya anak lima.Percuma.Ingatannya kembali lagi ke masa lampau dimana bibir kekasihnya dulu dengan kekanakannya meminta hal yang menurutnya sangat menggemaskan jika didengar.
Anak lima. Jika saja semua berjalan dengan semestinya, sisa emoat bisa diusahakan.
Sore dulu; masih sangat terpatri jelas di memori, Rose membawa malaikat kecil, buah dari tanda cinta yang baru berkembang sangat imut di dalam perutnya yang masih rata. Sampai kenyataan yang dilihat membunuhnya perlahan, orang yang seharusnya menjadi sosok pahlawan dari janin itu tengah mengucap janji suci dengan wanita lain di ujung dalam sebuah gedung pernikahan."Aku membencimu, Vee. Sangat membencimu," ucapnya parau ditemani gemricik air disela rangkuman peristiwa bak film yang berotasi secara otomatis.Vee dulu sangat berarti, tapi nyatanya saat ini pria itu satu-satunya bisa membuat Rose hancur berkeping-keping, pria itu pula yang membuat Rose akhirnya menutup hati untuk orang lain. Bahkan, bayangan Vee saja tidak mampu menghilang dari pandangan.
Vee telah handal membuat Rose berantakan.Bagaimana?
Rose tidak bisa berbuat apa-apa selain rela hatinya merindu pun membenci dalam bersamaan.
Jika bisa memilih. Sudah sedari dulu ia berpaling ke pelukan pria lain. Tapi nyatanya hati menolak sangat tegas.
Cukup Lily, hanya Lily saja yang Rose butuhkan saat ini.
Jika Lily tidak ada. Cukup sudah. Hidupnya tak berarti apa-apa.
Tapi.
Sekali lagi Tuhan begitu tega menyiksa batin Rose. Disaat ia merasa semua baik-baik saja. Memori yang seharusnya lenyap seakan dimunculkan tanpa sebab, membuat hati yang masih membiru akibat pukulan bertambah lebam melebar.
Tapi Rose harus kuat bukan?
Disaat sakit hati tiba-tiba menyerang, hanya sakit fisiklah yang mampu menahan. Hanya itu yang bisa dilakukan.
Isakan demi isakan yang tak disadarinya ternyata telah membawa dirinya ke alam ketidak sadaran, Rose pingsan, mengenaskan. Hawa dingin ini menyiksanya begitu berat.
***Lily keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi, sepatu terpasang dengan lengkap, rambut sudah dikuncir kuda seperti biasanya. Gadis itu berlari kecil menuruni anak tangga, setelah sampai di lantai pertama, perhatiannya tesedot oleh kesunyian yang mencurigakan."Mommy," panggil Lily sedikit keras, tidak biasanya ibunya belum bangun untuk menyiapkan sarapan.Lily praktis menoleh kearah luar, lewat celah jendela ia memandang. Terang. Yang artinya memang sudah pagi, Lily sedang tidak mengigau. "Apa Mommy masih asik dengan mimpinya ya." gumam gadis itu.Lily menaruh tasnya asal di sofa, berlari tergesa ke arah kamar milik ibunya, tangan mungil itu meraih ganggang pintu, pemandangan pertama yang didapati Lily adalah kondisi ranjang yang masih berantakan, Lily juga ingat, Daddy tidak ada di rumah, sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jepang.Satu pintu lagi terbuka. Ruang kerja Jeffry, Lily pun segera berlari untuk mengintip ruangan. Tidak ada. Telinga Lily menagkap suara air dari balik kamar mandi. "Mommy pasti mandi." gumamnya.Dor.Dor.
Dor.
"Mommy, sudah agak siang lho, cepetan ya," teriak Lily.
Dor.
Dor.
Dor.
"Mom, buka pintunya."
Lily mencoba untuk membuka knop pintu berbahan kayu itu, namun nihil yang didapatinya, pintu terkunci rapat. Gadis itu menyadari bahwa Rose berada dibalik bilik kamar mandi dengan air yang mengguyur tanpa henti. Hingga yang membuat curiga Lily adalah; tak terdengar aktifitas layaknya orang mandi di dalam sana, ibunya pun tidak memberi sautan atas panggilan dan ketukan pintu yang ia timbulkan.Dor.
Dor.
Dor.
"Mommy, hiks, hiks, Mommy baik-baik saja 'kan?" Lily mulai menangis karena tidak tahan, sangat ketakutan jika ibunya sudah begini.
Dor.
Dor.
Dor.
"Mommy, hiks, hiks, hiks."
Lily beranjak dengan lari yang memburu, di carilah jam tangan canggih milikknya yang disimpan di tas sekolah, tidak lupa menyalakan radar satelit agar mudah dilacak.119 📞"Hello, hiks, bisakah kau membantuku hiks, Mommy pingsan di kamar mandi hiks, aku tidak bisa menolongnya hiks, kumohon cepat bantu aku."📞"Sweety kau tenanglah, kami akan segera kesana."Pip.Lily tergesa lagi, mengayunkan kaki pendeknya menuju kamar Rose, satu hal yang menjadi tujuannya. Ponsel ibunya.Lily mencarinya, kebetulan Dewi Fortuna berpihak padanya, secepat kaki melangkah, Lily meraihnya."Hiks, Uncle, hiks, Mommy pingsan di kamar mandi hiks, cepatlah kesini hiks, Lily takut, Lily sudah telepon ambulan."📞"Lily sayang, kau harus tenang ya, Uncle segera datang."Pip."Mommy, hiks, hiks. Lily takut Mommy."Lily berjalan perlahan menuju depan kamar mandi, tubuhnya melemas dan bergetar, pikirannya berkecamuk tanpa henti, hatinya sakit melihat keadaan yang selama ini sebenarnya tidak pernah baik-baik saja. Lily perlahan tersimpuh dengan tangannya yang lemah, mencoba mengetuk-ngetuk pintu tanpa lelah sedikitpun.***Lily tengah berada di dekapan wanita cantik bersurai pendek sebahu, wanita itu menenangkan Lily dari kedatangannya bersama Candra di kediaman Rose tadi.Candra keluar dari ruangan setelah menyelesaikan pemeriksaan pada adik perempuannya, pria berjas putih khas Dokter itu melangkahkan lebar-lebar kakinya guna mempercepat untuk segera menemui Wendie istrinya."Sayang, bagaimana keadaan Lily?""Dia tertidur Can, terlalu lelah menangis mungkin, aku yakin dia sedikit syok," jawab Wendie sembari mengelus surai panjang Lily.Candra mendudukkan dirinya disamping Wendie, bergantian meraih Lily untuk pelukannya, pipi gembil itupun didaratkan secara pelan di pundak lebar miliknya."Bagaimana dengan Rose?" tanya Wendie.Candra mengulas senyum pilu, merasa frustasi dengan kondisi adik kandungnya. "Untung saja tidak terlambat, tubuhnya hampir membiru, setelah ini akan dipindahkan di ruang VIP, agar Lily cepat istirahaat juga."Dibalik frustasinya Candra, Wendie merasa lega mendengar Rose tengah tertangani dengan baik."Syukurlah dia baik-baik saja, kamu bisa diandalkan, Sayang." senyum menghangatkan terbit dari ranum Wendie dengan tujuan menenangkan suaminya.
"Sangat sulit menjaganya, aku sangat ketakutan." ucap Candra bergetar.Candra mengeluarkan air mata yang sejak tadi nampak menumpuk ingin terjun ke pipi. Kekawatirannya memuncak saat ini, terlebih melihat Lily yang meringkuh pilu saat pertama kali datang tadi.Wendie mengulurkan tangan menggapai punggung suaminya, mengelus-ngelus disana. "Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik, yang terpenting Rose sudah baik-baik saja, untuk kedepannya kita pikirkan lagi, sekarang kita harus urus bocah cantik ini, kasian pasti pegal-pegal tidur dengan posisi seperti ini, ya?"Bujukan serta support dari Wendie tidak sia-sia sepertinya. Candra menurut atas nasehat istrinya. Melihat ke arah samping saat pintu terbuka; Rose sudah akan dipindahkan, maka dengan bergegas juga, sepasang suami istri itu mebawa langkahnya menuju ruang rawat inap Rose."Daddy, hiks, Daddy, Lily takut....hoaaam." Lily sepertinya mengigau di dekapan Candra.Candra yang tahu segera saja menenangkan Lily dengan mengelus punggung gadis itu. "Dia sangat ketakutan terlebih Jefrry tidak ada dirumah," lirih Candra berbisik pada sang istri."Kamu sudah ngabarin Jeffry, Can?" tanya Wendie yang seingatnya belum sempat mengabari Jeffry.
"Sudah, tadi aku sempat telepon sebentar, dia memaksa untuk pulang, tapi aku melarangnya, sampai membentaknya, aku merasa tidak enak," jelas Candra."Kamu ini kebiasaan sekali, kurangi kebiasaan membentak orang lain," protes Wendy yang mengetahui keburukkan suaminya yang tidak pernah berubah dan tak akan pernah bisa berubah."Dia itu keras kepala seperti Rose, Wen. Aku sudah bilang akan menjaga Rose sementara. Aku tidak mau membebaninya terlalu banyak."Candra tidak mau mengalah dan terus mebela diri, Wendie terpaksa mengalah, percuma saja berdebat dengan manusia jangkung itu, membuang-buang waktu dan tenaga saja."Kamu tidak ada jadwal memeriksa pasien lain? Tinggalkan mereka bersamaku, kamu bekerjalah, penuhi kewajibanmu," perintah Wendie mutlak.Wanita itu akan selalu mengingat jika suaminya ini adalah seorang Dokter yang mempunyai pasien banyak, tidak boleh seenaknya meninggalkan kewajiban, terlebih lagi dia adalah panutan di Rumah Sakit ini, CEO utama sekaligus pemilik Rumah Sakit."Titip mereka ya, Sayang," pamit Candra."Mereka adalah kewajibanku juga, Can. Aku sungguh tersinggung kamu berkata seperti itu," protes Wendie untuk kesekian kalinya dalam percakapan hari ini.Sifat tanggung jawab dan kepedulian Wendie terhadap keluarga Candra memang sangat tulus, Candra tahu betul itu, Candra sungguh sangat beruntung memiliki istri berhati malaikat seperti Wendie. Sekurang apapun kebahagiaan yang Candra dapat selama ini, Wendie lah pelengkap sempurna hidupnya."Maaf." hanya kata itu yang keluar dari mulut Candra, namun perlakuan romantis yang diberikan tidak akan perah berubah, sebelum meniggalkan ruang rawat inap ini, Candra sempat mencium kening istrinya cukup lama, bukti bersyukurnya memiliki istri sesabar dia.Sign, Pee🍂Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya. Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar. "Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan." "Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu. Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari
Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya. Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit. "Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya. "Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya. Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu me
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai
Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa. Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara. Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel. Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya. Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai. Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti. Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan,
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m