Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya.
Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar.
"Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan."
"Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu.
Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari, jagoan yang ternyata Sean itu sangat perduli dengan Lily.
"Memangnya ada apa dengan Lily, Sean?"
"Kalau Sean tau, Sean tidak akan sebingung ini, Mama. Hari ini Lily tidak masuk sekolah, tidak ada surat izin, email dari Sean tidak dibalas, satupun tidak dibalas," jawab Sean putus asa dan sedikit menjelaskan dengan paksa mengenai sahabatnya.
"Kamu tidak mencoba untuk menelponnya?"
Sean memandang sebentar ponsel yang berada digenggamannya, sedari tadi dia sudah membuka kontak telepon milik ibu Lily, tapi masih ragu.
"Mama tahu sendiri 'kan, Lily tidak pernah menggunakan ponsel. Telepon rumah juga Sean tidak punya. Cuma ada nomor ini." Sean menunjukkan nomor ponsel milik ibu Lily.
"Sean, coba tenangkan dirimu. Bagaimana kalau kamu mencoba memberanikan diri untuk menelepon, setidaknya kamu akan lega."
Lala, ibu dari Sean itu khawatir, terlebih putranya itu belum menyentuh makanan yang sudah sedari tadi ia siapkan. Daripada menghabiskan waktu menggukir lantai dengan kakinya, bukankah lebih baik jika Sean langsung menelpon saja.
"Sean," panggil Lala lagi yang mendapati Sean masih berdiam sembari memandangi layar ponsel miliknya, ternyata Sean masih ragu.
"Biar Mama yang telepon, dengan melihatmu seperti ini, Mama juga sedikit kawatir pada Lily. Boleh Sean?" pinta Lala lembut agar Sean lebih tenang, walau sedikit.
Lala itu sangat kenal dengan Rose, beberapa kali kebetulan bertemu saat menjemput anak masing-masing setelah bermain basket bersama di Australia waktu dulu.
Sean hanya mengangguk pasrah. Dengan tersenyum, Lala menyalin nomer ponsel milik Rose pada ponsel miliknya, tak membutuhkan waktu lama, Lala pun langsung saja menelpon.
'Halo, La'
Rose menjawab dari seberang sana, suara Rose sangat lemah, Lala bisa sangat jelas mendengarnya.
"Rose, maaf mengganggu, aku ibu Sean," ucap Lala dengan mata yang beberapa kali melirik Sean waspada.
'Hei, Lala, kamu sedang berakting? Kenapa telepon? Eh, Lily datang'
'Mommy, bisakah Mommy tidak mengangkat telepon? Mommy masih sakit dan baru saja siuman'
Suara bentakan dan protes itu sudah dipastikan adalah milik Lily.
Lala tidak bisa menulikan indra pendengarannya, mendengar Rose sakit sangat mengejutkan baginya, apalagi mendengar kata—baru saja siuman—Lala berfirasat buruk.
'Sstt, adek diam dulu ya, ini Auntie Lala yang telepon'
Rose pun mencoba untuk menenangkan Lily dari amarahnya. Lily pun menurut setelah tahu siapa yang menelpon ibunya.
"Maaf Rose, apakah kau sakit saat ini?" Lala tidak dapat mengontrol rasa penasaran, terpaksa bertanya karena dilanda kekawatiran.
'Iya, La, tapi sudah tidak apa-apa sekarang, aku sudah baik-baik saja kok'
Lala adalah sahabat karib Rose yang sayangnya hubungan mereka harus disembunyikan dari siapapun atas permintaan Rose sendiri.
Rose dan Lala berteman sejak kecil, namun saat umur sepuluh tahun, mereka harus berpisah karena Lala kembali ke Thailand—Negara kelahirannya. Keduanya kembali dipertemukan lagi tanpa sengaja tiga tahun yang lalu. Saat itu Lala yang menghabiskan liburan musim dingin bersama John Jaeko suaminya dan John Sean putranya di Australia—Rumah Nenek John yang satu komplek dengan rumah Rose.
Kebetulan yang luar biasa bukan?
Rose dan Lala bertemu saat sama-sama menjemput anak-anaknya di lapangan karena terlalu lama bermain basket sampai lupa waktu. Saat itulah keduanya saling melepas rindu, berhubungan sangat baik sampai sekarang, namun sangat dirahasiakan.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja, Rose. Sebenarnya Sean sangat kawatir pada Lily, karena Lily hari ini tidak masuk sekolah dengan tidak ada keterangan dan tidak membalas satupun email darinya."
Terdengar helaan nafas lembut dari balik telepon.
'Sebenarnya Lily sedikit terkejut melihatku sakit, dengan sangat terpaksa dia mengikutiku sampai Rumah Sakit, La. Sampaikan pada Sean dia baik-baik saja'
Rose menanggapi dengan suara yang tak begitu kuat.
Lala sedikit mendapatkan prasangka buruk. Curiga yang tiba-tiba mencuat diatas ubun-ubunnya membuat ia tidak begitu percaya jika Rose memang baik-baik saja. Mungkin nanti Lala harus memperingati Rose atas kepekaan dari dalam tubuhnya; Lala tidak mudah untuk dibohongi begitu saja.
Sean menarik-narik lengan ibunya, ingin berbicara sebentar pada Rose. Lala memberikan isyarat—tunggu—pada putranya dengan gerakan tangan melambai ke udara.
"Rose, Sean ingin berbicara padamu, apa boleh?"
'Tentu saja boleh, La'
Lala pun menyerahkan ponsel miliknya pada Sean. "Mommy Auntie baik-baik saja?" tanya Sean dengan nada kawatirnya.
'Mommy Auntie baik-baik saja, Sean'
Sean mengangguk. "Bolehkan Sean dan Mama mengunjungi Mommy Auntie?"
Sean melirik sebentar pada Lala atas permintaan spontannya pada Rose, seperti yang diharapkan, ibu Sean itu memberi anggukan dengan senyum teduh didalamnya—tanda setuju.
Ya, tentu saja Lala setuju, bahkan, jika Sean tidak memintapun, Lala sudah pasti akan menggebu menuju Rumah Sakit itu.
'Tentu saja boleh Sayang'
Mata Sean berbinar dengan terangnya. "Mommy Auntie dirawat di Rumah Sakit mana?" tanyanya antusias.
Lala yang berada disamping Sean sedikit lega melihat putranya yang sebelum ini lesu tak bernafsu yang terang membuatnya sedikit gelisah. Lala sangat tahu bagaimana pertemanan Sean dan Lily. Mereka berdua terlampau akrab hingga tak dapat terlepas satu sama lain. Apalagi Sean yang selalu meminta menghabiskan liburan ke Australia jika memiliki waktu luang, dan itu sangat wajib untuk dikabulkan. Beruntung saat ini Lily sudah berada di Negara yang sama, dan membuat Lala jadi lega karena kapanpun bisa melihat kebersamaan mereka.
'Mommy Auntie dirawat di Rumah Sakit Everleight Jakarta, Sean'
Sean mendongak melihat Mama nya. "Rumah Sakit Everleight Jakarta, Ma," ucapnya memberitahu yang langsung diangguki oleh Lala.
"Tunggu Sean dan Mama ya, Mommy Auntie."
'Hati-hati sayang'
Pip.
***
John Jaeko atau biasanya disapa Jaeko; saat ini sedang berlari terbirit seperti tidak kuat menahan kencing, langkah kaki panjangnya tak berhenti menghentak bangunan tinggi dan besar sebuah perusahaan, wajah gelisahnya tak bisa dipungkiri bahwa dia sedang membawa berita yang sangat genting terlebih penting.
Pandangannya terus brfokus ke arah depan, mata bergetar itu seolah mengatakan bahwa dirinya datang membawa sesuatu yang sangat berharga dan langka untuk didapatkan. Ya benar sekali, dengan senyum yang terpampang di lengkungan bibirnya walaupun bertolak belakang dengan gestur tubuhnya itu mampu membuat seseorang yang berada didepannya mengrenyit heran dan bertanya-tanya.
"Vee, aku menemukannya!!"
Jaeko berbicara dengan napas terengah-engah bersama badan yang membungkuk seraya tangan memegang lutut untuk meredakan napas yang memburu, ia tersenyum miring dengan bangganya.
"Menemukan apa, John?"
"Deredolent," jawabnya singkat.
Tumpukan berkas yang sedari tadi dibawa oleh Vee secara spontan terjatuh dari tangan berbalut jas biru dongker itu, tak bisa dibohongi betapa senang dan penasarannya akan sosok yang sangat sulit dicarinya selama dua tahun belakangan ini.
"Dimana? Cepat katakan padaku?" tanya Vee memburu.
Jaeko berdiri tegap berjalan pelan menghampiri Vee dengan wajah datar yang sangat sulit diartikan. "Ada berita baik dan buruk, Vee," ungkapnya.
Vee menautkan alisnya sebelum bertanya, "Apa itu?"
"Berita baiknya, dia ada di Indonesia, di Jakarta tepatnya, sinyalku sempat melacak, tapi dia terlalu pintar, aku tidak mampu mengikuti walau dua detik saja, mungkin memang cara kerjanya seperti itu." papar Jaeko detail.
"Dan kabar buruknya, lokasinya menghilang? Begitu?" tanya Vee sedikit menghakimi bersamaan menghempaskan tubuhnya di sofa-merasa frustasi.
Sebenarnya Vee bisa saja acuh dan tidak mau tahu, toh orang yang dicarinya itu sama sekali tidak merugikan perusahaan, tapi anehnya kenapa secara diam-diam.
Apakah dia tidak mau imbalan atau semacamnya?
Orang seperi apakah dia?
Lalu, kenapa melakukannya untuk Vee?
Jaeko menganggukkan kepalanya lalu ikut limbung di sofa. "Maaf Vee, belum bisa membantumu," ungkapnya penuh sesal.
Jaeko telah mengenal Vee semenjak remaja meski bersekolah di sekolahan yang berbeda, waktu itu mereka terbiasa bersama karena tergabung dalam Club basket. Namun, setelah lulus mereka terpisah sampai bertemu lagi lima tahun terakhir ini berkat perkenalan keluarga besar keduanya, atau lebih tepatnya pertemuan itu terjadi lagi saat perusahaan Vee tengah mengadakan pesta tahunan yang kebetulan mengundang keluarga besar Aditama, dan saat itulah mereka menjadi sangat akrab.
"Pasti akan sangat sulit untuk menemukannya lagi," pasrah Vee.
Vee maupun Jaeko sering sharing mengenai beberapa masalah satu sama lain, baik masalah pribadi maupun perusahaan. Vee sudah menganggap Jaeko sebagai adiknya sendiri, begitu pula sebaliknya dengan Jaeko. Tapi sayangnya, Jaeko yang kelewat membangkang itu enggan memanggil Vee dengan cara yang benar.
Saat ini Vee tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Zara istrinya yang nyatanya tidak dicintainnya dan buah hatinya yang biasanya di sebut Princess yang sangat dicintainya. Ibu satu-satunya yang dimilikinya memutuskan hubungan secara sepihak tepat setelah menggelar acara pernikahanmya dulu.
Vee sudah berkali-kali meminta penjelasan, namun nihil, hanya tolakan yang didapatinya. Ibunya sama sekali tidak ingin menunjukkan diri dihadapannya. Vee pun tak memiliki akses untuk mengetahui bagaimana kondisi ibunya yang sudah memasuki paruh baya.
"Hey, John, bagaimana Sean bisa mengenal Lily?" tanya Vee tiba-tiba memecah keheningan.
"Kenapa kau sangat penasaran dengan anak kecil, Vee? Kau sangat aneh!" ejek Jaeko.
Menurut pandangan seorang John Jaeko; Vee memang aneh, pertanyaan macam apa itu. Tidak biasanya Vee membicarakan hal mengenai manusia lain kecuali dalam lingkup keluarga. Sedangkan Lily bukan siapa-siapa yang menurut Jaeko tidak perlu masuk dalam obrolan yang akan dipertanyakan seorang Vee Kanesh Bellamy.
Vee berdecak diiringi lirikan tidak suka ke arah Jaeko yang ada disamping kanannya. "Kau ini, aku hanya penasaran, aku baru pertama melihat Lily waktu itu, dan anehnya Sean begitu akrab dan mencoba melamarnya di depanku asal kau tau."
Jaeko mengangguk dan yerkekeh sebagai respon. "Tapi Lily menolaknya 'kan. Jika ku ingat lagi, sepertinya sudah dua belas kali.," ungkapnya santai.
Memang benar yang dikatakan Jaeko saat ini. Sean, putranya itu terlalu polos dan jujur kepada Jaeko maupun Lala istrinya, tipe anak yang terbuka kepada orang tua.
"What the..." Vee membelalak tak percaya, menegakkan badannya lalu menghadap Jaeko untuk memastikan.
Jaeko praktis mengangguk, ia tidak berbohong. "Kenapa? Tidak percaya?" tanyanya atas keterkejutan Vee yang menurutnya begitu berlebihan.
Jaeko yang sebagai ayahnya saja santai, bahkan terkadang mengatai Sean tidak lebih jago darinya. Jaeko bahkan memamerkan pada Sean bahwa dirinya melamar Lala hanya sekali saja, dan langsung diterima.
"Jadi kau sudah tau? Apa Sean menceritakan padamu?" tanya Vee penasaran akan hubungan anak dan ayah itu.
"Dari hal kecil sampai besar, Sean selalu menceritakan padaku dan Lala."
Vee mengangguk mengerti dan mulai paham. "Pantas saja Sean sangat mirip denganmu."
"Sangat keren 'kan?" ungkap Jaeko bangga.
"Masih keren Sean," timpal mutlak Vee menurunkan tingkat kepercayaan John dalam sekali hantaman.
Belum sempat Jaeko melemparkan protes, dering ponsel yang berada disaku kanannya berbunyi. "Oh, Lala telepon, Vee?"
"Halo, sayang," saut Jaeko manja mengawali percakapan, namun berbeda dengan Lala istrinya.
'Sumpah geli, John'
Jaeko pun menekuk mukanya, sungguh kasian. "Tidak apa-apa Sayang, aku akan tetap seperti ini, ngomong-ngomong ada apa?"
Jaeko adalah tipe suami sabar dan sedikit bucin pada istrinya, apalagi jika itu urusan ranjang, merengek seperti bayi pun dilakukannya.
'Aku mau izin keluar dengan Sean untuk menjenguk Rose yang sedang opname'
Jaeko mengangguk. "Hati-hati. Titip salamku buat Rose. Maaf tidak bisa ikut. I love you sayang."
Bisa terdengar suara kekehan dari balik telepon sebelum Lala menjawab.
'I love you too, John'
Pip.
"Lala kenapa, Ko?" tanya Vee penasaran.
Jaeko yang masih fokus dengan layar ponselnya itu, pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Vee yang bertanya. "Ohh, izin menjenguk ibu Lily, opname," jawabnya.
Sebenarnya yang sangat membuat penasaran Vee adalah nama seseorang yang sempat disebut oleh Jaeko.
Rose. Iya. Nama itu. Vee menepisnya jauh-jauh. Orang dengan nama Rose sangatlah banyak dan belum tentu juga wanita yang berada dalam bayangannya yang menjadi pemilik panggilan itu.
"Kau juga kenal ibu Lily?" tanya Vee basa-basi.
"Iya, dari tiga tahun yang lalu."
"Oh, pantas kau dan Sean terlihat begitu akrab dengan Lily."
Vee sering menyaksikan interaksi yang akrab antara sepasang ayah anak itu dengan Lily yang terbilang baru satu bulan lalu dikenal olehnya. Ternyata sudah kenal dari lama. Ya pantas saja.
Namun yang menjadi pertanyaaan, darimana dan bagaimana keluarga Jaeko mengenal keluarga Lily tanpa sepengetahuan dirinya?
Seingat Vee, ia selalu tahu apapun tentang Jaeko.
Ya sudahlah, Vee tidak akan ikut campur, mengubur rasa penasarannya sekali ini saja.
Tapi tidak untuk lain kali.
Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya. Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit. "Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya. "Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya. Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu me
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai
Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa. Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara. Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel. Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya. Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai. Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti. Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan,
"Adek, kamu dimana?" teriak Rose sesaat setelah mendapati ruang tengah dimana biasanya di jam ini Lily bersantai sambil menonton TV. Rose telah mampu menata hatinya untuk memberanikan pulang ke rumah, mencoba untuk mengendalikan debaran-debaran menyakitkan setelah beberapa jam yang lalu bertemu kembali dengannya. Apa jadinya jika dirinya berantakan di depan buah hatinya sendiri, tidak membayangkan berbagai macam pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Lily mengingat tingkat kepekaan putrinya itu sungguh luar biasa "Adek, kamu dimana sih?" teriak Rose lebih keras lagi. Pintu terbuka dari lantai dua, itu dia anaknya, Lily berlari ke arah Rose dengan hati-hati, kaki mungilnya menuruni tangga, senyuman merekah itu mampu membuat Rose merasa sedikit lega, mungkin itulah obat paling manjur yang ada di dunia ini. "Mana kue pesananku, mom?" tanyanya polos dan juga bingung, matanya mengarah mencari-cari disekitar jemari Rose, namun nihil, ibunya
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m