"Adek, kamu dimana?" teriak Rose sesaat setelah mendapati ruang tengah dimana biasanya di jam ini Lily bersantai sambil menonton TV.
Rose telah mampu menata hatinya untuk memberanikan pulang ke rumah, mencoba untuk mengendalikan debaran-debaran menyakitkan setelah beberapa jam yang lalu bertemu kembali dengannya. Apa jadinya jika dirinya berantakan di depan buah hatinya sendiri, tidak membayangkan berbagai macam pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Lily mengingat tingkat kepekaan putrinya itu sungguh luar biasa
"Adek, kamu dimana sih?" teriak Rose lebih keras lagi.
Pintu terbuka dari lantai dua, itu dia anaknya, Lily berlari ke arah Rose dengan hati-hati, kaki mungilnya menuruni tangga, senyuman merekah itu mampu membuat Rose merasa sedikit lega, mungkin itulah obat paling manjur yang ada di dunia ini.
"Mana kue pesananku, mom?" tanyanya polos dan juga bingung, matanya mengarah mencari-cari disekitar jemari Rose, namun nihil, ibunya
Otak boleh semrawut tapi, pekerjaan tetap harus diurus. Beginilah aktifitas Vee Kanesh Bellamy untuk menghabiskan waktu guna memusnahkan petang akibat tidak dapat menemukan ketenangan di waktu malam. Duduk di tempat kerja, kacamata bertengger dengan gagahnya serta jari-jari yang menari di sepanjang papan keyboards sebuah komputer. Vee memincingkan mata dengan konsentrasi penuh pada layar bercahaya dengan berbagai susunan huruf di dalamnya. Kopi yang berada dalam cangkir disebelah kanannya terhitung tiga; jumlah konsumsi yang cukup berlebihan mengingat lambung pria itu sedikit bermasalah dari muda. Mengingat tentang kopi. Vee memang kurang setuju dengan kebiasaan barunya ini. Tapi mau bagaimana lagi. Selain obat tidur, cuma air hitam dengan rasa pait itu yang saat ini setia menjadi teman malam. Mata Vee tiba-tiba memanas saat pintu menyibak secara mendadak, menampilkan sosok Zara dengan kepalan tangan menggenggam ponsel serta mata memin
Mungkin hari ini adalah hari yang sangat menyebalkan untuk wanita yang menyandang status sebagai single parent yang tak lain dan tak bukan adalah Rose Alyne Everleight. Bagaimana tidak, sepagi ini kakaknya yang sangat menyebalkan itu tiba-tiba menunjukkan batang hidungnya, pun merecok pula. Jeffry Argiato Samanta. Ya. Pria yang sedang asik duduk bercengkrama dengan Candra itu adalah dalangnya; mengatakan dan melebih-lebihkan informasi sehingga watak kakaknya yang sangat berlebihan itu membuat tubuhnya yang kekar menyempatkan waktu untuk mampir menuntut penjelasan. Apalagi jika bukan tentang pertemuan Vee Kanesh Bellamy dengan putrinya Lily Berna Samanta waktu lalu. Rasanya saat ini Rose ingin sekali menggorok leher Jeffry. Seakan belum cukup Jeffry mengatakan hal ini kepada bapak Fernandez yang terhormat hingga pria tua itu bernafsu lagi untuk menghancurkan Vee. Namun, niat menggorok leher Jeffry terpaksa diurungkan oleh Rose, menginga
Ok, anggaplah hari ini memang adalah hari yang benar-benar sial untuk Rose. Belum sempat raganya mendudukkan diri untuk sekedar minum kopi. Kini, netranya menatap kertas dari tangan lentik milik sekertaris pribadi sekaligus salah satu Dokter di Rumah Sakit ini, parasnya cantik, semua mengakui."Kau gila?" Rose membanting kertas itu sampai ke lantai, anggaplah Rose saja yang gila, bukan wanita di depannya. Namun, bagi Rose, sekertaris yang merangkap menjadi teman semasa sekolah menengah atasnya, dulu, lebih gila darinya.Shane. Nama wanita itu Shane, pribadi dengan pawakan bak model, molek aduhai yang tengah menghembuskan napas beratnya. "Boleh aku berbicara sebagai teman?""Ya, silahkan," jawab ketus Rose."Sekarang apa masalahmu Rose, ayolah, ini demi Rumah Sakit, " bujuk Shane akhirnya, sangat serius bahkan beribu-ribu kali lipat lebih serius.Rose tetap diam ketika tubuh menjulang tinginya itu sudah duduk tenang di kursi kebesarannya. Direktur U
Suara pantulan bola menggema melengkapi sunyi yang begitu kelam di malam hari ini, sepasang kaki itu tak henti berlari, memutar bahkan melompat dengan tangan yang menggiring benda bulat orange. Peluh yang meluruh dari dahi dibiarakan begitu saja. Lantas, kakinya telanjang tanpa terbungkus apapun, banyak goresan bahkan cairan kental merah berceceran mengikuti jejak pijakannya. Bukan hanya kondisi fisik yang tersiska dibalik napas engahnya, hatinya tersiris perih, pun menjalar, belum lagi punggungnya yang saat ini dipasrahkan pada lantai paping dingin di pinggir lapangan. Vee Kanesh Bellamy, sekali lagi dilemparkan pada ingatan masa lalunya saat mata hangat itu menatap langit gelap menembus tanpa batas menampilkan pijaran bintang yang samar tak terlihat. Kepalanya berpangku pada tangan yang di lipat dibawahnya. "Begini sangat nyaman," gumamnya sembari memejamkan mata. Semilir angin yang tiba-tiba berhempus mampu menggoyangkan anakan rambutnya, dilihat d
Benda bulat yang mengeluarkan terik panas itu sudah menggantung di langit atas, Vee yang saat ini baru terbangun mendadak mengrenyit karena silau dari matahari menembus matanya. Pria itu mendudukkan diri dengan keadaan mengenaskan, pandangannya kini berpindah untuk memindai sekelilingnya, lalu seakan dibungkam dengan keadaan saat matanya melotot pada gelang jam yang sedang dengan santainya menunjukkan pukul tujuh pagi. "Haiiis, sial, kenapa aku bisa ketiduran di lapangan ini," rutuknya bersamaan itu mencoba untuk berdiri. "Akash," ringisnya menyadari saat dirasa kakinya memanas sakit ketika mencoba untuk sedikit melangkah. Benar kata Leon tadi subuh, luka sobekan itu sangat parah dan harus dijahit. Vee yang sekarang sedang menatap pada kaki itu merasa ngilu sendiri. Ayolah, jangankan untuk dijahit, disuntik saja pria dewasa itu ketakutan setengah mati. Sedangkan di luar sana, puluhan pasang kaki melangkah ingin memasuki gedung Jakarta Revolution Eleme
Tidak lagi terasa perih, kini kakinya pun dapat menekan gas mobil dengan rapih. Membelah kota Jakarta yang nyatanya terlewat sepi ditemani jalanan yang tak cukup isi. Vee Kanesh Bellamy, sudah melakukan berbagai cara dengan modal pita suara, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataan tetap kenyataan, Lily cukup membuatnya membungkam dan nurut saja. Vee, seakan dibuat lupa untuk kesekian kali. Ada perasaan aneh yang selalu memaksa untuk menuruti gejolak jiwa. Lily Berna Samanta, gadis cilik itu seakan menghipnotisnya, benci sekali pun sungguh tidak bisa. Perangai manisnya tengah mampu menarik total tubuh Vee untuk nyaman berada di dekatnya. Pria dewasa itu yakin, pun sadar dengan perasaan yang tidak bisa ditarik begitu saja, benar-benar nyaman dan apa adanya. Sekarang lihat saja, betapa bahagianya buntelan kecil dengan kantung plastik berisi makanan yang asik nangkring di pahanya. Duduk dibagian jok samping dimana Vee sedang menyetir, gadis itu, Lily, m
Sebegitu membingungkan segala urusan yang berada di depan mata, pun dengan keadaan terluka hatinya. Rose, masih terbayang akan satu kata yang kian lama kian menusuk tanpa ampun.Bagai luka yang digoreskan begitu dalam, Rose hanya mampu membayangkan bagaimana caranya untuk tenggelam, bersembunyi dari masa kelam. Baginya, kata—jalang—yang didengar dua hari yang lalu masih saja terngiang dan menimbulkan luka baru yang bahkan hasil tikaman dimasa lalu sampai saat ini masih ternganga lebar.Tidak pernah Rose membayangkan, walau sekali saja ,pun untuk menjawab segala pertanyaan di hatinya seakan buntu. Wanita dengan kacamata membingkai matanya itu sampai bingung tak menentu. Menurutnya ada sesuatu yang mengganjal di balik kata, jalang.Meski Rose berkali-kali mengatakan jika hanya Lily saja yang mampu mempengaruhi hidupnya saat ini, namun dengan adanya pria itu, yang berada dihadapannya langsung mampu mebuat otaknya kembali kotor oleh prasangka buruk, sepe
Lily lapar, oleh sebab itu beberapa saat yang lalu, Rose memanggil perawat Selena untuk membawanya ke restoran dekat rumah sakit. Pekerjaan Rose masih menumpuk sebukit. Belum lagi, dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang bertambah semakin rumit. Vee masih disini, dengan luka goresan di siku tangannya, kulit sedikit mengelupas, tapi tidak parah yang mengharuskan ada proses jahitan. Terpaksa, juga karena naluri seorang dokter, Rose mengobati luka itu dengan telaten sembari tetap mengontrol degub jantungnya yang sedari awal sudah menggila. "Selesai. Jangan lupa setiap hari dibersihkan. Untuk luka jahitan, seminggu setelah ini anda bisa datang kemari. Kalau anda tidak mau dirawat oleh saya. Anda bisa menghubungi Dokter lain. Terserah anda saja mana baiknya." Rose berkata dengan gerakan tangan yang super sibuk membereskan peralatan, juga matanya yang tidak fokus menatap lawan bicara. Jika kasus lain dengan dua lakon yang berbeda, mungkin Rose sudah m
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m