Vee masih disini, dengan luka goresan di siku tangannya, kulit sedikit mengelupas, tapi tidak parah yang mengharuskan ada proses jahitan. Terpaksa, juga karena naluri seorang dokter, Rose mengobati luka itu dengan telaten sembari tetap mengontrol degub jantungnya yang sedari awal sudah menggila.
"Selesai. Jangan lupa setiap hari dibersihkan. Untuk luka jahitan, seminggu setelah ini anda bisa datang kemari. Kalau anda tidak mau dirawat oleh saya. Anda bisa menghubungi Dokter lain. Terserah anda saja mana baiknya."
Rose berkata dengan gerakan tangan yang super sibuk membereskan peralatan, juga matanya yang tidak fokus menatap lawan bicara. Jika kasus lain dengan dua lakon yang berbeda, mungkin Rose sudah m
Benci? Tentu saja benci itu ada. Tapi, bukan itu alasan utamanya. Hanya saja, Rose tetap mempertahankan logikanya untuk digunakan secara baik dan benar. Tidak mau dan tidak akan pernah Rose membiarkan Lily untuk merasakan kasih sayang yang terbagi dari seorang ayah. Itulah mengapa Rose belum siap untuk membuka lebar kenyataan yang selama ini tertutup rapi bak memori yang terkubur dalam peti mati. Walaupun begitu sakit, Rose masih akan tetap menahan semua hujaman penderitaan dari masa lalunya. Wanita itu harus tetap bertahan demi apa yang diperjuangkan—Lily putrinya. Alasan sampai saat ini Rose dapat melebarkan ranumnya untuk mempertontonkan semburat senyum yang nampak bahagia dari luar. Hingga tidak ada yang pernah tahu bahwa wanita itu selalu menyisihkan waktu untuk membuang air matanya yang serasa tidak pernah ada habisnya. Jika ditanya, apakah Rose masih mencintai ayah dari anaknya? Of course, yes! Bodoh? Menurut Rose, cintanya
"Ada apa malam-malam mengajak ku ke tempat ini?" Tanya Jaeko sembari tangannya meletakkan gelas berisi air bening berwarna sedikit cokelat di atas meja. Vee mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya memasrahkan punggungnya di sandaran empuk sofa, "Huh, ada sesuatu yang sangat ingin aku tanyakan," jawabnya sedikit ragu. Vee sepenuhnya lesu. "Memangnya apa yang ingin kau tanyakan, jika aku tau dengan senang hati akan ku jawab." Bersamaan itu pula tubuh Jaeko ikut disandarkan di punggug sofa. "Dimana Lala sekarang?" Mendengar nama istrinya disebut, sontak saja membuat Jaeko terduduk dengan tegak kembali. "Vee, kau sedang tidak tertarik dengan istriku 'kan?" Satu jitakan mulus meluncur di kepala Jaeko. Bisa-bisanya kelinci bodoh itu berpikiran konyol. Mana ada Vee tertarik dengan wanita super bar-bar seperti Lala. Vee berdecak kesal dengan lirikan tajam menghujam. "Aku bicara serius, Ko!!" "Aku juga serius, Vee. Melih
Menjejalkan telapak tangan pada kantung celana, Vee berdiri dari balik jendela raksasa yang mempertontonkan hilir mudik transportasi Jakarta di bentangan jalan raya. Matanya memincing tajam, terkadang pula tawanya renyah merana. Vee menatap penuh ruangan dengan ukuran ekstra lebar yang berada diujung gedung tinggi memuncak sebuah perusahaan. Hari menjelang sore, Vee sudah membuat janji temu dengan seseorang. Beralih pandangan pada kursi duduknya, pria itu mengayunkan torsonya untuk segera menyamankan bokongnya di sandaran empuk itu. Jemarinya melatuk menimbulkan suara yang beradu di atas meja, pikirannya kosong melalang buana entah kemana. Suara ketukan pintu mengalihkan afeksinya, pria itu berujar untuk mengucapkan sandi agar benda kotak dengan bahan
Suasana riuh dari balik ruang VIP restoran Italian yang dipenuhi tanda tawa dan lemparan argumen kekanakan dari dua keluarga yang saat ini sedang melakukan temu kangen. Terlebih ungkapan laki-laki kecil dengan gelagat dewasa itu sangat menggelikan untuk Lily yang berada di sampingnya. "Aku akan segera tumbuh dewasa, menjadi pria keren yang melamarmu dengan caraku. Aku yakin kamu tidak akan menolak sweety." Lily memincingkan matanya, tatapan itu lebih ke arah kejengahan. "Sean, berhenti sok dewasa dan berbicara omong kosong," pintanya dengan nada dingin. Ya, bocah cilik yang menjelma sebagai roman picisan itu adalah Sean. Sepeti yang sudah-sudah, laki-laki terlewat tampan itu sudah sangat kebal medapat bantahan kasar dan tatapan sedingin kutub utara dar
Sore berganti malam, langit yang semula menguning pun jadi semakin temaram. Cahaya yang selalu diagungkan Dunia menghilang dalam sekejap mata. Seperti hatinya yang saat ini lara karena kebodohannya. Jika ditanya kenapa—penyesalan—selalu datang diakhir. Maka, satu suku kata itu tidak akan pernah terlahir. Seperti Vee, bermodal otak dangkal, mengambil keputusan tanpa akal. Lalu, apa yang dilakukan pria itu? Apakah usahanya sudah mencapai titik temu? Jawabannya belum sepenuhnya. Nyatanya pria itu saat ini hanya mengumpat dengan sumpah serapahnya. Keabsahan yang baru saja dilempar tepat di depannya memberikan efek yang membuatnya seakan mati rasa. Perasaan benci yang selama ini ditumbuh
Rose mengoyak isi etalase dengan matanya. Sembari tersenyum, sorotnya menatap berbagai kue yang sudah di desain sangat indah di dalam sana. Hari ini, Rose akan membelikan kue khusus untuk Lily; seperti biasa, mencari kue dengan coklat yang menumpah ruah diatasnya. Beruntung, hari ini sangat banyak stok yang sesuai kriteria kesukaan putrinya. Tempat ini begitu sunyi dengan musik lirih mengiringi. Suasana hati Rose sangat buruk jika melihat dari kilat matanya. Hidupnya terusik lagi dengan hanya melihat Vee yang beberapa kali berhadapan langsung di depan matanya. Mengingat lagi, dua hari yang lalu saat Jaeko menerima telefon dari Vee dengan raut mengawatirkan juga membuat Rose kalang kabut memikirkan. Berbagai spekulasi mengerubung tidak jelas dalam benaknya. Ingin acuh namun jujur wanita itu tidak bisa.
Bar malam di kota Jakarta yang terkenal rupanya tak begitu berbeda seperti delapan tahun yang lalu. Kenzo, pemilik sekaligus bartender di dalamnya tampak masih mempesona bahkan lebih dengan otot sempurna di setiap lengannya. Penari latar yang menggoda dengan lengkungan tubuh yang sedikit terbuka, menampakan belahan dada yang sintal membuat berbinar pria mata keranjang. Vee, meskipun kurang belaian atau mungkin memang tidak pernah terbelai tak akan mudah terlena dengan kepiawaian gadis jalang. Di membenci wanita seperti itu, mengingatkan pada Rose yang diduganya dulu memiliki peringai yang sama seperti wanita liar dengan minuman memabukkan—tapi tidak dengan sekarang. Secara sadar Vee mengakui salah menilai dan menyesal. "Aku ingin meminta bantuanmu." "Woyo, miliader sepertimu meminta bantuanku, Bang. Apa aku tidak salah dengar," jawab Kenzo diiringi bercanda. "Mau minum apa dulu. Aku beri gratis karena sudah lama kau tidak mampir kesini," t
Apapun itu jika sudah menjadi bangkai maka akan mengeluarkan bau yang teramat busuk. Bayangkan jika hidup dengan bangkai dalam satu radar yang sama; mungkinkah akan bertahan dengan sengatan yang menyekatkan penciuman, atau bisakah menahan tampang menjijikannya. Vee Kanesh Bellamy; pria itu menganggap Zara yang tak lebih dari hewan yang telah membusuk dengan lalat mengerubung di sekelilingnya; mungkin lebih pantas juga dibuang untuk dijadikan makanan hewan karnivora atau omnivora yang lebih membutuhkan. Namun, anggapan hanyalah anggapan saja jika itu adalah Vee, ia tidak akan pernah memperlakukan Zara sebagai hewan. Vee masih punya akal dan hati nurani juga. Memilih angkat kaki dari rumah megah ini daripada repot-repot menyeret Zara untuk dibuang ke jalanan. "Vee, kau bercanda 'kan!" protes Zara sembari meronta seperti orang gila. Vee melipat tangan dibawah dada, menatap lurus Zara yang tengah bergetar dengan tangan kanan memegang selembar kertas
Semua orang pernah melakukan keselahan, tak terkecuali Vee Kanesh Bellamy. Satu kesalahan terbesarnya adalah prasangka, yang total merubah hidupnya.Rose Alyne Everleight, korban dari prasangka Vee.Dan buah dari kebodohan yang menumpuk itu adalah, Vee tidak bisa menyaksikan bagaimana buah hati kembarnya lahir di dunia sampai beranjak hingga sepintar itu.Leon dan Lily, siapa yang tidak kenal dengan duo bocah itu, author yakin, para readers banyak yang ngefans kan?Tentu dong.Vee sebagai daddy-nya saja tergila-gila. Untung saja Tuhan masih sayang dengan pria itu, atau authornya yang baik hati sampai bisa Vee berakhir sebahagia ini.Buktinya, yang dipandang Vee di depan kaca saat ini adalah tubuh yang terbalut setelan jas mewah, pakaian yang akan ia gunakan untuk mengucap sumpah sehidup semati bersama Rose beberapa jam lagi.Jika ditanya tentang masa lalu, apakah Vee menyesal? Haduh, tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu Vee sangat menyesal.Tapi, Rose berkali-kali meyakinkan jika buk
Pagi itu begitu tenang, Rose berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan sepatu pantofel hingga menimbulkan bunyi yang menggema, wanita itu tersenyum, teringat kembali bagaimana Vee melamarnya dengan sangat tidak romantis, namun alih-alih merajuk, Rose memilih untuk menerima, karena disaat kondisi seperti itu, sesuatu hal apa lagi yang lebih membahagiakan? Rasanya tidak ada.Pernikahan impian yang Rose inginkan segera terwujud, kurang lebih satu bulan lagi, sesuai permintaan Rose dua minggu yang lalu.“Rose, ada ra…”Shane terpaksa Rose tinggalkan, wanita itu melambaikan tangan sebelum Shane mampu menuntaskan perkataannya, karena apa yang bergelut di dalam perut Rose butuh untuk dimuntahkan dengan segera.Rose memasuki ruangannya, yang berada di lantai paling atas, memasuki kamar mandi, membuka kloset dan memfokuskan diri untuk mengeluarkan isi perutnya.Keadaan ini sangat tidak wajar, sudah lebih dari tiga hari. Rose tidak mencurigai banyak hal, namun satu yang membuat Rose berpiki
Lampu dinyalakan dalam keadaan terang benderang. Vee membawa Rose pergi saat itu juga, sesuai apa yang pria itu katakan, suite hotel vvip, Diamond hotel, dasar Vee, tidak takut ketahuan Dera apa bagaimana menggunakan salah satu hotel kepemilikan Bellamy. Entahlah, rindu yang pria itu tahan selama delapan bulan tidak bisa dibendung lagi.“Daddy silahkan bawa mommy, hari ini daddy milik mommy, tapi besok daddy milik Lily.” Desakan Lily putrinya begitu menggemaskan, padahal Vee niatnya ingin menghabiskan rindu bersama keluarga kecilnya, entah apa yang dipikirkan Lily sampai gadis kecil itu memberi petuah sedemikian rupa.Leon:Daddy, welcome to home. Sesuai janji Leon waktu itu, Leon akan ja
Lily dan Leon sudah sarapan, sudah mandi dan wangi juga. Rencananya hari ini Lily akan ikut Rose pergi ke cafe, entah apa yang akan dilakukan anak gadis Rose itu, sedangkan untuk Leon, lihat saja, mana sempat ia pergi untuk bermain, daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik Leon pergi ke kantor saja, kantor ayahnya, Vante Company."Kak Leon nggak capek? Hari minggu istirahat lah, main bareng Lily dan Sean di cafe mommy."Leon memincingkan mata, "No!! Bermain hanya untuk anak kecil.""Jika kak Leon lupa, umur kita hanya berjarak lima menit saja, nggak usah songong."Leon mengabaikan protes yang Lily berikan, ia sibuk menyiapkan laptop dan alat-alat lainnya sebelum Yogi datang menjemputnya.Lily menunggui ibunya sembari bersandar diri di sofa. Ia melihat ke keliling rumah, dan ia baru ingat dengan kucing yang belum disiapkan makanan, singkat cerita, dua bulan yang lalu James m
Definisi bahagia itu apa sih?Leon tidak tahu. Tapi yang paling jelas dalam ingatannya, ia tidak pernah merasa hidupnya berantakan seperti sekarang, jauh dari kata bahagia, tapi bukan berarti ia tidak mensyukurinya.Haduh. Leon bocah piyik kok bisa berbicara sedramatis itu. Jangan salah. Meskipun masih kecil, Leon punya pemikiran lebih dewasa daripada yang lainnya. Bukankah sudah dijelaskan jika Leon hidupnya berantakan sejak awal.Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mengetahui banyak hal dan melihat langsung bagaimana hancurnya sebuah keluarga, ya, keluarganya sendiri yang penuh dr
Dari perhitungan skala kebahagiaan yang tak terhingga, Rose kira ia adalah wanita yang sudah memperoleh perasaan itu disaat Vee berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan kata-kata itu baru saja disampaikan oleh Vee beberapa hari yang lalu, tapi, nyatanya apa yang terjadi hari ini?Rose merasa bahagia mendengar nama mafia Folltress yang terlibat kejahatan sedang dibongkar boroknya dan terpampang di berita televisi disaat ia duduk di sofa bersama Lala di Ruang keluarga.Rose juga merasa bahagia saat Lala tiba-tiba mengajak keluar dan tahu-tahu berita Folltress juga berada di billboard jalanan, membuat gempar oenjuri Indonesia.Rose sekali lagi bahagia saat tahu-tahu Folltress sebentar lagi pasti akan mendekam di penjara beserta orang-orang yang terlibat kerja sama dengannya.Artinya, Leon aman. Ya, Folltress hilang, Rose menduga jika anaknya yang selama ini disembun
Negara digegerkan dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Koruptor, pengusaha licik sampai beberapa bank sebagai tempat penyimpanan uang gelap terbuka di khalayak umum dimana semua tersangka berterkaitan dengan Folltress si tua bangka mafia incaran Vee. Good job. Satu-satunya tempat yang saat ini sedang ramai ingin ditindak lanjuti oleh aparat yang syok dengan berita ini adalah dermaga ujung kota, dimana tempat itulah yang sebagian besar menjadi wadah transaksi utama yang berkaitan dengan Folltress, yang diberitakan di seluruh penjuru melalui video tron. Tepuk tangan untuk Leon. Dengan begini, rencana Vee total mulus berjalan deng
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m