Share

Bab 2

Penulis: Fatimah humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-06 08:48:30

Aku menatap kak Inggit geram, tanpa berperasaan dia menunjuk kasur busa yang sudah lapuk bekas pakai ibu puluhan tahun lalu, kasur yang sudah lama teronggok di gudang.

"Yang benar saja, Kak! Masa Kakak ingin aku dan ibu tidur di kasur lapuk yang sudah lama tak dipakai, kasur itu pasti sudah sangat kotor dan penuh debu karena lama berada di gudang ini, lagi pula kasur itu sudah tak layak pakai, Kak."

"Memangnya kenapa, Dina? kamu kan bisa menjemur kasur itu sebelum dipakai, bisa dipakaikan seprai baru juga, begitu saja kok repot." Jawabnya tak perduli. "Lagipula kalau beli kasur baru sayang uangnya, Din. Mending pergunakan barang yang ada untuk menghemat pengeluaran."

"Aku tidak mau, jika kakak bersikeras memintaku untuk memakai kasur itu lebih baik aku dan ibu kembali ke kamar kami semula, biar orang tua Kakak saja yang tidur dikamar belakang memakai kasur itu." Tukasku yang tak terima dengan keputusannya.

Plak ...!

Pipi ini terasa perih dan panas setelah satu tamparan mendarat dengan mulus di sana, aku yang tak sempat mengelak hanya bisa mengusap pelan pipi yang mungkin kini sudah memerah karena kerasnya tamparan dari Kak Inggit barusan.

"Jangan kurang ajar kamu ya, Din! Aku bisa melaporkanmu ke mas Gagas nanti. Mau kamu jadi gembel di luar sana, jika aku melaporkanmu ke suamiku dan aku minta dia untuk mengusirmu dari rumah ini?" bentaknya menunjuk keningku dengan jari telunjuknya.

"Silahkan Kakak laporkan saja, memangnya kesalahan apa yang sudah Dina lakukan? bukankah malah Kakak sendiri yang tidak menghargai keberadaan aku dan ibu di rumah ini? Kakak sudah sewenang-wenang terhadap kami, bahkan menjadikan kami babu gratisan di rumah kami sendiri. Apa Kakak tidak sadar jika rumah yang saat ini Kakak tempati adalah rumah ibu, rumah yang dibangun kakakku untuk ibunya." Balasku tak mau kalah.

Geram sekali aku mendengar perkataan kakak iparku yang menurutku sudah keterlaluan, apa yang ada di pikirannya sampai dia tega memerintahkan aku untuk memakai kasur bekas yang sudah tak layak pakai. Bukankah Bang Gagas memberinya uang belanja yang tidak sedikit? kenapa hanya sekedar membeli kasur untuk tempat tidur aku dan ibu saja dia begitu perhitungan.

Ya setelah menikah kakakku memberikan semua gajinya untuk dikelola Kak Inggit, setelah waktu itu mereka sedikit berdebat karena Kak Inggit ingin semua keuangan dipegang olehnya. Ia berdalih Ibu sudah terlalu tua untuk mengurus segala tek-tek bengek rumah tangga, jadi Kak Inggit beralasan agar tak merepotkan Ibu dikemudian hari, namun nyatanya dia malah semakin merepotkan dengan menjatah Ibu hanya lima puluh ribu sehari untuk keperluan belanja, dan itu pun mencakup ongkos ku juga untuk berangkat kuliah.

Kakakku bekerja di pelayaran yang pulangnya ke rumah tidak pasti, kadang bisa tiga bulan sekali atau bahkan setengah tahun dia baru bisa pulang. Dia begitu percaya meninggalkan aku dan Ibu hidup bersama Kak Inggit istrinya, mungkin dia pikir istrinya itu adalah wanita yang baik dan penuh kasih, sehingga kakakku tak punya pikiran buruk sedikitpun pada istri yang baru dinikahinya itu.

Dengan besar hati Ibu menyetujui apa yang Kak Inggit inginkan, Ibu meminta Bang Gagas untuk menuruti kemauan istrinya agar semua keuangan rumah tangga dipegang Kak Inggit, dan akhirnya dari sanalah awal penderitaan aku dan Ibu dimulai.

Setelah Bang Gagas kembali bekerja, Kak Inggit mulai menunjukan perangai buruknya, ia tak segan memerintah Ibu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, tanpa mau membantunya seperti awal-awal menikah ketika Bang Gagas masih belum berangkat kembali berlayar.

Terkadang aku membantu Ibu mengerjakan semuanya, tapi saat aku ada jadwal kuliah terpaksa aku meninggalkan pekerjaan itu untuk dikerjakan Ibu sendiri, begitu tak tega rasanya melihat tubuh tua itu masih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri, terlebih lagi setelah kedatangan Kak Inggit ke rumah kami, seolah semua pekerjaan itu tak pernah ada habisnya.

********

"Ayok tidur sini, Din. Sudah malam besok kamu kan ada kuliah pagi, nanti matamu ada lingkaran hitamnya kalau tidak tidur. Apa anak gadis ibu ini tidak malu dilihat teman-temannya karena bermata panda?" seloroh ibu, sambil menepuk pinggir kasur yang sudah terbungkus rapi dengan seprai baru.

Aku bergeming di tempatku duduk, masih kesal rasanya dengan sikap Ibu yang seolah takut dengan Kak Inggit. Ibu menghentikan perdebatan kami tadi dan membawa sendiri kasur lapuk itu dari gudang. Beliau menjemurnya sambil di pukul-pukulan menggunakan sapu lidi khusus, yang sering dipakai untuk membersihkan tempat tidur.

Dan kini kasur itu sudah rapi terbungkus seprai baru yang wangi pengharum pakaian, namun tetap saja aku merasa tak nyaman, rasanya badanku gatal semua jika mengingat kasur itu begitu kotor tadi dan mungkin bisa saja membawa penyakit kedalam tubuh yang menidurinya.

"Aku mau mengadukan kelakuan Kak Inggit sama bang Gagas nanti, Bu. Dia sudah sangat keterlaluan, kalau dia memintaku sendiri yang pindah aku tak masalah, tapi ini dia begitu tidak sopan dengan memindahkan Ibu juga hanya agar orang tuanya nyaman, kenapa tidak orang tuanya saja yang diminta tidur di kamar belakang atau kalau mereka tidak mau, pakai saja kamar dilantai atas, toh isinya hanya tas-tas yang tak berguna,"

Bab terkait

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 3

    "Wah enaknya sekarang kamu sudah tidak perlu lagi mengontrak rumah, Nak." Terdengar ucapan bu Arum ibunya Kak Inggit. Begitu sampai di rumah kami. Matanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan seisi ruangan rumah."Iya dong, Bu. Mas Gagas kan memberikan rumah ini untuk aku, istri kesayangannya." Sahut Kak Inggit membual.Aku hanya mencebik mendengar apa yang iparku katakan, enak saja dia mengaku-ngaku kalau rumah ini untuknya, dia sama sekali tidak menghargai aku juga ibuku sebagai tuan rumah yang sebenarnya. "Ayok Bu, kita ngobrol-ngobrol di ruang keluarga, Inggit sudah kangen sama Ibu dan Bapak."Kak Inggit pergi begitu saja, diikuti oleh orang tuanya begitu mereka selesai makan. Mereka bahkan meninggalkan meja makan dalam keadaan yang berantakan, tak ada basa-basi sama sekali untuk membantu ibuku membereskan barang-barang sisa makan barusan. Tanganku terkepal, rasanya sabar ku yang setipis tisu dibagi delapan ini sudah luluh lantak tak tersisa, namun lagi-lagi ibu menggenggam j

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 4

    "Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu."Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu.""Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.Sadar usaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 5

    Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong."Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas."Kak ...!""Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah."Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 6

    Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya."Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di geng

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 7

    Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 8

    Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 9

    Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06
  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 10

    Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-08

Bab terbaru

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 97

    "Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 96

    "Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 95

    "Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status