Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.
Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus memperlakukan Ibu seperti pembantunya saja, apa dia tidak berpikir kalau dia dan orang tuanya di rumah kita ini menumpang! Kita bahkan harus pindah ke kamar belakang yang sempit hanya untuk mengikuti kemauan Kak Inggit, apa yang kita lakukan selama ini masih belum cukup dimatanya?!"Geram ku tak bisa lagi menahan emosi jiwa, "kenapa Ibu selalu mengalah, lihatlah mereka semakin semena-mena terhadap kita, Bu.""Jangan kurang ajar kamu, Din! Akan ku adukan nanti sama mas Gagas!""Adukan saja, Kak! Aku tak perduli."Ibu pergi ke belakang, tanpa menghiraukan aku yang masih bergeming menatap tajam kepada Kak Inggit yang saat ini tengah mengambil paperbag-paperbag yang tadi ku lempar, dibantu orang tuanya yang tak berkata sepatah kata pun menyela perkataanku. Mungkin mereka takut atau malah sudah merasa tidak enak karena kata-kataku tadi, yang mengatakan jika mereka hanyalah menumpang di rumah kami."Aku tak ingin lagi melihat atau mendengar Kakak memperlakukan ibuku dengan buruk, jika itu masih Kakak lakukan maka jangan salahkan aku jika aku berbuat nekat lebih dari ini!" Ancam ku. Kutinggalkan mereka yang menatapku tajam، terlihat ada pendar amarah dimata Kak Inggit yang mungkin siap untuk dimuntahkannya kapan saja. Ah aku tak menghiraukan kemarahan mereka, yang ku khawatirkan adalah Ibu akan mendiamkan ku karena ulah yang tadi kubuat. Bergegas aku menyusul Ibu ke kamar belakang. Ibu pasti marah padaku karena aku sudah dinilainya tidak bersikap sopan terhadap orang tua kak Inggit, yang menurut ibuku adalah tamu yang harus kami hormati setidaknya seperti itulah pikiran ibu.Pintu kamar sedikit terbuka, dengan sedikit ragu aku melangkah masuk dan kini mendapati Ibu tengah melipat baju yang teronggok di pojokan kasur. Sepertinya setelah diangkat tadi Ibuku langsung menaruhnya begitu saja tanpa sempat membereskannya terlebih dahulu."Bu ... Ibu marah sama, Dina?" tanyaku pelan, sambil duduk di sebelahnya untuk membantu melipat baju-baju itu.Tak ada jawaban keluar dari mulut Ibuku sedikit pun, beliau tetap bergeming dengan tangan yang masih cekatan melipat baju-baju dihadapannya."Bu, maafkan kesalahan Dina tadi ya, Bu. Dina hanya tak tega melihat mereka memperlakukan Ibu dengan semena-mena."Ibu masih bergeming, diam seribu bahasa tetap mendiamkan aku yang saat ini semakin gelisah karena baru kali ini Ibu semarah ini padaku."Bu, bicaralah jangan diamkan aku seperti ini, Bu. Dina mengaku kalau sikap Dina salah tadi, Dina minta maaf, Bu." Mohonku sendu.Kali ini Ibu menghentikan gerakan tangannya yang dari tadi asik melipat pakaian, Ia balikkan badannya lalu menatap ke arahku dengan tatapan lembut seperti biasa. "Ibu tidak marah padamu, Nduk. Ibu hanya tidak ingin mereka menilai sikapmu urakan seperti orang yang tak punya adab, terhadap orang yang lebih tua.""Tapi sikap mereka yang membuat Din—"Aku tak berani meneruskan sanggahan ku, ketika sadar akan tatapan Ibu yang kali ini terlihat mengintimidasi, aku hanya bisa menunduk dan berkata maaf padanya."Ibu tidak ingin kamu dipandang rendah orang lain hanya karena sikap tidak sabaranmu, Nduk. Biarlah mereka memperlakukan kita dengan buruk tapi jangan sampai kita membalas dengan keburukan juga. Jika seperti itu apa bedanya kita dengan mereka.""Iya, Bu, Dina minta maaf." Jawabku singkat. "Oh iya, setelah melipat baju-baju ini kita berangkat ke dokter ya, Bu, seperti yang Dina katakan tadi pagi.""Baiklah ibu akan ikut denganmu ke dokter, tapi sebelum berangkat minta maaflah kepada kakak ipar mu dan orang tuanya ya, Nduk!"Tenggorokanku tercekat mendengar permintaan Ibu, rasanya saliva ku mendadak seperti biji kedondong yang susah untuk ku telan. "Ke-kenapa Dina harus meminta maaf kepada mereka, Bu?""Turuti saja apa yang ibu perintahkan, Din! Atau ibu tidak akan ikut ke dokter bersamamu."Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw
Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m
"Itukan bang Gagas ...?" gumamku."Gagas ...? kamu sudah pulang, Nak? kok tidak memberi tahu ibu kalau kamu pulang hari ini, kalau tahu pasti tadi ibu masakin makanan kesukaanmu, Gas." Ibu tergopoh-gopoh menghampiri bang Gagas, senyum lebar terpatri dari bibir ibu, wajahnya berbinar bahagia mendapati anak sulung lelakinya sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat walapiat.Namun tak kusangka Bang Gagas menepis halus rentangan tangan Ibu yang hendak memeluknya untuk sekedar menyalurkan rasa rindu seorang ibu pada anak lelakinya. Ibu berhenti lalu menurunkan tangannya tak jadi memeluk anak lelaki kesayangan yang tadi begitu di rinduinya.Seketika tak ada kata keluar dari keduanya, suasana mendadak hening hanya sesekali terdengar isakan Kak Inggit yang kini tengah duduk bersimpuh dilantai, dengan bahu bergetar terisak dalam tangisnya. Kini Ibu dan Bang Gagas hanya terdiam sesekali saling bertemu pandang, seolah mencari jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan di pikiran masing-masing."
"Kenapa Abang bisa sebodoh ini, mau-maunya dibohongi oleh para benalu itu. Lihatlah kulit mereka apakah ada yang mengeluh jika tengah sakit atau terkena penyakit gatal semacam iritasi dan sebagainya? buka matamu, Bang! Lihatlah Ibu, Abang bahkan tak menanyakan sama sekali sakit apa Ibu sampai harus berobat ke dokter, lihat kulit Ibu, Bang! Itu akibat kami harus—""Sudahlah, Mas. Tidak usah diperpanjang lagi, biarkan saja aku dan orang tuaku yang mengalah. Kami akan kembali tinggal di rumah kami, Mas."Kak Inggit secepatnya memotong perkataanku sebelum aku tuntas memaparkan kejadian sebenarnya kepada Bang Gagas, dia kembali bersandiwara agar lebih bisa meraih simpatik Abangku, agar dia dipandang sebagai malaikat oleh suaminya. Cuih ... dasar wanita ular bermuka dua, tak kusangka aku akan mempunyai ipar yang begitu jahat seperti Kak Inggit. Sayang sekali Abangku lelaki yang tadinya begitu baik dan begitu hormat kepada Ibu juga keluarga, bisa langsung berubah hanya karena fitnah jahat ya
"Sabar ya, Din! Doakan saja Bang Gagas segera dibukakan kembali mata hatinya." Ucap Aisyah sahabatku satu-satunya.Ya setelah keluar dari rumah, aku di minta Aisyah untuk tinggal bersamanya, kebetulan Aisyah tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya.Aku hanya bisa mengangguk lemah, tak kuasa melihat wajah sendu Ibu pasti beliau begitu sakit hati dengan perlakuan Abangku, namun kasih sayangnya sebagai seorang ibu mengalahkan rasa marah dan benci dalam hatinya.Ibu akhirnya ikut bersamaku, lagipula aku pun tak akan tega meninggalkan Ibu di rumah itu bersama orang-orang yang tidak menyukainya, bisa-bisa Ibu hanya akan dijadikan pelayan di rumahnya sendiri nanti. Apalagi setelah melihat perangai Bang Gagas yang begitu keterlaluan, hanya mendengarkan dari sebelah pihak saja tanpa mau mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa.Seminggu sudah aku tinggal bersama Aisyah, rasanya sungkan lama-lama menumpang. Walaupun Aisyah tak pernah mempermasalahkannya, namun aku tet
"Dia itu siapa sih, Mbak? laganya angkuh banget kalau tak ingat aku sangat memerlukan pekerjaan ini, sudah kutimpuk wajahnya pakai keranjang yang kubawa." Geramku kesal, ketika mengingat bagaimana cara lelaki itu membentakku tadi."Stttt ...!" Mbak Diah menempelkan jari telunjuk di bibirnya, kemudian menarik lenganku untuk mengikutinya kebelakang sambil membereskan obat yang kubawa, Mbak Diah bercerita jika lelaki itu bernama Bimo Rahardian anak dari pemilik apotek ini.Pak Bimo hanya sesekali datang ke apotek untuk memeriksa pembukuan keuangan atas perintah Pak Ardi Rahardian sang ayah, sedangkan pak Bimo sendiri memiliki perusahaan dibidang jasa, karena beliau tak tertarik sama sekali untuk meneruskan usaha yang digeluti oleh ayahnya dibidang kesehatan.Aku mengangguk faham. "Pantas saja dia begitu angkuh ya, Mbak. Rupanya dia orang berduit." Aku kembali mendengarkan cerita Mbak Diah sambil tanganku cekatan membereskan obat-obatan untuk diletakan ditempatnya."Sebenarnya dulu dia
"Apakah Anda buta atau sengaja ingin mempermalukan aku di depan umum, Pak? lihatlah aku ini sudah jauh berada di pinggir, justru seharusnya aku yang berkata apakah ini jalan nenek moyangmu sampai kamu harus memaki orang yang jelas-jelas sudah dipinggiran seperti ini!" Balasku tak mau kalah.Enak saja dia menyalahkan aku, apa matanya buta sampai tak bisa melihat jika aku berada jauh dari jalur jalan raya itu? lelaki itu menatapku tajam, tapi aku tak gentar kutatap balik manik hitam itu untuk menjelaskan padanya jika aku bukanlah wanita yang bisa ia intimidasi seenaknya. Jika kemarin di tempat kerja aku hanya menunduk diam mendengar semua bentakannya, karena menghargai dia yang anak atasanku tapi tidak saat ini, diluar jam kerja aku adalah aku dan dia hanya seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali. Jangan harap aku diam saja saat aku diperlakukan seenak jidat nya."Sudah sana lewat saja, toh motorku tak menghalangi jalanmu, Tuan!" Sengaja ku tekankan kata tuan untuk menyindirnya.
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri