"Dia itu siapa sih, Mbak? laganya angkuh banget kalau tak ingat aku sangat memerlukan pekerjaan ini, sudah kutimpuk wajahnya pakai keranjang yang kubawa." Geramku kesal, ketika mengingat bagaimana cara lelaki itu membentakku tadi."Stttt ...!" Mbak Diah menempelkan jari telunjuk di bibirnya, kemudian menarik lenganku untuk mengikutinya kebelakang sambil membereskan obat yang kubawa, Mbak Diah bercerita jika lelaki itu bernama Bimo Rahardian anak dari pemilik apotek ini.Pak Bimo hanya sesekali datang ke apotek untuk memeriksa pembukuan keuangan atas perintah Pak Ardi Rahardian sang ayah, sedangkan pak Bimo sendiri memiliki perusahaan dibidang jasa, karena beliau tak tertarik sama sekali untuk meneruskan usaha yang digeluti oleh ayahnya dibidang kesehatan.Aku mengangguk faham. "Pantas saja dia begitu angkuh ya, Mbak. Rupanya dia orang berduit." Aku kembali mendengarkan cerita Mbak Diah sambil tanganku cekatan membereskan obat-obatan untuk diletakan ditempatnya."Sebenarnya dulu dia
"Apakah Anda buta atau sengaja ingin mempermalukan aku di depan umum, Pak? lihatlah aku ini sudah jauh berada di pinggir, justru seharusnya aku yang berkata apakah ini jalan nenek moyangmu sampai kamu harus memaki orang yang jelas-jelas sudah dipinggiran seperti ini!" Balasku tak mau kalah.Enak saja dia menyalahkan aku, apa matanya buta sampai tak bisa melihat jika aku berada jauh dari jalur jalan raya itu? lelaki itu menatapku tajam, tapi aku tak gentar kutatap balik manik hitam itu untuk menjelaskan padanya jika aku bukanlah wanita yang bisa ia intimidasi seenaknya. Jika kemarin di tempat kerja aku hanya menunduk diam mendengar semua bentakannya, karena menghargai dia yang anak atasanku tapi tidak saat ini, diluar jam kerja aku adalah aku dan dia hanya seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali. Jangan harap aku diam saja saat aku diperlakukan seenak jidat nya."Sudah sana lewat saja, toh motorku tak menghalangi jalanmu, Tuan!" Sengaja ku tekankan kata tuan untuk menyindirnya.
"Kak Inggit?" Gumamku.Wanita itu menatap lekat padaku, tak ada sapa apapun malahan kakak iparku itu seolah tak mengenaliku sama sekali."Mbak ini uangnya," lelaki yang di susul kak Inggit memberikan selembar uang kertas berwarna merah padaku."Mas ayok cepat, nanti kita terlambat!" Kak Inggit menggamit lengan lelaki itu kemudian menariknya untuk keluar dari apotek."Eh tunggu Sayang, kembaliannya belum," seru lelaki itu, menghentikan langkah Kak inggit yang terlihat tergesa-gesa. "Sudah biarkan saja untuk dia kembaliannya, anggap saja amal."Kak inggit menunjukku dengan dagunya, tepukan dari Mbak Diah mengembalikan kesadaranku seketika. Aku bergegas keluar menghampiri wanita yang bergelar kakak iparku itu, rasa penasaran yang bergelayut dari siang seolah terus menghantui. Aku tidak rela jika sampai Abangku dipermainkan oleh istrinya sendiri, apakah mungkin Kak inggit bermain belakang dari Bang Gagas, sedangkan demi perasaan wanita itu Abangku sampai tak perduli dengan perasaan Ibu
"Abang ...!" Bang Gagas terlihat begitu marah, wajahnya sudah merah padam mungkin karena melihat wajah istrinya yang tampak bonyok dimana-mana, entah bagaimana wanita itu mendapatkan tambahan lebam diwajahnya, yang jelas itu bukan karena ulahku karena tadi aku hanya menamparnya dua kali dan itu tidak mungkin sampai membuat wajahnya separah itu."Jangan berpura-pura bodoh, Din! Kamu kan yang tadi membuat Mbakmu sampai babak belur seperti ini?" Sungut bang Gagas menudingkan jarinya di keningku."Memang aku menamparnya tadi, Bang, tapi tidak sampai—" Plak ..."Jangan pernah sekali lagi menyakiti istriku, apalagi sampai membuatnya babak belur seperti ini klau tidak ingin menyesal, Din!" Perih? panas? sakit? tentu saja! Tapi rasa sakit di pipi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit pada gumpalan merah di dada ini yang terluka sangat dalam, lebih sakit rasanya ketimbang mendapatkan tamparan dari kakak sendiri yang selama ini selalu berlaku sopan dan penuh kasih terhadap siapapu
"Dina ada yang mau bertemu, Din," panggil Mbak Diah ketika aku sedang mencatat barang yang masuk hari itu."Siapa, Mbak? apa Mbak pernah lihat orang ya?" sahutku dari dalam gudang."Ituloh, Din, lelaki yang beberapa bulan yang lalu pernah ribut denganmu."Tanpa bertanya lagi, kuhentikan gerakan tanganku yang tengah mencatat obat-obatan lalu bergegas keluar menemui lelaki yang Mbak Diah maksudkan tanpa bertanya lagi padanya."Ada apa Abang menemui ku, apa istrimu itu kembali mengadu yang bukan-bukan lagi tentangku, atau tentang ibu?" ketusku sambil berpura-pura menulis tanpa mau menatap manik coklat lelaki pengganti ayah yang sebenarnya sangat aku rindukan ini."Jangan kegeeran kamu, Din! Abang kesini hanya ingin mengundang ibu datang ke selamatan 4 bulan kehamilan Inggit, acaranya diadakan hari minggu aku harap ibu bisa datang satu hari sebelumnya, kamu juga boleh datang jika kamu mau."Bang Gagas memberikan sehelai kartu undangan yang bertuliskan tasyakur 4 bulanan anak pertama Inggi
"Waduh siapa ini yang sedang makan enak gratis, ngambil lauknya banyak banget lagi apa sedang memperbaiki gizi, Bu!"Ibu yang kulihat tengah menyantap makanannya menoleh ke arah asal suara yang baru saja menegurnya, ternyata itu mulut julidh Bu Arum Ibunya kak Inggit alias besan ibu sendiri.Ibu menyimpan sendok yang dipegangnya kemudian bergegas menghampiri besannya terlihat hendak bersalaman, sebagai adab sopan santun karena saat ini Ibu merasa hanya sebagai tamu dirumah anaknya sendiri.Sejenak Bu Arum memandang angkuhnya terlihat jijik menatap lengan Ibuku yang sudah menggantung hendak bersalaman dengannya, diambilnya sehelai tisu basah lalu bungkus kan ke jemari tangan yang hendak dipakainya bersalaman dengan Ibu.Setelah itu ia buru-buru membuang tisu yang bersentuhan langsung dengan lengan Ibu seolah Ibuku itu adalah kuman penyakit yang dapat menularkan virus padanya.Kuhampiri Bu Arum lalu mengulurkan tanganku padanya untuk bersalaman, namun sebelum dia menyambut uluran tangan
"kalian kalau sudah selesai berbenah baru boleh pulang, ya! Kalau mau bawa makanan sisa boleh, tapi jangan banyak-banyak seperlunya saja sisanya buat dibagikan nanti ke tetangga sekitar sini!" Bukan kata terima kasih, bukan kata tanya Ibu dan Dina sudah makan, atau sudah istirahat, tapi malah kata yang sangat menyebalkan keluar dari mulut pedas kakak iparku itu, tanpa menunggu jawaban kami dia kembali melengos pergi melenggang begitu saja seolah habis memerintahkan PRT nya saja. Benar-benar sangat teramat menyesal aku memberitahukan undangan Bang Gagas kepada Ibu, jika tahu akhirnya kami hanya dimanfaatkan tenaganya saja oleh mereka.Rasa sesak dalam dada belum bisa ku salurkan, rasanya malah semakin membuatku sulit bernafas seolah kekurangan oksigen dalam paru-paru. Ingin berteriak memaki mereka yang memperlakukan Ibuku seenaknya, tapi apalah daya Ibu pasti akan marah jika sampai aku membuat keributan di sini.Apa daya aku hanya bisa mengelus dada, menahan sekuat tenaga agar amarah
Sejak kejadian itu, tak pernah lagi kami berhubungan dengan Bang Gagas dan keluarga barunya, biarlah mereka bahagia dengan jalan yang dipilihnya.Kini kami hidup bertiga masih dirumah Aisyah, sebetulnya aku merasa tidak enak terus-terusan menumpang dirumahnya, karena kini aku sudah bisa menyewa kamar kost jika hanya untuk hidup berdua dengan Ibu dan membayar biaya kuliahku sendiri insyaAllah aku sudah sanggup, tapi Aisyah bersikeras jika sekarang kami adalah keluarganya dan tidak diperbolehkan pindah dari rumahnya kemanapun sampaikapanpun.Sekarang aku kerja paruh waktu di dua tempat, kegiatanku padat dari mulai bangun pagi hingga pulang malam hari, bagiku kini rumah hanyalah tempat persinggahan untuk sekedar merebahkan badan dari rasa lelah. "Jangan terlalu di forsir kerjanya, Din. Nanti malah drop, badanmu juga harus dirawat, diajak istirahat, diajak jalan-jalan sesekali, ini kok kamu tuh sibuknya melebihi pekerja kantoran." Seloroh Ibu yang tengah sibuk membuat kue pesanan tetangg
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri