Sampai di kota kelahiranku, aku mampir dulu ke rumah. Kasihan kalau Kayla harus ikut ke butik. Kutitipkaan dia bersama Tuti yang menyambut kami dengan gembira. "Baru semalam saja tidak ada kalian di rumah, saya sudah kangen. Bagaimana kalau suatu saat nanti ditinggal liburan?" "Itu juga tidak sengaja, Tut. Kalau kami liburan, kamu juga bakalan diajak, dong.""Beneran, Bu?"Huum.""Oh ya, kemarin teman ibu ke sini.""Teman yang mana?""Yang ganteng itu, yang tempo hari ke sini."Joan?""Iya, Pak Joan.""Mencari aku?""Iya, nanyain Ibu. Masa nanyain saya." Tuti terkekeh."Aku tahu, dia menelepon, tadi pagi.""Sepertinya dia kangen, Bu.""Hus!"Tuti tertawa renyah. Selanjutnya aku berpamitan pergi ke butik setelah menurunkan barang-barang yang kubawa dari rumah Mas Riko. Gina memang bisa dipercaya mengurus butik, toh selama ini Mbak Tika juga mempercayakan butik ini padanya. Tapi aku tidak bisa lepas tangan begitu saja, walau bagaimana sebagai pemiliknya aku juga harus mengawasi mereka
Sikap Lena berubah drastis dari judes dan seperti merendahkan aku menjadi seperti terkagum-kagum. Terlihat sekali modusnya, dari dulu memang Lena terkenal sebagai orang yang pandai memutar balik fakta dan bersilat lidah. Beruntung dia bukan termasuk teman dekatku, karena memang kami tidak satu misi. Mana mau dia mengajak gadis sederhana sepertiku untuk masuk ke dalam ganknya.Dasar bermuka dua! Ngaku istri pejabat tapi masih nyari diskon. Jangan-jangan barang branded yang dia pake selama ini barang KW-an. Secara dia istri seorang pejabat yang harus berpenampilan glamor melebihi orang-orang biasa. Zaman sekarang, orang banyak menggunakan cara yang tidak pantas untuk tampil bergaya di hadapan orang lain. Tidak sedikit mereka sampai berhutang supaya terlihat kaya. Atau membeli barang KW untuk menipu banyak orang."Jadi beli yang mana Len?" Setelah beberapa saat hanya saling diam akhirnya aku bertanya pada Lena."Aku sih pengennya yang limited, supaya tidak ada yang menyamai. Tapi kalau i
Sore ini Mbak Tika datang berkunjung ke butik. Ini untuk pertama kalinya selama aku mengelola butik, Mbak Tika datang mengunjungiku ke tempat ini."Wah, senang sekali Mbak mau mengunjungi aku ke sini.""Sebenarnya Mbak kangen suasana butik. Kangen anak-anak juga yang pada bawel," sahut Mbak Tika sambil berkeliling, sepertinya dia benar-benar kangen dengan suasana butik yang selama lima tahun ini menjadi tanggung jawabnya."Bagaimana omset selama kamu berada di sini, Lis?""Menurut Gina, lumayan bagus. Apalagi beberapa hari ini ada dua orderan untuk baju seragam resepsi pernikahan.""Wah, keren sekali. Jangan lupa kencangkan promo di media sosial. Zaman sekarang usaha apapun sebenarnya sangat mudah untuk mempromosikannya. Karena semua orang menggunakan media sosial, jadi apapun yang kita jual pasti cepat dikenal oleh orang banyak.""Ya Mbak, itu sudah aku lakukan. Gina mengurus semuanya dengan baik.""Gina memang bisa diandalkan, jangan lupa kasih dia bonus setiap akhir bulan, supaya t
Keesokan harinya aku pulang agak cepat dari butik. Sengaja aku ajak Tuti turut serta, siapa tahu dia kangen rumah majikannya yang dulu. Benar saja, begitu aku memberitahu bahwa akan pergi ke rumah Mbak Tika, Tuti terlihat senang. Sebuah kado telah ku persiapkan dan sudah aku bungkus dengan rapi. Kayla juga begitu senang ketika mengetahui akan datang ke pesta sepupunya itu."Nginep enggak, Bu?" "Enggak, di sana 'kan nggak ada kamar kosong, semua kamar sudah terisi." Aku teringat ketika pertama kali datang ke kota ini, Mbak Tika menolakku untuk menginap di rumahnya lantaran semua kamar sudah terisi. Entah itu alasan saja atau memang begitu adanya."Setahu saya kamar yang di belakang itu kosong.""Kata Mbak Tika, kamar itu dijadikan gudang.""Nggak juga, cuma berisi beberapa kasur yang jarang dipakai."Berarti, waktu itu Mbak Tika berbohong padaku. Lalu apa sebenarnya modusnya, apa benar cuma karena takut Mas Ardan keceplosan perihal mobil itu. Atau ada alasan lain yang membuat Mbak T
"Bu kita tidur sekamar aja, ya." Tiba-tiba Tuti menyeru di belakangku. Aku menoleh sambil menyipit."Please, ya, Bu." Tuti menangkupkan kedua telapak tangannya di dada, sepertinya ia sangat memohon."Memangnya kenapa kalau kamu tidur sendirian. Di rumahku juga kamu tidur sendirian, apalagi di sini yang sudah bertahun-tahun kamu tinggali.""Iya sih, cuman aku mau tidur bertiga sama Ibu.""Kamar sebelahnya 'kan masih kosong, Tut.""Please ya, Bu."Akhirnya aku mengangguk setelah berkali-kali Tuti memohon.Sebelum tidur anak-anak berkumpul di ruang tengah. Kayla nampak senang sekali bisa berkumpul dengan kakak-kakak sepupunya, apalagi Dinda yang baru saja berulang tahun. Mereka hampir seumuran, jadi ruangan ini sepertinya milik mereka berdua. Sementara aku dan Tuti membantu asisten rumah tangga Mbak Tika yang sedang membereskan sisa-sisa pesta di ruang depan, kemudian beralih ke dapur lantaran tempat itu pun masih berantakan.Hingga Mbak Tika memanggilku."Kayla tertidur, kamu pindahk
"Mas Ardan?!"Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, Mbak Tika memanggil nama suaminya di ujung tangga.Aku menghentikan aktivitas dan berdiri tegak, memandang Mbak Tika yang berjalan lalu melirik Mas Ardan yang hampir sampai ke hadapanku."Mas, kamu apa-apaan, sih?!" Mbak Tika langsung melayangkan tatapan tidak suka."Sayang, please, Mas mohon.""Tapi tidak sekarang, kamu jangan ganggu Lisa."Aku menatap mereka secara bergantian. Obrolan keduanya sama sekali tidak aku mengerti, sebenarnya ada apa antara Mas Ardan dan Mbak Tika."Maaf Mas, Mbak, ada apa sebenarnya? Kok, aku merasa tidak enak.""Engga apa-apa, Lis. Kamu duduk dulu." Mas Ardan lalu berjalan mundur dan duduk di sofa yang ada di sudut ruangan. Mbak Tika sepertinya pasrah dan tidak protes lagi pada suaminya, ia pun duduk di samping Mas Ardan. Aku pun sontak mengikuti mereka lalu duduk dengan perasaan yang masih heran."Begini Lis. Sebenarnya Mas ingin menyampaikan ini sejak kamu pulang ke sini. Cuma dari dulu Mbak-mu sela
Dua minggu dari kejadian itu, Mbak Tika mengirimkan aku sebuah foto. Katanya itu foto orang yang tempo hari akan dijodohkan oleh Mas Ardan. Sepertinya dia pria mapan, terlihat dari tampilannya. Tentu saja, karena di umurnya yang 35 tahun, dia belum berumah tangga, sudah bisa ditebak, kalau selama ini waktunya hanya digunakan untuk mengurusi bisnis. [Ganteng 'kan Lis?]Pesan susulan dari Mbak Tika kubaca sambil tersenyum.[Iya, ganteng, Mbak. Cuma aku belum tahu gantengnya sampai ke hati nggak.]Balasku diakhiri emot senyum. Setelah itu Mbak Tika menghubungiku."Makanya kamu mau 'kan kenalan sama dia, maksud Mbak bertemu gitu.""Aduh, bagaimana ya, Mbak. Aku belum bisa kenalan sama orang lain sebelum surat cerai aku terima. Aku janji setelah aku resmi menjadi janda aku siap kenalan.""Memangnya kapan putusan pengadilan itu keluar?""Katanya perkiraan dua sampai tiga minggu lagi, Mbak.""Ya sudah, Mbak tunggu kabarnya. Oh iya, Riko sendiri bagaimana kabarnya?""Kemarin Ibu menelepon,
"Ibu pasti sampaikan, terima kasih sebelumnya. Jika bukan kamu, tidak ada lagi orang yang memikirkan masa depan kami.""Aku sayang kalian, Bu.""Ibu selalu berdoa supaya hidupmu kedepannya lebih bahagia, Lis.""Terima kasih, Bu. Mudah-mudahan setelah ini Mas Riko juga berubah.""Riko makin menjadi, setiap hari uring-uringan. Mereka belum bisa pergi ke kantor. Uang dari hasil penjualan apartemen mau digunakan untuk operasi wajah Alin. Dia tidak mau ke mana-mana sebelum wajahnya kembali bagus.""Oh ya, Bu. Kalau ada apa apa, Ibu hubungi aku, jangan sungkan-sungkan.""Pasti, Lis. Kamu bukan hanya sekedar menantu bagi Ibu, tapi sudah menjadi seorang anak."Setelah sambungan telepon berakhir, tak terasa sudut mataku sudah basah. Walau bagaimana, Ibu adalah orang yang berarti bagiku. Selama kami berumah tangga, baik Ibu maupun aku tidak pernah menganggap sebagai menantu atau mertua melainkan menganggap anak dan Ibu.Sekali lagi aku menatap dan membaca surat perceraian. Dulu waktu menikah ak