RekaSudah hampir satu bulan, Mas Rico tidak juga ada kabarnya. Malam itu, setelah diminta pergi oleh yang punya kontrakan, Mas Riko entah menginap di mana. Aku menyarankan supaya dia mencari kontrakan yang tidak jauh dari tempatku, agar kami bisa saling mengunjungi. Apalagi saat ini Mas Riko sedang memulainya semuanya dari nol. Lama menunggu kabarnya hingga aku ketiduran.Paginya, Mas Riko benar-benar menghilang. Nomornya tidak bisa dihubungi. Jelas saja aku panik, tapi tak bisa berbuat banyak. Sambil menunggu angkutan, aku bertanya pada orang-orang sekitar. Siapa tahu semalam ada yang melihat Mas Riko. Tapi semua orang yang kutemui menggeleng.Akhirnya, setiap pulang kerja aku mencoba bertanya pada beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, barangkali ada yang sempat bertemu dengan kakakku itu. Tak lupa aku menunjukkan fotonya itu. Jawaban yang kutemui tetap sama, tidak tahu."Saya sibuk jualan dan melayani pembeli. Jadi meskipun ada mampir ke sini, pasti saya tidak akan
Karena nomor teleponnya tidak bisa dihubungi, aku mencoba mengirim pesan pada messenger akun media sosialnya. Tapi sepertinya semua akunnya non aktif. Jangan-jangan ponsel mas Riko ada yang mencuri atau dijual untuk keperluan makan. Tapi bukankah aku sudah memberinya uang yang cukup? Lagi-lagi otakku dipenuhi oleh pertanyaan.Sore ini sepulang dari kantor aku pergi pergi ke sebuah cafe. Tadi ada beberapa teman yang mengajakku makan bareng, tapi aku menolaknya. Karena ingin menikmati kesendirian sambil mencari kabar tentang keberadaan Mas Riko. Sengaja kupilih tempat yang agak jauh dari tempat kerja dan kontrakan, siapa tahu mendapat petunjuk. Menghabiskan waktu selama dua jam dengan beberapa makanan yang kupesan, akhirnya aku bosan juga. Hari sudah gelap ketika aku keluar dari kafe. Kepalaku terasa agak pusing karena sejak tadi terus menerus menatap layar ponsel. Ketika baru saja sampai di pelataran cafe, baru teringat sesuatu. Tadi di dalam aku belum sempat memesan taksi. Celinguk
Pria yang masih berdiri di samping tempat tidurku ini ganteng, tapi juga judes. Meskipun dia telah menolongku membawa ke tempat ini, tapi dia juga yang menabrakku tadi. Anggaplah itu sebagai bentuk tanggung jawabnya. Eh, malah dia bilang akulah yang menabrak mobilnya, tetap saja dia juga salah karena tidak berhati-hati dalam berkendara. "Kamu jangan mencoba untuk berbohong, sebab aku kenal dengan orang yang punya perusahaan ini. Bisa saja aku melaporkan kalau salah satu karyawannya berperilaku tidak baik, apalagi kamu masih karyawan baru." Aku terdiam, memalingkan wajah sambil menghela panjang. Jika benar pria ini melaporkan pada atasanku, maka aku terancam kehilangan pekerjaan. Itu jangan sampai terjadi sebab mencari pekerjaan zaman sekarang ini benar-benar susah. Aku sempat ditolak di beberapa perusahaan dengan alasan mereka hanya menerima karyawan yang sudah berpengalaman."Kalau tidak ada keluargamu yang dapat dihubungi, lalu siapa yang akan menjagamu di sini?" "Anda yang menab
Kalau bukan pengaruh obat mungkin semalam aku tidak akan bisa memejamkan mata. Banyak sekali hal yang melintas di pikiranku. Kabar Mas Riko, Ibu, dan keadaanku sendiri. Pagi ini aku membuka mata ketika dua orang perawat memasuki ruanganku. Lalu mengganti bajuku dengan pakaian lain yang khusus sudah disediakan. Tangan kananku benar-benar tidak bisa beraktivitas. Kata perawat barusan, sendi di bagian siku sedikit bermasalah akibat jatuh ke samping. Diduga, tangan ini kugunakan untuk menahan bobot tubuhku tapi kurang keseimbangan."Usahakan untuk tidak banyak bergerak dulu, ya, Mbak," pesan salah seorangnya sebelum meninggalkan ruanganku."Tapi ... bagaimana nanti saya makan?" Pertanyaanku membuat keduanya berhenti."Tenang saja, Mbak. Kami bertanggung jawab pada Anda."Setelah itu keduanya pergi dan menutup pintu. Lalu bagaimana aku menghubungi Ibu? Beliau tentu khawatir karena biasanya aku menghubunginya selepas pulang kerja. Sekarang, ponselku juga entah di mana. Tak terasa air mata
"Kamu jangan sungkan, ya. Selama di rumah sakit, Tante yang akan merawatmu." "Tapi, Tante .... ""Tidak ada tapi-tapian, Tante harus ikut bertanggung jawab karena ini akibat perbuatan anak Tante. Sebenarnya dari semalam Tante sudah ingin ke sini. Ketika Joan datang, Tante sudah minta diantar, tapi dia bilang besok pagi saja. Dia juga bilang kalau kamu sebatang kara di kota ini. Tante jadi sangat merasa berdosa. Maaf, ya, Joan belum bisa move on. Dia ditinggal nikah dua kali oleh wanita yang sama. Meski sudah hampir dua tahun, tapi Joan masih sering melamun. Sepertinya kemarin juga ia melamun ketika menyetir, hingga tidak menyadari kalau ada orang yang menyeberang." Panjang lebar wanita ini menjelaskan tanpa jeda.Sebenarnya aku tidak percaya, masa iya orang yang punya tampilan seperti Joan bisa ditinggal nikah, selama dua kali pula oleh orang yang sama. Secara dia cukup tampan untuk ukuran pria jaman sekarang."Sekarang kamu makan dulu, ya. Tante yang suapin, tolong jangan bikin Tant
Jari Tante Anita cekatan menulis di layar ponselnya ketika aku menyebutkan angka-angka. Tak lama terdengar suara khas pertanda panggilan sedang dihubungkan. Namun Ibu tidak juga menjawab. Aku baru ingat tentang satu hal. Dulu pernah berpesan padanya supaya tidak menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Khawatir Karena sekarang banyak penipuan melalui telepon, bahkan pelaku hipnotis juga ada yang melalui sambungan telepon."Tidak diangkat?" Tante Anita bertanya sambil menatap layar ponselnya."Iya, Tante. Ibu memang pernah saya larang untuk menerima telepon nomor yang tidak dikenal.""Oh, pantesan. Sampai beberapa kali panggilan pun, ibumu tidak akan pernah mengangkatnya. Kecuali kamu kirim pesan terlebih dahulu. Sekarang biar Tante kirim pesan dulu, bagaimana kalimatnya?""Maaf Tante, jadi merepotkan lagi." Aku semakin merasa tidak enak karena terus menerus merepotkan orang yang baru saja kukenal beberapa jam itu."Katakan. Apa yang ingin kamu tulis untuk ibumu?""Maaf, tolon
Menjelang tengah hari, Tante Anita datang dengan membawa dua tentengan besar. Pamit mau ke minimarket sebelah, tapi pergi hampir tiga jam. Sepertinya Tante Anita memang doyan belanja. "Maaf ya, Ka. Tante pergi kelamaan. Tadi niatnya mau beli cemilan ke minimarket, eh, malah ketemu teman dan akhirnya kita pergi ke mall." Tante Anita terkekeh sambil menyimpan barang bawaannya di dekat sofa. Ia sendiri duduk santai di sana.Tuh 'kan bener, Tante Anita barusan ke mall. Pantas saja salah satu tentengan yang dibawanya berlogokan salah satu mall yang terkenal di negeri ini."Tidak apa-apa, Tante. Saya juga baru bangun. Tadi habis makan kenyang dan minum obat, alhamdulillah saya tidur nyenyak.""Syukurlah, dengan banyak makan dan istirahat, mudah-mudahan kamu cepat sembuh.""Aamiin Tante, saya juga ingin cepat pulang supaya bisa kembali kerja. Hari ini saja saya belum mengabari ke tempat kerja.""Jangan dulu mikirin pekerjaan, yang penting sekarang sehat dulu," ucap tante Anita sambil mengel
Kalau bukan karena Bu Anita, sudah kulawan pria bernama Joan itu. Jangan mentang-mentang dia kaya dan sudah membawaku ke rumah sakit, hingga bisa berbuat seenaknya. Lagi pula, aku berada di rumah sakit ini karena kesalahannya. Bu Anita bisa saja membelanya dengan alasan Joan seperti itu karena patah hati. Tapi menurutku, pria itu cengeng. Masa sudah dua tahun patah hati, tidak sembuh-sembuh.Aku yakin Joan itu pria mapan, bisa dilihat dari kendaraan, pakaian dan gaya hidup mamanya. Dia juga ganteng, bohong kalau tidak bisa mendapatkan wanita lain. Apa dia yang terlalu bucin atau wanitanya yang istimewa. Ah, kenapa juga aku memikirkan orang lain. Malam ini Bu Anita mengurusku dengan baik, seperti tadi siang. Aku terus-menerus disuapi makanan yang tadi dia beli di minimarket, juga di mall dan sebagian lagi yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya aku tidak enak mendapat perlakuan seperti ini. Apalagi aku hanyalah korban. Di mata Joan, akulah yang salah, tapi Bu Anita tidak beranggapan sepe
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny