Beranda / Pernikahan / Karma untuk Suami Pelit / 207. Telepon dari Siapa?

Share

207. Telepon dari Siapa?

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pria yang masih berdiri di samping tempat tidurku ini ganteng, tapi juga judes. Meskipun dia telah menolongku membawa ke tempat ini, tapi dia juga yang menabrakku tadi. Anggaplah itu sebagai bentuk tanggung jawabnya. Eh, malah dia bilang akulah yang menabrak mobilnya, tetap saja dia juga salah karena tidak berhati-hati dalam berkendara.

"Kamu jangan mencoba untuk berbohong, sebab aku kenal dengan orang yang punya perusahaan ini. Bisa saja aku melaporkan kalau salah satu karyawannya berperilaku tidak baik, apalagi kamu masih karyawan baru."

Aku terdiam, memalingkan wajah sambil menghela panjang. Jika benar pria ini melaporkan pada atasanku, maka aku terancam kehilangan pekerjaan. Itu jangan sampai terjadi sebab mencari pekerjaan zaman sekarang ini benar-benar susah. Aku sempat ditolak di beberapa perusahaan dengan alasan mereka hanya menerima karyawan yang sudah berpengalaman.

"Kalau tidak ada keluargamu yang dapat dihubungi, lalu siapa yang akan menjagamu di sini?"

"Anda yang menab
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma untuk Suami Pelit   208. Susah Beraktivitas

    Kalau bukan pengaruh obat mungkin semalam aku tidak akan bisa memejamkan mata. Banyak sekali hal yang melintas di pikiranku. Kabar Mas Riko, Ibu, dan keadaanku sendiri. Pagi ini aku membuka mata ketika dua orang perawat memasuki ruanganku. Lalu mengganti bajuku dengan pakaian lain yang khusus sudah disediakan. Tangan kananku benar-benar tidak bisa beraktivitas. Kata perawat barusan, sendi di bagian siku sedikit bermasalah akibat jatuh ke samping. Diduga, tangan ini kugunakan untuk menahan bobot tubuhku tapi kurang keseimbangan."Usahakan untuk tidak banyak bergerak dulu, ya, Mbak," pesan salah seorangnya sebelum meninggalkan ruanganku."Tapi ... bagaimana nanti saya makan?" Pertanyaanku membuat keduanya berhenti."Tenang saja, Mbak. Kami bertanggung jawab pada Anda."Setelah itu keduanya pergi dan menutup pintu. Lalu bagaimana aku menghubungi Ibu? Beliau tentu khawatir karena biasanya aku menghubunginya selepas pulang kerja. Sekarang, ponselku juga entah di mana. Tak terasa air mata

  • Karma untuk Suami Pelit   209. Diurus

    "Kamu jangan sungkan, ya. Selama di rumah sakit, Tante yang akan merawatmu." "Tapi, Tante .... ""Tidak ada tapi-tapian, Tante harus ikut bertanggung jawab karena ini akibat perbuatan anak Tante. Sebenarnya dari semalam Tante sudah ingin ke sini. Ketika Joan datang, Tante sudah minta diantar, tapi dia bilang besok pagi saja. Dia juga bilang kalau kamu sebatang kara di kota ini. Tante jadi sangat merasa berdosa. Maaf, ya, Joan belum bisa move on. Dia ditinggal nikah dua kali oleh wanita yang sama. Meski sudah hampir dua tahun, tapi Joan masih sering melamun. Sepertinya kemarin juga ia melamun ketika menyetir, hingga tidak menyadari kalau ada orang yang menyeberang." Panjang lebar wanita ini menjelaskan tanpa jeda.Sebenarnya aku tidak percaya, masa iya orang yang punya tampilan seperti Joan bisa ditinggal nikah, selama dua kali pula oleh orang yang sama. Secara dia cukup tampan untuk ukuran pria jaman sekarang."Sekarang kamu makan dulu, ya. Tante yang suapin, tolong jangan bikin Tant

  • Karma untuk Suami Pelit   210. Merepotkan

    Jari Tante Anita cekatan menulis di layar ponselnya ketika aku menyebutkan angka-angka. Tak lama terdengar suara khas pertanda panggilan sedang dihubungkan. Namun Ibu tidak juga menjawab. Aku baru ingat tentang satu hal. Dulu pernah berpesan padanya supaya tidak menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Khawatir Karena sekarang banyak penipuan melalui telepon, bahkan pelaku hipnotis juga ada yang melalui sambungan telepon."Tidak diangkat?" Tante Anita bertanya sambil menatap layar ponselnya."Iya, Tante. Ibu memang pernah saya larang untuk menerima telepon nomor yang tidak dikenal.""Oh, pantesan. Sampai beberapa kali panggilan pun, ibumu tidak akan pernah mengangkatnya. Kecuali kamu kirim pesan terlebih dahulu. Sekarang biar Tante kirim pesan dulu, bagaimana kalimatnya?""Maaf Tante, jadi merepotkan lagi." Aku semakin merasa tidak enak karena terus menerus merepotkan orang yang baru saja kukenal beberapa jam itu."Katakan. Apa yang ingin kamu tulis untuk ibumu?""Maaf, tolon

  • Karma untuk Suami Pelit   211. Sensitif

    Menjelang tengah hari, Tante Anita datang dengan membawa dua tentengan besar. Pamit mau ke minimarket sebelah, tapi pergi hampir tiga jam. Sepertinya Tante Anita memang doyan belanja. "Maaf ya, Ka. Tante pergi kelamaan. Tadi niatnya mau beli cemilan ke minimarket, eh, malah ketemu teman dan akhirnya kita pergi ke mall." Tante Anita terkekeh sambil menyimpan barang bawaannya di dekat sofa. Ia sendiri duduk santai di sana.Tuh 'kan bener, Tante Anita barusan ke mall. Pantas saja salah satu tentengan yang dibawanya berlogokan salah satu mall yang terkenal di negeri ini."Tidak apa-apa, Tante. Saya juga baru bangun. Tadi habis makan kenyang dan minum obat, alhamdulillah saya tidur nyenyak.""Syukurlah, dengan banyak makan dan istirahat, mudah-mudahan kamu cepat sembuh.""Aamiin Tante, saya juga ingin cepat pulang supaya bisa kembali kerja. Hari ini saja saya belum mengabari ke tempat kerja.""Jangan dulu mikirin pekerjaan, yang penting sekarang sehat dulu," ucap tante Anita sambil mengel

  • Karma untuk Suami Pelit   212. Arah Pulang

    Kalau bukan karena Bu Anita, sudah kulawan pria bernama Joan itu. Jangan mentang-mentang dia kaya dan sudah membawaku ke rumah sakit, hingga bisa berbuat seenaknya. Lagi pula, aku berada di rumah sakit ini karena kesalahannya. Bu Anita bisa saja membelanya dengan alasan Joan seperti itu karena patah hati. Tapi menurutku, pria itu cengeng. Masa sudah dua tahun patah hati, tidak sembuh-sembuh.Aku yakin Joan itu pria mapan, bisa dilihat dari kendaraan, pakaian dan gaya hidup mamanya. Dia juga ganteng, bohong kalau tidak bisa mendapatkan wanita lain. Apa dia yang terlalu bucin atau wanitanya yang istimewa. Ah, kenapa juga aku memikirkan orang lain. Malam ini Bu Anita mengurusku dengan baik, seperti tadi siang. Aku terus-menerus disuapi makanan yang tadi dia beli di minimarket, juga di mall dan sebagian lagi yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya aku tidak enak mendapat perlakuan seperti ini. Apalagi aku hanyalah korban. Di mata Joan, akulah yang salah, tapi Bu Anita tidak beranggapan sepe

  • Karma untuk Suami Pelit   213. Tidur di Kamarmu

    Aku hanya bisa pasrah ketika wanita yang duduk di kursi depan itu menoleh ke arahku seraya tersenyum. Bu Anita seperti yang bersemangat mengajakku ke rumahnya. Kulirik Pak Joan yang duduk di belakang kemudi dan fokus menyetir, pria itu tidak memberikan reaksi apapun pada ucapan mamanya. Ia tetap datar, menatap lurus ke depan. Sedikit pun tidak terpengaruh ketika Bu Anita mengatakan aku akan pulang ke rumah mereka. Suasana hening berlangsung sampai mobil berbelok ke halaman sebuah rumah megah dengan dua pilar besar di bagian depan. Ternyata mereka bukan orang sembarangan. Rumahnya saja sudah mirip istana, dari luar sudah terasa kesan mewahnya, apalagi nanti suasana di dalam. "Ayo turun, Reka. Selamat datang di rumah kami. Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu, ya, sampai keadaanmu pulih," kata Bu Anita ketika mobil berhenti di depan pintu utama. Mereka berdua pun turun melalui pintu yang berbeda. Sementara aku masih kesusahan, karena berada di sisi kanan tepat di belakang Pak Joa

  • Karma untuk Suami Pelit   214. Tamu Istimewa

    Mataku berkedip tak percaya ketika mas Joan melarang itu. Bu Anita juga tak kalah kaget hingga ia berjalan menghampiri anaknya."Jo, kamu ini apa-apaan. Masa Reka harus tidur bersama pelayan?""Ma, dia 'kan .... " Mas Joan tidak meneruskan kalimatnya, ia melirik ke arahku. Aku tahu pria itu masih ada perasaan sungkan ketika harus menyebutku sama dengan pelayan. Aku memang bukan siapa-siapa, tapi tidak sama juga dengan seorang pelayan.Saat ini aku ingin balik kanan dan berpamitan kepada Bu Anita kalau aku akan pulang ke kontrakan. Tapi jika dipikir lagi, yang mengajakku ke sini adalah Bu Anita, bukan mas Joan. Jadi, untuk apa aku merasa tersinggung dengan ucapan pria itu. Kalau mau, aku bisa saja membawa perkara ini ke polisi dengan tuduhan mas Joan lalai saat menyetir. Tapi aku tidak yakin aku bisa melakukan itu, mas Joan banyak uang, dia bisa saja membeli hukum yang berlaku. Jadi kuputuskan memilih tinggal di sini, sekali-kali aku bisa merasakan hidup di rumah mewah. Meskipun ujung-u

  • Karma untuk Suami Pelit   215. Silakan Pulang

    "Mau apa ke sini?" Aku beringsut, bangkit dengan susah payah karena tangan kananku tidak bisa menahan. Khawatir kalau pria itu akan berbuat macam-macam karena berani masuk ke kamar ini.Tanpa menjawab, Mas Joan masuk dan berjalan dengan santainya. Berdiri di ujung tempat tidur, kedua tangannya bersedekap. Dagunya sedikit terangkat dengan tatapan yang sulit diartikan."A-ada apa, Mas?" Aku menelisik."Sepertinya Mama terlalu berlebihan padamu. Aku cuma mau bilang kalau kamu tidak usah terlalu percaya diri, jangan mentang-mentang Mama memperlakukan kamu seperti tamu istimewa. Beliau hanya ingin bertanggung jawab meski menurutku tidak harus sampai berlebihan.""Maaf, kalau boleh jujur, Saya juga tidak ingin diperlakukan seperti ini. Saya ingin menolak lalu pulang ke kontrakan. Karena bagaimanapun itu adalah tempat ternyaman bagi saya saat ini. Tapi saya harus menghormati Mamanya Mas Joan.""Baguslah, kalau kamu sadar diri. Kalau mau pulang, pulang saja. Sepertinya Mama juga tidak akan ke

Bab terbaru

  • Karma untuk Suami Pelit   231. Menata Hidup

    Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya

  • Karma untuk Suami Pelit   230. Pesta

    RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""

  • Karma untuk Suami Pelit   229. Wanita di Masa Lalu

    Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba

  • Karma untuk Suami Pelit   228. Dirahasiakan

    Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink

  • Karma untuk Suami Pelit   227. Dingin

    RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara

  • Karma untuk Suami Pelit   226. Bukan Perjanjian

    JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin

  • Karma untuk Suami Pelit   225. Bicara Empat Mata

    Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid

  • Karma untuk Suami Pelit   224. Sadar

    Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi

  • Karma untuk Suami Pelit   223. Mencabut Restu

    Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny

DMCA.com Protection Status